Konferensi Malino 1946: Upaya Belanda Jadikan Indonesia Negara Federal

Tetap banyak yang memihak pada Indonesia alih-alih Belanda

Makassar, IDN Times - Belum cukup setahun merdeka, namun Belanda melalui Nedelandsch Indie Civiele Administratie (NICA) berusaha membentuk Indonesia menjadi negara federal. Rupanya, mereka sudah punya bentuk ideal untuk negara yang pernah dikenal sebagai Hindia-Belanda atau Hindia Timur tersebut.

"Untuk menjamin terwujudnya otonomi yang sungguh-sungguh bagi daerah dan bagi bangsa Indonesia dan bagi perkembangan yang seimbang di antara daerah-daerah, Indonesia harus dibangun dalam bentuk federasi yang terdiri dari negara bagian, dengan catatan susunan pemerintahannya disesuaikan dengan taraf kemajuan masing-masing negara," tulis Pejabat Gubernur Jenderal serta Ketua NICA saat itu, Hubertus Johannes van Mook, dalam buku Malino Maakt Historie.

Sejatinya, dialog antara Den Haag dan Yogyakarta sedang dijalin untuk menentukan garis-garis batas milik Republik Indonesia dan NICA sejak awal 1946. Tetapi, Belanda justru selangkah lebih depan. Mereka merancang Konferensi Malino, gerbang menuju Republik Indonesia Serikat dan Negara Indonesia Timur, pada 16-25 Juli 1946.

1. Konferensi Malino pada 16-25 Juli 1946 jadi upaya pertama NICA membentuk Indonesia menjadi negara federal

Konferensi Malino 1946: Upaya Belanda Jadikan Indonesia Negara FederalSalah satu sesi rapat pleno di Konferensi Malino yang melibatkan 39 delegasi dari Kalimantan, "Grote Oost" (selanjutnya menjadi Negara Indonesia Timur), dan Belanda, yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal van Mook pada Juli 1946. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

Pertemuan yang digelar di Malino, 65 kilometer timur Makassar, tersebut dihadiri sebanyak 39 utusan dari seluruh penguasa lokal (Datu', Karaeng dan Raja) di Indonesia timur. Termasuk pula di antaranya perwakilan komunitas Tionghoa, Eropa, Arab dan sejumlah organisasi keagamaan. Dari Sulawesi Selatan, ada nama Sonda Daeng Mattayang dan Nadjamuddin Daeng Malewa yang menjadi peserta.

Pada 17 Juli 1946, Wakil Presiden Mohammad Hatta menyerang pertemuan di kota kecil nan sejuk itu melalui corong Radio Republik Indonesia. Ia menyebut bahwa pada peserta Konferensi Malino diadakan atas paksaan ujung sangkur. Lebih jauh, 36 utusan yang datang ditudingnya telah dipilih lantaran afiliasinya lebih dekat pada Belanda ketimbang kaum Republiken.

Meski Hatta mengaku punya gambaran Indonesia sebagai negara serikat, ia rupanya tak menerima inisiatif NICA yang terkesan memaksakan. Alih-alih memberi rakyat wadah bersuara, yang dipilih justru tokoh-tokoh tertentu saja.

2. Wakil Presiden Mohammad Hatta menyebut konferensi itu sebagai bentuk pemaksaan kehendak

Konferensi Malino 1946: Upaya Belanda Jadikan Indonesia Negara FederalPotret Wakil Presiden Indonesia Mohammad Hatta pada tahun 1950, yang saat itu juga menjabat Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan Sementara. (Wikimedia Commons/Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde)

"Belanda sudah tentu tidak akan membiarkan rakyat di sana untuk menentukan nasibnya, karena mereka tentu memilih Republik Indonesia dan menolak penjajahan Belanda dalam bentuk apapun juga," ungkap Hatta, seperti dikutip dari Kronik Revolusi Indonesia (1946) (KPG, 2017).

"Akan tetapi berapa lamakah Belanda dapat melakukan sandiwara seperti Malino dengan ujud untuk menutup mata internasional terhadap kebenaran dan bukti nyata ini?", lanjut sang Wapres pertama dengan berapi-api.

Tak cuma di Jogja, penolakan juga terasa di Tanah Daeng. Dikutip dari buku Polongbangkeng dalam Lintasan Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia (Yapensi, 2007), jalan sepanjang jalur Makassar-Sungguminasa-Malino terpasang spanduk bernada kecaman pada Konferensi Malino. Mereka sepakat, apa yang dilakukan oleh NICA ini adalah aksi sepihak dan tak melibatkan pemerintahan pimpinan Soekarno.

3. Banyak pejabat penting NICA hadir, termasuk Pejabat Gubernur Jenderal Johannes Hubertus van Mook

Konferensi Malino 1946: Upaya Belanda Jadikan Indonesia Negara FederalGubernur Jenderal Hubertus Johannes van Mook ketika sedang berada di ruang kerjanya, antara tahun 1945 hingga 1946. (Wikimedia Commons/Rijksmuseum)

Rupanya, banyak peserta panas dengan pernyataan kaum Republiken. Beberapa delegasi seperti Sonda Daeng Mattayang, Tjokorda Gde Raka Soekawati (Bali), Sultan Hamid II (Kalimantan Barat) dan E.D. Dengah (Minahasa), kompak menandatangani sebuah mosi tak senang atas pernyataan Hatta, dan menyebutnya sebagai "statement tak benar."

Yang luput dibahas sejarah, bahkan peserta Konferensi Malino pun sejatinya terpecah jadi dua kubu: pro-Indonesia dan pro-Belanda. Dalam From the Formation of the State of East Indonesia Towards the Establishment of the United States of Indonesia (Yayasan Obot Indonesia, 1996), diceritakan bahwa selama sembilan hari rapat, pertentangan kedua kubu disaksikan Van Mook dengan gugup.

