Hukum Laut Amanna Gappa, Warisan Berharga dari Bugis untuk Dunia

Konsepnya diadopsi ke dalam Hukum Maritim Internasional

Makassar, IDN Times - Saat pertama kali mendengar kata "Nusantara", maka yang terlintas adalah mozaik yang membentang dari Pulau Sumatra, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku. Di daerah ini pernah memiliki berdiri sejumlah kerajaan yang saling berebut supremasi perdagangan di laut.

Sengitnya persaingan dunia pelayaran di kawasan Indonesia pada masa lampau disinggung dalam buku Kepemimpinan Bahari: Sebuah Alternatif Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia (Ghalia Indonesia: 2012) yang dikarang sejarawan Richard Zacharias Leirissa.

Di buku tersebut, Leirissa menulis bahwa laut tak sekadar arena bertempur dan adu kekuatan. Horison biru sejauh mata memandang itu bukanlah batas atau zona yang menyeramkan. Melainkan jembatan penghubung ke daerah-daerah yang istimewa dari segi kekayaan alam, kisah mitologi, budaya, sistem sosial unik hingga percaturan politik yang rumit. Tak hanya soal jual-beli antar saudagar di pesisir bandar dan dermaga.

Baca Juga: 7 Fakta Pinisi Kapal Buatan Tangan Suku Bugis Telah Menjelajahi Dunia

1. Riwayat penjelajahan bahari Bugis-Makassar berlangsung sejak lama

Hukum Laut Amanna Gappa, Warisan Berharga dari Bugis untuk DuniaPemandangan pusat Kesultanan Gowa-Tallo dan Benteng Somba Opu dari lepas pantai, dalam lukisan Johannes Vingboons yang dibuat tahun 1665. (Wikimedia Commons/Nationaal Archief)

Dengan berlayar sebagai denyut nadi peradaban Nusantara, banyak suku yang dikenal sebagai pelaut ulung tahan banting. Salah satunya adalah para nakhoda Bugis-Makassar. Jejak ciri bahari bisa ditelusuri jauh hingga ke I La Galigo perihal budaya Bugis sebelum abad ke-14. Sawerigading, salah satu tokoh dalam epos tersebut, diceritakan berlayar ke daratan China untuk meminang seorang putri raja.

Selain itu, sejak abad ke-15, para pelaut Bugis-Makassar diketahui telah menjelajahi lautan yang lebih luas. Mulai dari pesisir Semenanjung Malaka, dermaga Kerajaan Campa (kini Vietnam), pesisir Australia utara (disebut "Marege" dalam lidah Makassar) hingga Madagaskar yang tak jauh dari Afrika.

Masuk abad ke-17, proses perniagaan di laut jadi tempat di mana uang berputar dengan cepat. Seiring pesatnya perkembangan, muncul kesadaran di benak pelaut-pelaut Bugis bahwa harus ada peraturan yang mengikat orang-orang di atas kapal saat berlayar.

Sudah menjadi rahasia umum saat itu bahwa perdagangan di atas kapal lekat dengan cerita-cerita pertikaian. Maka, hukum dibutuhkan untuk mengatur tindak-tanduk para penumpang kapal, relasi antara saudagar dan nakhoda, status barang bawaan di geladak, kepemilikan hingga bagaimana jika kapal karam kena terpaan topan.

2. Kebutuhan akan peraturan hukum laut membuat para matoa Wajo duduk bersama

Hukum Laut Amanna Gappa, Warisan Berharga dari Bugis untuk DuniaPemandangan pelabuhan Makassar, Sulawesi Selatan, antara tahun 1923 dan 1925. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

Dijelaskan oleh Bambang Budi Utomo dalam Warisan Bahari Indonesia (Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2016), seorang tokoh berama Amanna Gappa terpilih sebagai matoa (yang dituakan dalam masyarakat) masyarakat Bugis-Wajo di Sulsel pada pertengahan abad ke-17. Saat itu, orang-orang Wajo sudah dikenal sebagai saudagar di laut. Banyak yang bahkan sudah mendiami Ambon, Banjarmasin dan Semenanjung Melaka.

Sebelum menduduki jabatan matoa, Amanna Gappa sudah sering mendengar betapa mautnya pertikaian di atas kapal dagang. Tak jarang, ribut-ribut ini berakhir dengan duel badik atau bahkan merembet ke dermaga. Ia sepakat bahwa hal tersebut tak bisa dibiarkan. Perlu ada aturan mengikat yang menjamin keselamatan serta perdagangan.

Karena itu, para matoa dari berbagai komunitas Wajo bertemu di Makassar pada dekade 1670-an. Saat itu, Gowa-Tallo sudah luluh lantak lantaran perang dengan VOC beberapa tahun sebelumnya. Selain itu, eksodus besar-besaran terjadi lantaran Perjanjian Bongaya membuat pedagang tak bisa berniaga akibat larangan Kompeni. Mereka berembuk untuk merumuskan peraturan yang harus dipatuhi oleh saudagar dan pelaut di atas geladak.

Selain bersama para matoa Wajo, turut pula dalam perumusan "kode etik" tersebut wakil-wakil dari suku Bone dan Makassar yang juga dikenal sebagai pelayar ulung dan saudagar penjelajah lautan. Ternyata, mereka juga sama-sama memandang perlunya hukum laut, terlepas dari riwayat perselisihan antar kerajaan yang menaungi mereka.

