Manis Getir Hidup Bissu, Garda Terdepan Penjaga Budaya Bugis Kuno

#MenjagaIndonesia Cobaan bertubi silih berganti

Makassar, IDN Times - Belakangan, ketika gender mulai memasuki ruang-ruang diskusi, turut menyeruak pula bahasan tentang Bissu. Pendeta adat Bugis itu acap kali menjadi contoh sebagian budaya Nusantara yang cukup progresif perihal peran lelaki dan perempuan.

Namun, Bissu lebih dari sekadar itu. Di bawah kangkangan modernitas, mereka mengemban misi memelihara budaya tradisional Bugis. Mereka penutur kidung kuno pujian kepada dewa-dewa. Mereka pula yang membuat I La Galigo mengandung magis ketika mulai dirapalkan.

Selain itu, para Bissu diyakini bisa bertukar kata dengan para leluhur lewat basa to rilangi, bahasa yang hanya bisa dimengerti oleh "orang-orang langit." Mereka jadi perantara antara masa kini, masa lalu dan masa yang akan datang. Di tangan mereka, mozaik kepercayaan lama Bugis yakni attoriolong (mengikuti tata cara leluhur) bisa tetap terpelihara hingga sekarang.

1. Bissu pernah memiliki jabatan sebagai pendeta bagi masyarakat dan penasihat raja di masa kerajaan kuno

Manis Getir Hidup Bissu, Garda Terdepan Penjaga Budaya Bugis KunoSejumlah pendeta agama Bugis kuno pra-Islam (Bissu) mengikuti proses upacara adat Tolak Bala Passiliq di Kawasan Benteng Somba Opu, Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (18/2/2017). Upacara adat Tolak Bala Passiliq merupakan upacara adat di Makassar untuk membersihkan diri agar terhindar dari bahaya dan bencana dan juga bertujuan untuk melestarikan nilai-nilai kebudayaan khususnya budaya Bugis Makassar. (ANTARA FOTO/Abriawan Abhe)

Bissu bisa ditemukan di semua daerah (atau bekas wilayah) kerajaan Bugis di Sulawesi Selatan sebab menjadi bagian penting dari adat istiadat masyarakat Bugis. Mereka saat ini tersebar di Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Parepare, dan Pangkep.

Menurut riwayat, sebutan Bissu berasal dari kata bahasa Bugis yakni "mabessi" (bersih atau suci). Jika menilik dari bukti tertulis, keberadaan mereka sudah diceritakan dalam sureq I La Galigo. Bissu pertama yang diturunkan dari langit ke bumi (manurung) bernama Lae Lae. Ia turun bersama Raja Luwu pertama yakni Batara Guru.

Dalam peradaban Sulawesi Selatan pra-Islam, para pendeta ini memiliki tempat terhormat di lingkar birokrasi kerajaan. Yovita M. Hartarini, dalam artikel jurnal berjudul "Komunitas Adat Bissu : Waria Bertalenta Sakti Sebuah Analisis Sosio-Budaya Etnis Bugis" (Majalah Ilmiah Informatika, Vol. 3, No. 2, Mei 2012), menulis bahwa jabatan Datu' (raja) takkan sempurna tanpa kehadiran Bissu.

Ia menjadi penasihat raja sekaligus pemuka agama bagi masyarakat. Bahkan ketika hendak berperang, sang Datu' lebih dulu berkonsultasi dengan para Bissu. Setiap ranreng (wilayah adat) memiliki komunitas Bissu. Di Kerajaan Bone sendiri dikenal komunitas Bissu PatappuloE atau 40 orang Bissu. Ke-40 Bissu ini harus hadir pada semua kesempatan upacara atau ritual yang digelar.

2. Bissu bertindak sebagai pelaksana dan pemimpin upacara penting

Manis Getir Hidup Bissu, Garda Terdepan Penjaga Budaya Bugis KunoPendeta Bugis Kuno yang dikenal dengan sebutan Bissu, Puang Saleh memimpin prosesi Malekke Wae atau pengambilan air saat melakukan ritual Mateddu Arajang atau upacara membangunkan pusaka berupa alat pembajak sawah di Kec. Segeri, Kab. Pangkep, Sulawesi Selatan, Sabtu (22/11/2014). Upacara adat yang dilakukan turun-temurun tersebut diyakini masyarakat setempat sebagai pedoman bagi petani untuk memulai musim tanam padi. (ANTARA FOTO/Dewi Fajriani)

Peran Bissu di masyarakat adalah sebagai pelaksana dan pemimpin setiap seremoni ritual adat. Mulai dari tanam padi (mappalili), panen (mappadendang), pernikahan (indo'botting), kehamilan, kelahiran, kematian, pelepasan nazar, peresmian rumah (menre bola baru), pelantikan raja hingga tolak bala (songkabala).