Den Haag memang memandang rapat ini sebagai hal penting. Tak heran, nyaris seluruh pejabat teras NICA datang di Malino. Mulai dari Van Mook sendiri, Peter John Koets (Menteri Kepala bawahan Van Mook), W. Hoven (Kepala Pemerintahan Urusan Dalam Negeri) serta C.J.H.R. de Waal (Wakil Umum Komisaris Pemerintahan).

4. Beberapa wakil delegasi menyatakan sikap simpati dan pro-Indonesia di hadapan majelis sidang

Konferensi Malino 1946: Upaya Belanda Jadikan Indonesia Negara FederalNadjamuddin Daeng Malewa, salah satu anggota delegasi Sulawesi Selatan di Konferensi Malino 1946, sedang berbicara dalam salah satu sesi rapat pleno. (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde)

Di hadapan peserta, Nadjamuddin Daeng Malewa menyebut Perang Dunia II membawa kebebasan rakyat Indonesia untuk menentukan nasib sendiri. Wakil delegasi asal Bali, I Gusti Bagus Oka, berharap Konferensi Malino jadi batu pijakan pasca-Indonesia merdeka.

Wakil Maluku Utara, Chasan Boesoerie dan Salim Azizuddin Fabanyo, bahkan lebih frontal. Mereka meminta Grote Oost, atau apapun nama negara yang dibentuk nanti, tetap memiliki bendera Merah Putih dan lagu nasional "Indonesia Raya." Van Mook berdalih ini baru dibicarakan pada Konferensi Denpasar, Desember 1946, tapi ternyata tak pernah diungkit lagi.

Selain itu, mengutip laporan dari kawat korespondensi Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, banyak peserta meminta Indonesia harus menjadi bagian dari kerajaan atau persemakmuran versi Belanda. Sang negara baru harus juga harus dilihat dengan kedudukan setara, serta berdaulat.

5. Meski dihadiri banyak pejabat penting NICA, Konferensi Malino justru minim ekspos dari media internasional

Konferensi Malino 1946: Upaya Belanda Jadikan Indonesia Negara FederalGubernur Jenderal Hindia-Belanda dan Ketua NICA, Hubertus Johannes van Mook, sedang berbicara di hari pertama Konferensi Malino yang berlangsung dari 16-25 Juli 1946. (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde)

Di sisi lain, sikap pers internasional pada Konferensi Malino juga terkesan dingin. Beberapa wartawan utusan Het Parool (Belanda), Central News Agency (China), Sydney Morning Herald (Australia) dan Mutual Broadcasting System (Amerika Serikat) datang meliput. Tapi, selama 10 hari penyelenggaraan, nyaris tak ada satupun media luar menurunkan laporan.

Hatta sekali lagi geram. Ia menyebut, kejadian yang benar-benar besar bagi "kaum imperialis Belanda" justru minim perhatian. Bagi wartawan Republiken turut diundang, seperti Rosihan Anwar (harian Merdeka) dan Soedjatmoko (Kementerian Penerangan).

Ulasan bernada simpatik justru datang dari Masjarakat Baroe, surat kabar di Samarinda. "Besar harapan kita yakni Malino nanti akan menjadi satu tempat yang berarti di dalam perjuangan kita, tempat nanti takkan dilupakan oleh turunan kita. Karena itu dari Malino nanti datang kemerdekaan kita," tulis redaksi pada edisi Sabtu 3 Agustus 1946, seperti dicuplik dalam buku Seabad Pers Kebangsaan 1907-2007 (I:Boekoe, 2007).

6. Pada akhirnya, harapan NICA menciptakan keteraturan dan sentimen pro-Belanda di Sulawesi tetap gagal total

Konferensi Malino 1946: Upaya Belanda Jadikan Indonesia Negara FederalPoster propaganda Belanda tahun 1946 yang menggambarkan bahwa hasil Konferensi Malino membawa keteraturan bagi penduduk di Hindia. (Beeldbank WO2 (Tweede Wereldoorlog) / NIOD (Nederlands Instituut voor Oorlogsdocumentatie))

Pada akhirnya, apa yang diinginkan NICA tetap tercapai. Tepat pada hari terakhir konferensi, Jumat 26 Juli 1946, Van Mook membacakan empat resolusi. Salah satunya yakni dibentuknya United States of Indonesia (Republik Indonesia Serikat), sebuah federasi yang mencakup semua wilayah Hindia-Belanda, termasuk Republik Indonesia. Negara Indonesia Timur (NIT), salah satu negara bagian RIS, dibentuk tak lama berselang.

Besar harapan Den Haag bahwa Konferensi Malino dan NIT membawa keteraturan. Ada harapan dari NICA bahwa rakyat bisa menerima hasilnya. Tapi, mereka tetap memihak pada Soekarno-Hatta. Terlebih usai konferensi, penyerangan secara sporadis kian gencar dilancarkan gerilyawan LAPRIS pimpinan Wolter Mongisidi dan Ranggong Daeng Romo.

Untuk meredakan "perlawanan pemberontak" dan sentimen anti-Belanda, Batavia mengutus unit khusus Depot Speciale Tropen (DST) pimpinan Kapten Raymond Westerling pada Desember 1946. Operasi brutal selama tiga bulan itu jadi bukti bahwa saat diplomasi tak berhasil, Belanda memang menaruh paksaan di ujung sangkur dan peluru.

Baca Juga: Konferensi Malino, Upaya Pertama Belanda Recoki Kemerdekaan Indonesia

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya