Kisah Raja Bone La Maddaremmeng, Lengser Karena Menghapus Perbudakan

Upayanya menerapkan syariat Islam ditentang oleh sang ibu

Intinya Sih...

  • La Maddaremmeng menjadi Raja Bone ke-13 pada tahun 1625, menggantikan pamannya La Tenripale.
  • Upaya menerapkan syariat Islam yang lebih ketat mendapat pertentangan luas dan akhirnya dilengserkan atas permintaan ibu kandungnya sendiri.
  • Praktik perbudakan yang dilarang oleh La Maddaremmeng membuat bangsawan, termasuk sang ibu, menentangnya hingga terjadilah perang pada tahun 1644.

Makassar, IDN Times - Setelah musu selleng (perang pengislaman) yang menjadi dinamika proses penerimaan Islam di Kerajaan Bone yang berlangsung dua dekade, La Maddaremmeng menjadi Arumpone (Raja Bone) ke-13 pada tahun 1625. Ia mengganti pamannya, La Tenripale, yang berkuasa selama 15 tahun.

Memiliki nama Islam yakni Sultan Muhammad Shaleh, ia coba menerapkan syariat Islam yang lebih ketat. Bahkan melebihi seperti yang berlaku di Gowa-Tallo, yang mengajak serta kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi Selatan (Sulsel) untuk memeluk Islam.

Namun, upaya La Madderemmeng tersebut mendapat pertentangan secara luas. Sehingga akhirnya ia dilengserkan melalui proses intervensi militer, atas permintaan dari ibu kandungnya sendiri.

1. Saat naik tahta, La Maddaremmeng ingin menghapus perbudakan di Kerajaan Bone

Kisah Raja Bone La Maddaremmeng, Lengser Karena Menghapus PerbudakanLukisan tentang kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan pada abad ke-16. (Collectie Wereldmuseum (v/h Tropenmuseum), part of the National Museum of World Cultures)

Salah satu yang mencolok adalah upaya La Maddaremmeng untuk menghapus konsep hamba sahaya. Padahal, konsep tersebut sudah mendarah daging di kalangan bangsawan. Alhasil, upaya tersebut bisa dibilang sebagai perubahan drastis dalam kehidupan masyarakat Bone, terutama golongan darah biru.

Nasruddin, dalam artikel ilmiah Peranan Raja La Maddaremmeng dalam Penyebaran Islan di Bone (Jurnal Adabiyah, 2014), menulis bahwa perdagangan budak semakin meningkat dan meluas seiring dengan pertumbuhan produksi barang pertanian dan laut. Budak-budak yang dijual berasal dari daerah pegunungan yang masih memegang kepercayaan animisme, dan dibawa ke dataran rendah yang masyarakatnya sudah memeluk Islam.

Praktik perbudakan tersebut membuat Arumpone La Maddaremmeng marah, sebab berlawanan dengan ajaran Islam. Saat naik tahta, ia menetapkan bahwa semua hamba sahaya dalam Kerajaan Bone harus dimerdekakan.

2. Kebijakan La Maddaremmeng membuat Kerajaan Gowa melakukan penyerangan

Kisah Raja Bone La Maddaremmeng, Lengser Karena Menghapus PerbudakanFoto rumah Raja Bone antara tahun 1900 hingga 1920. (Collectie Wereldmuseum (v/h Tropenmuseum), part of the National Museum of World Cultures)

Upaya La Maddaremmeng memberlakukan syariat Islam yang lebih ketat mendapat pertentangan dari kalangan bangsawan, salah satunya dari sang ibu yakni We Tenrisoleng. Sang ibu dari Arumpone tersebut rupanya memiliki ratusan budak. Terlebih hadirnya praktik perbudakan membuat para bangsawan berlomba-lomba memperbanyak kepemilikan budak untuk memperkuat status sosial.

Dalam artikel ilmiah Perbudakan di Kerajaan Bone Pada Masa Pemerintahan Raja La Maddaremmeng: 1631-1644 (Jurnal Idea of History, 2020), disebutkan bahwa Raja Gowa Sultan Muhammad Said (atas permintaan We Tenrisoleng) berulang kali mengajak sang Arumpone berdialog atas keputusannya. Tapi, sikap La Maddaremmeng sudah bulat. Alhasil, Kerajaan Gowa melakukan penyerangan pada tahun 1644.

Tentara Bone dan Gowa kemudian terlibat pertempuran di Cimpu. Tapi, pasukan Bone kalah dan terpaksa mundur. La Maddaremmeng sendiri kemudian diasingkan ke Gowa. Pasukan Gowa kemudian merangsek lebih dalam, dan mengalahkan sisa-sisa kekuatan Bone yang dipimpin La Tenroaji To Senrima. Dengan ini, Bone kemudian menjadi wilayah taklukan Gowa.

Baca Juga: Kisah Hidup Sultan Alauddin, Raja Gowa Pertama Memeluk Islam

3. Keluarga Kerajaan Bone yang dibawa ke Gowa masih menyimpan rasa rindu untuk merdeka

Kisah Raja Bone La Maddaremmeng, Lengser Karena Menghapus PerbudakanPatung dada Raja Bone ke-15 yakni Arung Palakka yang berada di Anjungan Pantai Losari. (Wikimedia Commons/Bennylin)

Meski masa pemerintahannya selama 13 tahun berakhir dengan pahit, upaya La Maddaremmeng melakukan reformasi dengan pemberlakuan syariat Islam disebut oleh sejarawan sebagai sesuatu yang berani. J.C. Herteerman dalam buku India and Indonesia: General Perspectives (Brill, 1989) bahkan menulis bahwa kebijakannya membawa dampak yang mendalam untuk masyakat Bugis.

Selain itu, kepatuhan La Maddaremmeng menjalankan perintah agama Islam juga tercatat dalam lontaraq yang berbunyi :

Iyatonaé Arung mangkau’ ri aseng maséro magama. Na maraja pakkamase ri padanna winru’ ri Allah Ta’ala (NR 21 4-5).

Artinya :

"Inilah raja yang berkuasa yang dikenal religius, lagi tinggi kasih sayangnya sesama ciptaan Allah SWT (NR 21 4-5)."

Meski banyak anggota Kerajaan Bone yang dibawa ke Gowa memang hidup dalam lingkungan istana, tapi kerinduan atas kemerdekaan masih hidup dalam benak mereka. Kelak, perlawanan kembali dikobar oleh satu sosok yang berhasil meruntuhkan hegemoni Gowa: Arung Palakka.

Baca Juga: Kisah Pahit Raja Bone La Tenri Ruwa, Dilengserkan Usai Memeluk Islam

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya