Kisah Karaeng Matoaya, Raja Islam Pertama Tallo Sekaligus Pembaharu

Memeluk Islam bersama Sultan Alauddin pada 22 September 1605

Intinya Sih...

  • I Malingka'ang Daeng Mannyonri Karaeng Katangka, Raja Tallo ke-6, memeluk Islam bersama Sultan Alauddin pada 22 September 1605.
  • Karaeng Matoaya adalah Pabbicara Butta (juru bicara negeri) dan berperan penting dalam merevolusi sistem pertahanan Gowa-Tallo.
  • Karaeng Matoaya turut serta dalam kebangkitan Gowa-Tallo dalam sektor pertahanan militer dan ekonomi, serta merupakan penasihat terdekat Sultan Alauddin.

Makassar, IDN Times - Dalam Lontaraq Bilang, sebuah catatan berisi seluruh peristiwa penting di Gowa-Tallo, terdapat satu lagi petinggi kerajaan yang mengucap dua kalimat syahadat selain Sultan Alauddin pada 22 September 1605. Ia adalah I Malingka'ang Daeng Mannyonri Karaeng Katangka, Raja Tallo ke-6 yang memerintah dari 1593 sampai 1623.

Saat itu, ia menjabat sebagai Pabbicara Butta (juru bicara negeri), orang dengan jabatan tertinggi kedua setelah Raja Gowa yang setingkat dengan Perdana Menteri. Selama masa pemerintahannya, sosok yang dikenal sebagai Karaeng Matoaya (Raja Tua) tersebut merevolusi sistem pertahanan Gowa-Tallo.

Tak sampai di situ, Karaeng Matoaya memainkan peran penting. Terutama sepanjang tahun-tahun awal pemerintahan Sultan Alauddin.

1. Karaeng Matoaya mengemban tugas sulit di tahun-tahun pertama Sultan Alauddin menjadi raja

Kisah Karaeng Matoaya, Raja Islam Pertama Tallo Sekaligus PembaharuSuasana Istana Raja Gowa antara tahun 1870 hingga 1892. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

Tak banyak informasi yang diperoleh tentang masa kecil Karaeng Matoaya, yang diperkirakan lahir pada tahun 1573. Tapi, ikut serta dalam mengganti Raja Gowa ke-13 yakni Tunipasuluq yang memerintah dengan tangan besi, dan digulingkan setelah hanya dua tahun memimpin.

Gowa-Tallo, yang mengalami kemajuan pesat pada abad ke-17, kemudian menobatkan saudara Tunipasuluq sebagai Raja Gowa yakni I Mangngarangi (Sultan Alauddin) pada 1593 atau di usia 14 tahun. William P. Cummings dalam buku Making Blood White : Historical Transformations in Early Modern Makassar (2002) menyebut bahwa Karaeng Matoaya menjalankan roda pemerintahan sebab sang keponakan masih sangat muda.

"Penguasa baru Gowa saat itu masih seorang remaja, dan Karaeng Matoaya-lah yang mengawasi pembangunan kembali Kerajaan Gowa yang terancam hancur oleh kebijakan Tunipasuluq," tulis William. Dengan kata lain, Karaeng Matoaya mengemban tugas yang cukup berat di tahun-tahun pertama Sultan Alauddin menjadi Raja Gowa.

2. Membuat Gowa-Tallo lebih kuat dalam sektor pertahanan militer dan ekonomi

Kisah Karaeng Matoaya, Raja Islam Pertama Tallo Sekaligus PembaharuIlustrasi pemandangan Makassar dari laut pada tahun 1665 berdasarkan lukisan Johannes Vongboons. (Dok. Nationaal Archief)

Karaeng Matoaya turut serta dalam kebangkitan Gowa-Tallo dalam sektor pertahanan militer serta ekonomi. Lontaraq Tallo menyebut bahwa ia jadi penguasa pertama yang mendorong pembangunan benteng dari batu bata, penggalian kanal, dan konstruksi kapal perang dikenal dengan sebutan bilu'. Turut pula pabrik pembuatan senjata kecil, meriam, dan bubuk mesiu.

Sejarawan Leonard Y. Andaya dalam buku The Heritage of Arung Palakka (1981) menyatakan bahwa pelabuhan Makassar menjadi pos perdagangan penting di Nusantara. Pedagang dari Inggris, Denmark, Belanda, Portugis, Prancis, Gujarat hingga China kerap singgah untuk berniaga. Memanfaatkan sektor perdagangan yang kian meningkat, Karaeng Matoaya juga memberi perintah pencetakan uang logam emas dan timah.

Lontaraq Tallo bahkan memberi pernghargaan tertinggi pada Karaeng Matoaya dengan menulis bahwa pada masa pemerintahannya, panen padi dan penangkapan ikan selalu berhasil pada masanya. Selain itu, ia disebut sebagai sosok yang disukai semua orang. Mulai pedagang, raja bawahan, saudara kandung, sanak saudara, para pangeran (anakkaraeng), para Tumailalang (pejabat kerajaan) hingga rakyat.

Baca Juga: Masjid Tua Katangka, Tonggak Sejarah Islam di Sulawesi Selatan

3. Turut berperan dalam kedatangan Datuk Tallua ke Sulawesi Selatan

Kisah Karaeng Matoaya, Raja Islam Pertama Tallo Sekaligus PembaharuPemandangan Masjid Tua Katangka di Gowa pada tahun 1920-an. (Dok. KITLV)

Berbicara tentang relasi dengan sang penguasa Gowa, banyak sejarawan yang sepakat bahwa Sultan Alauddin menganggap Karaeng Matoaya sebagai penasihat terdekatnya. Ia selalu mengikuti jejak sang paman dalam segala hal, bahkan saat memeluk agama Islam di bawah bimbingan Datuk ri Bandang. Setelah resmi memeluk agama Islam, Karaeng Matoaya lalu mendapat gelar Sultan Abdullah Awwalul Islam.

Kedatangan Datuk Tallua ke Sulawesi Selatan pun disebut merupakan permintaan Karaeng Matoaya sendiri. Dalam buku Islamisasi Kerajaan Gowa (2005), Ahmad M. Sewang menulis bahwa tiga ulama tersebut merupakan utusan Kerajaan Aceh mengingat wilayah Minangkabau (Sumatra Barat) berada dalam pengaruh mereka.

Karaeng Matoaya wafat pada 1 Oktober 1636 di usia kira-kira 63 tahun, dan mendapat gelar anumerta Tumamenang ri Agamana (Yang Meninggal dalam Agamanya) lantaran ketaatannya dalam beribadah. Penerus Karaeng Matoaya sebagai Raja Tallo dan Pabbicara Butta adalah sang anak kandungnya yakni Karaeng Pattingalloang, tokoh intelektual yang menguasai beberapa bahasa.

Baca Juga: Karaeng Pattingalloang: Poliglot dan Pencinta Sains Asal Gowa-Tallo

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya