Menelisik Tradisi dan Ritual "Naik Haji" di Gunung Bawakaraeng

Kamu pernah dengan istilah "Haji Bawakaraeng"?

Makassar, IDN Times - Zulhijah mengandung segudang makna bagi kaum muslim. Bagi yang mampu secara finansial dan lahir batin, salah satu rukun Islam yaitu ibadah haji dilaksanakan pada bulan ini.

Berziarah ke Kakbah adalah pengalaman religius paling berkesan lantaran bisa berhadapan langsung dengan kiblat sebagai representasi hubungan vertikal antara manusia dan penciptanya.

Akan tetapi, bagaimana dengan mereka yang tak kuat secara finansial, tenaga dan usia namun tetap memendam niat berangkat ke Tanah Suci? Jika di Jawa ada mitos berkunjung ke Masjid Demak sebanyak tujuh kali sama nilainya dengan naik haji, kepercayaan serupa juga hidup di masyarakat Sulawesi Selatan.

Mendaki Gunung Bawakaraeng, salat Id kemudian menyembelih hewan kurban di puncaknya konon bernilai setara dengan rukun Islam kelima.

1. Gunung Bawakaraeng punya makna penting dalam hidup masyarakat Sulsel

Menelisik Tradisi dan Ritual Naik Haji di Gunung BawakaraengInstagram.com/damar_gondrong

Kenapa harus Bawakaraeng? Menurut kepercayaan masyarakat, gunung dengan ketinggian 2.950 mdpl itu mengandung dua makna.

Pertama, sebagai sumber kehidupan karena menyuplai kebutuhan air untuk kota Makassar dan sejumlah kabupaten di sekelilingnya yakni Maros, Gowa, Takalar, Jeneponto, Bulukumba, Sinjai dan Bone. Sumber air Bawakaraeng-lah yang mendukung terciptanya kehidupan bertani selama ratusan tahun.

Kedua, posisinya dalam kepercayaan lokal. Bawakaraeng merupakan bahasa Makassar yang berarti "Mulut atau Sabda Tuhan". Tempat tersebut dalam sistem kepercayaan Sulsel lama diyakini sebagai tempat bersemayamnya Tu Rie Arana atau To Kammayya Kananna (Yang Maha Berkehendak).

Dalam sistem kepercayaan lama penduduk Sulawesi Selatan pra-Islam, Tu Rie Arana adalah dewa pemelihara kehidupan manusia di muka bumi, sekaligus pemberi kebajikan hingga keburukan.

2. Sejumlah riwayat menyebut asal-usul berhaji ke Bawakaraeng

Menelisik Tradisi dan Ritual Naik Haji di Gunung BawakaraengInstagram/I_aeroplanino

Nah, bagaimana kepercayaan "berhaji" di Bawakaraeng ini dimulai? Ada beberapa riwayat tumbuh di masyarakat perihal asal-usulnya. Salah satunya, puncak gunung tersebut dipercaya jadi tempat Syekh Yusuf Tuanta Salamaka --pemuka agama asal Gowa-Tallo yang termahsyur hingga Afrika Selatan-- pernah berjumpa dan berguru pada Walisongo.

Ia juga dianjurkan melaksanakan perintah haji, yang kemungkinan kemudian disalah pahami sebagai fatwa pelaksanaan ibadah haji cukup di Bawakaraeng saja (Panji Masyarakat, Edisi 19, 1998). Di sini, Bawakaraeng bertindak sebagai "representasi" Mekkah.

Lebih jauh, Syarifuddin Idris dalam makalahnya Konstruksi Ritual Ibadah Haji Pada Masyarakat Sekitar gunung Bawakaraeng Kab. Gowa, mengemukakan anggapan masyarakat lokal bahwa Gunung Bawakaraeng lebih utama dari Makkah.

Pandangan demikan rupanya dianggap sakral lantaran bersinggungan dengan kepercayaan lama, terkhusus agama Patuntung. Namun banyak pula yang berujar bila kebiasaan ini sudah ada sejak zaman lampau, dimulai saat seseorang mendapat wangsit dari mimpi.

Baca Juga: Sempat Tersesat di Gunung Bawakaraeng, Dua Pendaki Ditemukan Selamat

3. Saat mendaki, pelaksana ritual membawa sejumlah sesembahan

Menelisik Tradisi dan Ritual Naik Haji di Gunung BawakaraengInstagram.com/rmbtravelindo

Tata cara pelaksanaannya sendiri sama sekali berbeda dengan ibadah haji. Tak ada tawaf, sa'i hingga wukuf. Masyarakat yang melaksanakan ritual ini hanya berharap keselamatan, rezeki atau permintaan lain yang dipanjatkan pada Yang Maha Kuasa tanpa bermaksud menunaikan ibadah haji dari jarak sembilan ribu kilometer. (Jesi Hany Taroko: Bawakaraeng, Berhaji Selain Mekah, 2007)

Tak jarang dalam ritual ini turut dihantarkan sesembahan seperti Songkolo’ (beras ketan), buras, daging ayam yang sudah diolah, telur, buah-buahan, hingga daging kambing. Jenisnya sendiri acap kali disesuaikan dengan jenis hajat.

Sedikit menengok ke belakang, mereka yang mendaki ke puncak Bawakaraeng jelang hari Iduladha 10 Zulhijah juga membawa sapi atau kambing hidup. Ternak ini dibawa serta untuk disembelih atau dikurbankan setelah salat Id.

Tak ada pakaian ihram seperti jemaah haji di Tanah Suci. Busana sehari-harilah yang dikenakan, dengan aturan harus sopan. Selama di puncak, mereka tak boleh melanggar pantangan --seperti meludah atau mengumpat-- sebagai syarat agar doanya terkabul.

4. Seiring bergulirnya zaman, kian sedikit yang melaksanakan tradisi ini

Menelisik Tradisi dan Ritual Naik Haji di Gunung BawakaraengBasarnas Makassar

Seiring zaman, jumlah pelaksana "Haji Bawakaraeng" memang menurun. Akan tetapi masih ada yang melaksanakannya dengan alasan pelestarian tradisi. Selain itu risiko tersesat kemudian hilang membayangi jika para pendaki belum memiliki pengetahuan memadai tentang medan yang akan dilalui.

Nah, karena dianggap janggal dan menyalahi tata cara dari Nabi Muhammad SAW, mereka yang masih melakukan tradisi ini acap kali dicibir sebagai sesat. Persepsi pun tumbuh. "Haji Bawakaraeng" digunakan sebagai sindiran bagi orang-orang yang mengaku telah menunaikan rukun Islam kelima akan tetapi tak sanggup membuktikannya.

Ritus di kawasan gunung yang terletak di Kabupaten Gowa itu hanyalah sedikit contoh dari beragam tradisi serupa. Dari sudut pandang antropologi, "Haji Bawakaraeng" ini dipandang sebagai bukti bercampurnya (akulturasi) kepercayaan lama, ritual mistik, dan ajaran Islam, yang hidup dalam kelompok masyarakat tertentu.

Baca Juga: Dua Pendaki Dilaporkan Hilang di Gunung Bawakaraeng

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya