Kisah Proyek Kereta Api Sulawesi, Berakhir Tragis Akibat Kerugian

- Proyek kereta api Sulawesi dimulai akhir dekade 1890-an oleh NISM.
- Rencana jaringan kereta api dari Makassar ke Maros selesai pada 1918.
- Investasi besar untuk jalur kereta api Sulawesi mengalami kerugian dan STC dibubarkan pada 1930.
Makassar, IDN Times - Alkisah di Batavia pada akhir dekade 1890-an, gagasan untuk membangun jalur kereta api di Sulawesi menjadi bahasan hangat para petinggi Nederlands Indische Spoorweg Maatschappij (NISM, Perusahaan Kereta Api Hindia-Belanda) yang menjadi cikal-bakal PT KA kini.
Kurang dari 50 tahun setelah Gubernur Jenderal Hindia-Belanda ke-47 L.A.J.W. Baron Sloet van de Beele mencangkul sejumput tanah di desa Kemijen, Semarang timur yang menandai dimulainya proyek kereta api Hindia-Belanda, total rel yang dibangun sudah mencapai hampir 3 ribu kilometer. Mulai dari Batavia hingga Surabaya, dan Banda Aceh ke Medan.
Sulawesi masuk dalam rencana sebab tak lepas dari fakta bahwa sejumlah hasil bumi berasal dari sana seperti kopi, beras, kelapa, cengkih dan lain-lain. Kereta api diharap mempermudah pengangkutan hasil panen. Tapi, otomatis diperlukan sarana pendukung seperti jalan, jembatan dan tentu saja rel kereta api.
1. Proyek ini tak lepas dari upaya Hindia-Belanda mempermudah proses mengangkut hasil bumi

Meski begitu, niatan tersebut tak serta merta terealisasi. Rekomendasi baru ditindaki pada 1915 oleh Gubernur Jenderal A.F.W. Idenburg. NISM kemudian mengirim tim ke Sulawesi untuk meninjau lapangan. Menurut buklet Nederlandsch Indische Staatsspoor en Tramwegen (1925), peninjauan dilakukan sebanyak dua kali yakni pada 1915 dan 1917.
Peninjauan tersebut menghasilkan rancangan jaringan kereta api yang membentang dari Makassar ke Maros, kemudian memanjang ke utara menuju Sidrap dan Parepare sebelum berbelok ke tenggara menuju Sengkang. Rancangan trayek Makassar-Maros selesai pada 1918, diikuti oleh Maros-Tanete setahun kemudian.
Dukungan dari para pemangku jabatan di Batavia untuk proyek kereta api di Sulawsi datang pada 1920. NISM kemudian membentuk divisi Staatstramwegen op Celebes (STC) sebagai perwakilan urusan perkeretaapian di Makassar. Dengan kata lain, STC merupakan perpanjangan tangan NISM yang berada di Jawa. Sebelumnya, perusahaan milik pemerintah kolonial tersebut sudah lebih dulu membentuk Staatsspoorwegen ter Sumatra's Westkust (SSS) dan Zuid-Sumatra Staatsspoorwegen yang bermarkas di Sumatra Selatan.
2. Jalur Makassar-Takalar beroperasi penuh pada Juli 1923, dan membentang sejauh 47 kilometer

Tak lama kemudian, jalur rel pertama dari Makassar ke Takalar rampung pada 1 Juli 1922, bersama dengan peresmian Stasiun Passar Boetoeng di Makassar. Turut hadir dalam acara tersebut sejumlah bangsawan lokal dan pejabat Hindia-Belanda, termasuk Wali Kota Makassar J.E. Dambrink serta Gubernur Sulawesi A.J.L. Couvreur. Tapi, rel sepanjang 47 kilometer ini baru benar-benar beroperasi dan dibuka untuk umum setahun kemudian.
Namun, keputusan NISM berinvestasi untuk jalur kereta api Sulawesi mendatangkan kerugian besar lima tahun berselang. Dalam buku Sejarah Perkerataapian Indonesia Jilid I (Penerbit Angkasa, 1997), kereta api ternyata masih kalah pamor dengan transportasi darat lainnya seperti truk dan cikar. Harga tiket yang mahal dan jadwal keberangkatan truk yang lebih teratur dibandingkan kereta api juga mempengaruhi.
Lokasi rel di daerah pesisir juga turut faktor penghambat. Sekilas 125 Tahun Kereta Api Kita 1867-1992 (Balai Besar Perumka, 1992), masyarakat tetap memilih menggunakan perahu layar yang telah digunakan turun-temurun untuk pengiriman barang dan lalu lintas manusia. Neraca keuangan STC sebagai operator mengalami defisit karena biaya pemeliharaan sarana yang selangit tidak sebanding dengan pemasukan, sehingga STC harus mengandalkan dana talangan dari Batavia.
3. Bubarnya STC pada Agustus 1930 turut menandai berakhirnya mimpi Hindia-Belanda menggarap proyek kereta api di Sulawesi Selatan

Kendati kantor NISN saat itu sudah dibanjiri surat ketidakpuasan investor pada hasilnya, mereka tetap teguh mempertahankan proyek kereta api di Sulawesi. Setelah desas-desus pada 1928, STC dibubarkan pada 1 Agustus 1930. Terdapat dua penyebab utama STC akhirnya gulung tikar, pertamayakni krisis ekonomi global saat itu (Great Depression) dan perkiraan kerugian besar jika terus beroperasi. Ini menghentikan upaya memperkenalkan kereta api secara luas di Sulsel dan Sulut.
Dengan dibubarkannya STC, trayek Makassar-Takalar pun terabaikan. Lokomotif tipe B dan C yang telah beroperasi selama lima tahun dikirim kembali ke Pulau Jawa. Padahal, dalam dua buku yang diterbitkan pemerintah Hindia-Belanda, STC disebut sedang bersiap membangun jalur baru Makassar - Maros - Tanete (Sidrap) - Parepare - Sengkang. Namun, rencana ambisius ini akhirnya tidak pernah terealisasi.
Saat pendudukan Jepang, Tokyo memerintahkan perusahaan kereta api lokal untuk mengerjakan proyek kereta api Sulawesi Selatan sepanjang 77 km (Maros-Makassar-Takalar) untuk angkutan batu gamping dan batubara, menggunakan rel dari jalur tak penting di Jepang dan melibatkan 4.700 pekerja romusha. Proyek ini ditargetkan selesai pada Desember 1944, tapi hanya 8,6 km yang berhasil diselesaikan lantaran Jepang terjepit dalam Perang Pasifik.
Semua stasiun, stopplats, dan halte kereta api di sepanjang jalur Makassar-Takalar kini sudah hancur tanpa jejak. Di lokasi tersebut sekarang berdiri rumah-rumah penduduk atau pertokoan, seperti yang terjadi pada Stasiun Passar Boetoeng.