Masjid Jami' Tua Bua, Bukti Awal Masuknya Islam di Tanah Luwu

Menjadi saksi bisu perlawanan rakyat terhadap NICA-Belanda

Makassar, IDN Times - Di wilayah bekas pusat Kerajaan Luwu sekarang, terdapat dua masjid yang menjadi saksi bisu perkembangan Islam. Salah satunya Masjid Jami' Tua Bua di Kelurahan Tana Rigella, Kecamatan Bua, Kabupaten Luwu.

Pendirian masjid ini tak lepas dari peran tiga ulama Minang (Datuk Tellue/Datuk Tallue), penyebar agama Islam di Sulawesi Selatan. Mereka adalah (Abdul Makmur, Khatib Tunggal), Datuk ri Tiro (Abdul Jawad, Khatb Bungsu) dan Datuk ri Pattimang (Sulaiman, Khatib Sulung).

Tiga ulama itu tiba di kerajaan Gowa-Tallo pada pengujung abad ke-17. Sempat tinggal beberapa waktu, ketiganya lalu bertolak ke Luwu lantaran statusnya sebagai kerajaan tertua dan asal leluhur para penguasa.

Baca Juga: Riwayat Masjid As' Said, Peninggalan Pedagang Arab di Pecinan Makassar

1. Ada kisah datangnya Datuk Tellue di balik pendirian masjid ini

Masjid Jami' Tua Bua, Bukti Awal Masuknya Islam di Tanah LuwuFoto Masjid Jami' Tua Bua pada dekade 1940-an, salah satu masjid tertua Sulawesi Selatan yang berada di Kabupaten Luwu. (Dok. Pemerintah Desa Tanarigella)

Menurut sejarawan Siodja Dg. Mallondjo dalam buku "Kerajaan Luwu (Catatan Tentang Sawerigading, Sistem Pemerintahan dan Masuknya Islam)" (Komunitas Kampung Sawerigading dan Pemerintah Kota Palopo, 2004), tujuan Datuk Tellue adalah Malangke yang tak lain ibu kota Kerajaan Luwu saat itu. Tetapi perahu lebih dulu membawa mereka merapat ke desa pesisir Bua bernama Pandoso.

Setelah tiba, Datuk Tellue menyampaikan pesan pada warga setempat bahwa mereka ingin bertemu penguasa setempat (Maddika Bua). Alih-alih langsung ditemui, ia lebih dulu mengutus cendekiawannya yang bernama Langkai Buku-Buku untuk menyambut. Setelah sang utusan kembali dan menerangkan maksud kedatangan ketiganya, Maddika Bua disebut teringat pada mimpi bahwa ada tiga matahari menyinari daerah kekuasaannya.

Singkat cerita, Maddika Bua menyatakan kesediaan mengantar Datuk ri Bandang serta tiga rekannya ke Malangke. Ia pun turut meminta disyahadatkan, namun tak ingin diketahui oleh Datuk (Raja) Luwu saat itu yakni La Patiware' Daeng Parebung. Sejak itu, Maddika Bua bergelar Tandi Pau (tak boleh diucapkan). Akan tetapi, statusnya sebagai pemeluk Islam di Tanah Luwu membuatnya dijuluki Assalangnge (sang pemula).

Sebelum bertolak ke Malangke, Datuk Tellue bersama warga setempat mendirikan tempat ibadah di Tana Rigella kira-kira di tahun 1600 (menurut beberapa versi, 1594 atau 1604). Tempat itulah yang kini disebut sebagai Masjid Jami' Tua Bua.

2. Desain masjid jadi bukti penerimaan Islam oleh masyarakat Luwu yang beretnis Bugis

Masjid Jami' Tua Bua, Bukti Awal Masuknya Islam di Tanah LuwuBagian dalam Masjid Jami' Tua Bua, salah satu masjid tertua Sulawesi Selatan yang berada di Kabupaten Luwu. (Dok. Pemerintah Desa Tana Rigella)

Dilihat dari segi arsitektur, kubah Masjid Jami' Tua Bua disebut mengambil inspirasi dari rumah gadang khas Minangkabau (Sumatera Barat), tempat asal Datuk Tellue. Meski sudah beberapa kali direnovasi, desain masjid tak banyak berubah.

Tiga kubah (atau coppo' dalam bahasa setempat) utama berbentuk segi empat, dan dua lainnya dengan desain umum. Coppo' yang berjumlah lima ini merupakan simbol hubungan manusia dengan Allah SWT.

Selain itu, lima kubah juga menjadi penanda diterimanya Islam oleh masyarakat Luwu. Sebelumnya, mereka mengenal falsafah kesempurnaan Bugis yang disebut Sulapa' Appa'. Tak cuma tentang hubungan manusia dengan semesta, tapi juga cerminan empat sifat manusia yakni kabaraniang (keberanian), akkarungeng (kebangsawanan), asugireng (kekayaan) serta akkesingeng (ketampanan/kecantikan).

Seiring Datuk Tellue datang ke Sulsel, kubah kelima jadi perlambang bahwa kesempurnaan manusia tak bisa diperoleh tanpa Sang Pencipta. Ini jadi bukti penerimaan dan akulturasi Islam oleh masyarakat Bugis di Luwu.

3. Pernah diserang oleh tentara NICA-KNIL pada 21 Januari 1946

Masjid Jami' Tua Bua, Bukti Awal Masuknya Islam di Tanah LuwuMasjid Jami' Tua Bua, salah satu masjid tertua Sulawesi Selatan yang berada di Kabupaten Luwu. (Dok. Pemerintah Desa Tana Rigella)

Masjid ini pernah menjadi pemicu sekaligus saksi bisu perlawanan rakyat Luwu di masa Revolusi Kemerdekaan. Sejarawan Moh. Sanusi Daeng Mattata di buku "Luwu dalam Revolusi" (Bhakti Baru, 1998) menulis bahwa satu brigade KNIL menyerang tempat tersebut pada 21 Januari 1946. Mereka merobek kitab suci Al-Quran, merusak sajadah, menumpahkan sisa-sisa makanan kaleng ke lantai hingga menganiaya penjaga masjid.

Geram dengan teror tentara Belanda, Datu' Luwu saat itu yakni Andi Djemma bersama KH M. Ramli (pemuka agama) dan M. Yusuf Arief (pemimpin organisasi Pemuda Republik Indonesia) mengultimatum pasukan KNIL-NICA untuk segera angkat kaki dalam waktu 24 jam.

Hingga tenggat waktu lewat, tentara NICA-KNIL masih berada di dalam tangsi masing-masing. Alhasil ratusan melakukan perlawanan massal pada 23 Januari 1946. Kontak tembak berlangsung hingga awal Februari. Tetapi lantaran kalah persenjataan, para pejuang terpaksa menyingkir ke hutan dan melakukan gerilya.

Sementara Andi Djemma harus minggat dari Istana Langkanae dan berpindah-pindah tempat, sebelum tertangkap pada Juni 1946.

Baca Juga: Masjid Tua Tosora, Saksi Bisu Perkembangan Islam di Tanah Wajo

Topik:

  • Aan Pranata

Berita Terkini Lainnya