Ditulis oleh Muhammad Said dalam artikel jurnal "Peran Bissu dalam Masyarakat Bugis" (2016), Bissu disematkan otoritas sebagai "orang pintar" dan dipercaya memohon berkah dari Dewata SeuwaE lewat ritual khusus yang dilakukan para Bissu (abbissungang).

Kelompok Bissu memiliki pemimpin dengan gelar Puang Matoa (pemimpin tertua). Ia tinggal di istana (atau kediaman) yang disebut sebagai bola arajang, serta ditugaskan menjaga benda pusaka milik kerajaan (arajang).

Para Bissu juga mendapat perlakuan istimewa. Puang Matoa biasa diberi sawah dengan luas berhektare-hektare (galung arajang), yang pengerjaannya dilakukan secara gotong-royong. Hasil dari panen ini kemudian dipakai sebagai biaya seluruh upacara atau ritual adat, serta memenuhi kebutuhan sehari-hari komunitas Bissu untuk satu tahun ke depan. Sedekah juga diberikan kepada Bissu dari para saudagar, petani, dan bangsawan.

Baca Juga: Masuknya Islam di Tanah Daeng: Ada Budaya yang Harus Tetap Dijaga

3. Peran Bissu mulai luntur sejak pengujung abad ke-17, saat Islam mulai masuk ke Sulawesi Selatan

Manis Getir Hidup Bissu, Garda Terdepan Penjaga Budaya Bugis KunoSeorang Bissu mencuci arajang (benda pusaka berupa alat pembajak sawah) menggunakan darah ayam saat pencucian benda pusaka kerajaan Sigeri, Kabupaten Pangkep, Sulsel, Kamis (29/11/2007). Acara Mappateddu (membangunkan) dan Mappalesso (menurunkan) serta pencucian benda pusaka arajang ini dilakukan untuk menyambut musim tanam padi tahun 2008. (ANTARA FOTO/Yusran Uccang)

Lantaran keistimewaan yang dimiliki para Bissu, mereka dianggap memiliki keramat (makarama') oleh masyarakat. Sebagai teladan, mereka harus tampil malebbi (anggun dan bersahaja), menjaga sikap, berperilaku dan bertutur kata santun serta menjaga etika (Titiek Suliyati, Bissu: Keistimewaan Gender dalam Tradisi Bugis, Endogami Vol. 2 No. 1, Desember 2018).

Untuk menjaga keramatnya, Bissu memilih hidup secara eksklusif. Mereka membatasi pergaulan sosial dengan masyarakat dan hanya menjalin relasi dengan sesamanya. Komunitas Bissu pun tinggal di bola arajang.

Bissu mulai terpinggirkan ketika Islam masuk dan diterima sebagai agama resmi kerajaan pada akhir abad ke-17. Mereka pun keluar dari lingkungan istana, membaur dengan masyarakat biasa. Beberapa ritual dan penampilan mereka pun dianggap tidak sesuai dengan syariat Islam. Tugas mereka memimpin upacara adat pun diambil alih oleh Puang Kali atau ulama. Namun di beberapa tempat, masih banyak upacara yang dipercayakan kepada Bissu.

Di sisi lain, perubahan sistem pemerintahan turut berimbas pada eksistensi Bissu. Sejumlah kerajaan Bugis melakukan integrasi ke negara Indonesia usai 17 Agustus 1945. Peran lembaga adat memudar. Kehidupan Bissu, yang selama ini bersandar pada raja, terancam untuk kali kedua.

Baca Juga: Mengenal Songkabala, Ritual Tolak Bala Milik Masyarakat Bugis-Makassar

4. Kehidupan Bissu menemui titik nadir ketika pemberontakan DI/TII dan menjadi buruan rezim Orde Baru

Manis Getir Hidup Bissu, Garda Terdepan Penjaga Budaya Bugis KunoSejumlah pendeta agama Bugis kuno pra-Islam (Bissu) melakukan ritual dengan melarung sesaji yang berisi hasil bumi di sungai pada upacara adat Tolak Bala Passiliq di kawasan Benteng Somba Opu, Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (18/2/2017). Upacara adat Tolak Bala Passiliq merupakan upacara adat di Makassar untuk membersihkan diri agar terhindar dari bahaya dan bencana dan juga bertujuan untuk melestarikan nilai-nilai kebudayaan khususnya budaya Bugis Makassar. (ANTARA FOTO/Abriawan Abhe)

Kehidupan benar-benar kelam pada dekade 1950-an. Gerombolan pemberontak DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar menghancurkan seluruh sendi komunitas Bissu tanpa terkecuali. DI/TII menganggap bahwa aktivitas budaya yang dijalankan oleh mereka sebagai musyrik dan menyalahi syariat Islam.