3. Aturan yang disepakati para matoa Wajo berisi 21 pasal

Hukum Laut Amanna Gappa, Warisan Berharga dari Bugis untuk DuniaIDN Times/Gregorius Aryodamar P

Singkat cerita, lahirlah 18 lontaraq berbahasa Bugis yang disebut sebagai "Ade' allopi-loping bicaranna pa'balu-baluE" (etika pelayaran dan perdagangan) pada 1676. Pedoman ini kemudian jadi hukum yang harus ditaati pelaut Wajo di mana saja, dari Laut Banda hingga Selat Melaka.

Hukum yang dirumuskan Amanna Gappa dan para matoa lainnya terdiri dari 21 pasal yang merinci ketentuan saat berlayar. Salah satunya adalah hierarki di atas geladak kapal. Sang juru layar di balik kemudi berstatus sebagai pemilik perahu dagang. Ia didampingi oleh para juru mudi dan juru batu.

Anak buah kapal atau kelasi. Dalam pasal keempat, kelasi terbagi terbagi dalam empat kelas. Antara lain sawi tetap (kelasi tetap), sawi loga (kelasi bebas/tidak tetap), sawi manumpang (kelasi menumpang) serta tommanumpang (orang yang menumpang kapal). Kelasi dengan status tetap diberi izin menyewa petak-petak dalam perahu sebagai tempat menyimpan barang dagangan masing-masing.

Aturan tersebut juga mengatur syarat-syarat menjadi nahkoda. Wahyono Suroto Kusumoprojo, dalam buku Indonesia Negara Maritim (Mizan Pustaka, 2009), menulis bahwa nahkoda kapal wajib memiliki sifat-sifat religus dan bijak. Mulai dari beriman dan bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki tujuan dan haluan hidup yang jelas, serta melihat ke masa depan (taktis, berpikir panjang) dan menarik pelajaran dari masa lalu (arif).

Baca Juga: Kitab Assikalaibineng, Pedoman Etika Persetubuhan Warisan Budaya Bugis

4. Tak cuma tentang pelayaran, aturan ini turut mengatur aktivitas berdagang

Hukum Laut Amanna Gappa, Warisan Berharga dari Bugis untuk DuniaPemandangan pelabuhan Makassar, Sulawesi Selatan, antara tahun 1899 hingga 1900. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

Lebih jauh, nahkoda diwajibkan selalu waspada, berani dan bertanggung jawab. Mereka pun diharuskan bersikap dan berpikiran luwes, serta berpikir menyeluruh. Seorang nakhoda wajib menaruh keselamatan kapal dan awaknya sebagai prioritas utama ketimbang diri sendiri.

Para kelasi dan keluarganya diminta harus diayomi, ditambah menjalin relasi persaudaraan dengan sesama pelaut. Semua sifat wajib nakhoda menurut aturan ini tertera dalam Pasal 6.

Secara umum, aturan tertulis Bugis ini mengatur dengan sangat rinci. Tak cuma tentang para pelaut, ada juga sisi perdagangan yang memang tak bisa dilepas. Mulai dari tentang sewa mengenai muatan perahu (Pasal 1), perahu yang disuruh dinakhodai (Pasal 2), mengatur dagangan kembali karena tidak laku (Pasal 3), serta tentang nakhoda yang mengubah haluannya (Pasal 4).

Kemudian, Pasal 8 mengatur cara para saudagar berdagang, lengkap dengan hukuman jika ada yang mengurangi takaran. Pasal 8 tentang jika ada yang berutang di pasar dalam perjalanan menuju pelabuhan tujuan. Pasal 9 mengatur tentang kewarisan. Pasal 10 berfokus jika ada pertengkaran dalam hal perdagangan. Kemudian Pasal 11 memberi jalan keluar jika ada pertengkaran selama pelayaran.

4. Konsep Hukum Laut Amanna Gappa kelak dipakai oleh aturan maritim internasional

Hukum Laut Amanna Gappa, Warisan Berharga dari Bugis untuk DuniaIDN Times/Hisyam Keleten Kelin

Pasal 11 termasuk menarik karena mengatur cara menyelesaikan masalah yang terjadi di atas kapal. Aturan ini menyebut bahwa kedua pihak yang bertikai tak diizinkan naik ke darat jika masalahnya belum menemui jalan keluar. Di situasi seperti ini, tugas sebagai penengah dan pendamai diljalankan oleh nakhoda.

"Janganlah membawa kesusahan kepada pemimpin negeri, sebab tiap-tiap negeri yang kau singgahi memiliki hakim," demikian bunyi pasal tersebut. "Di mana saja ada api, di situ pula ia padam."

Bambang Budi Utomo menulis bahwa "Ade' allopi-loping bicaranna pa'balu-baluE" menganut konsep kebebasan berlayar di laut tapi dengan etika. Tiga abad berselang, konsep "kepemilikan" laut ini kemudian diadopsi dalam Hukum Maritim Internasional yang dibahas pada dekade 1970-an.

Ke-21 aturan melaut dalam 18 lembar lontaraq yang ditulis pada tiga setengah abad silam kini dikenal sebagai Hukum Laut Amanna Gappa. Sang matoa Wajo diketahui menjadi penyalin kata demi kata kesepakatan hasil rembuk tersebut. Inilah sumbangsih leluhur Bugis bagi dunia kelautan.

Baca Juga: Nama Khas Bugis Makassar, Identitas Kultural Pengingat Kampung Halaman

Topik:

  • Aan Pranata

Berita Terkini Lainnya