Kendati tak ada data pasti, sejumlah catatan menyebut bahwa banyak Bissu dibunuh sebab bersikukuh memegang teguh kepercayaan yang menjadi tugasnya. Bissu yang dibiarkan hidup digunduli, kemudian dipaksa menjadi lelaki tulen dan menganut agama tertentu. Ribuan perlengkapan upacara milik Bissu bahkan dibakar atau dibuang ke laut.

Tak berapa lama, Bissu kembali terancam. Operasi Toba' (Operasi Taubat) dilancarkan oleh rezim Orde Baru pada 1966, lantaran berhembus isu bahwa mereka menjadi bagian dari PKI. Sekali lagi, Bissu dikejar untuk dihabisi. Banyak yang memilih bersembunyi. Masyarakat bersimpati, tapi tak bisa melakukan apa-apa.

Keadaan mulai membaik pada dekade 1980-an, meski masih ada beberapa perlakuan diskriminatif. Sawah mereka dirampas warga, tanah adat diambil alih pemerintah. Tanpa pemasukan dan pemimpin, para Bissu hidup berpencar dan lakoni pekerjaan tetap.

5. Kini, misi Bissu adalah menjaga nilai-nilai kebudayaan Bugis lama agar tak hilang digerus zaman

Manis Getir Hidup Bissu, Garda Terdepan Penjaga Budaya Bugis KunoPara Bissu dari Kabupaten Bone memperlihatkan ritual Maggiri atau adu kebal senjata tajam saat prosesi arak-arakan Cap Go Meh, Makassar, Sulsel, Minggu (9/2/2014). Perayaan Cap Go Meh yang mengangkat tema Damailah Bangsaku Makmurlah Negeriku itu diikuti sejumlah atraksi budaya daerah Sulsel yang merupakan penutup rangkaian Tahun Baru China 2565. (ANTARA FOTO/Dewi Fajriani)

Keadaan mulai membaik pada milenium baru. Ada peran dari mendiang Puang Matoa Saidi yang berusaha keras mengembalikan pamor Bissu. Salah satu capaiannya adalah terlibat sebagai narator dalam teater I La Galigo. Namun, tantangan berat masih membentang.

Kurangnya perhatian terhadap kebudayaan Bugis kuno jadi salah satu penyebab, dan itu turut dilakukan pemerintah daerah yang memiliki komunitas Bissu. "Dewasa ini pemerintah daerah hanya memandang Bissu sebagai bagian dari tradisi masa lalu, yang fungsinya sebagai bagian dari adat dan tradisi sudah mulai memudar," tulis Titiek. Pandangan miring masyarakat terhadap keistimewaan gender Bissu membuat mereka kian tersingkir.

Kini para Bissu menyambung hidup sebagai perias pengantin, menyewakan peralatan dan perlengkapan pengantin, penjahit pakaian adat dan busana pengantin, petani serta profesi lainnya.

Sudah jarang juga orang menggunakan jasa Bissu dalam upacara adat. Mereka belakangan sering tampil memamerkan kebolehan dalam acara pariwisata, festival budaya dan kampanye partai atau calon kepala daerah.

Cobaan boleh bertubi-tubi, tapi misi menjaga nilai-nilai spiritualitas attoriolong dan kearifan Bugis lama tetap diemban para Bissu hingga detik ini.

Baca Juga: Kisah Tragis Berakhirnya Kekuasaan Dua Raja Zalim di Tanah Bugis

Memperingati HUT ke-75 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, IDN Times meluncurkan kampanye #MenjagaIndonesia. Kampanye ini didasarkan atas pengalamanan unik dan bersejarah bahwa sebagai bangsa, kita merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI dalam situasi pandemik COVID-19, di saat mana kita bersama-sama harus membentengi diri dari serangan virus berbahaya. Di saat yang sama, banyak hal yang perlu kita jaga sebagai warga bangsa, agar tujuan proklamasi kemerdekaan RI, bisa dicapai.

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya