Film "De Oost", Episode Kelam Sejarah Pembantaian Westerling di Sulsel

Menceritakan tragedi Westerling yang kerap luput di Belanda

Makassar, IDN Times - Sejak dirilis pada Mei 2021 lalu, film "De Oost" ("The East") garapan Jim Tahuttu langsung memicu kontroversi di Belanda. Diskusi hangat tak lain dipicu penggambaran operasi Depot Speciale Tropen (DST) pimpinan Kapten Raymond Westerling di Sulawesi Selatan, Desember 1946 hingga Februari 1947. Selama ini, kampanye militer berdarah itu memang tak pernah dibahas dalam buku sejarah Belanda.

Memakai alur non-linear (maju-mundur), "De Oost" berfokus pada dua fase hidup Johan de Vries (diperankan Martijn Lakemeier), serdadu muda yang ditempatkan di kamp Matjan Liar sekitar Semarang, Jawa Tengah. Pertama, saat ia bertugas di Indonesia atas nama Kerajaan Belanda pada 1946. Kedua, ketika kembali ke kota asalnya dan sulit menyesuaikan diri dengan kehidupan sipil.

Tiga bulan pertama bertugas, Johan yakin bahwa mereka datang menempuh jarak 16 ribu kilometer untuk "menciptakan ketertiban." Lantaran memakai sudut pandang Belanda, gerilyawan Indonesia disebut sebagai "pemberontak" dan "teroris" sepanjang film. Meski hanya sebagian besar waktu dihabiskan untuk berpatroli, Johan merasakan "teror" dari faksi lawan.

1. "De Oost" menggambarkan operasi militer brutal Kapten Raymond Westerling (diperankan Marwan Kenzari)

Film De Oost, Episode Kelam Sejarah Pembantaian Westerling di SulselSalah satu adegan dalam film "De Oost" (2021) ketika Raymond Westerling (Marwan Kenzari) sedang memimpin operasi militer DST di Sulawesi Selatan. (IMDb/New Amsterdam Film Company)

Saat merasa usaha Belanda melawan "pemberontak" tak kunjung membuahkan hasil, Johan berkenalan dengan Kapten Raymond Westerling (Marwan Kenzari). Pemimpin pasukan khusus yang digambarkan tak kenal takut. Kombinasi penyiksaan dalam interogasi dan keahlian operasi senyapnya membuat Johan kagum pada sosok berjuluk "De Turk" itu. Dalam waktu singkat, Johan menjadi "anak didik" Westerling.

Third act "De Oost" berfokus pada topik kontroversial operasi DST. Si Turki diceritakan mendapat restu langsung dari Den Haag untuk melancarkan kampanye militer tersebut. Westerling meyakinkan salah satu pejabat Belanda bahwa cara terbaik untuk menjinakkan teror, adalah membalasnya dengan teror yang lebih kejam.

Johan ikut serta dalam operasi di Celebes. Tetapi seiring waktu, ia mulai meragukan taktik "teror" yang ditempuh Westerling. Keraguan membawanya dalam konfrontasi lebih rumit. Ini berujung pada luka batin serta dendam kesumat, sesuatu yang membayanginya hingga pulang ke kampung halaman.

2. Film garapam sutradara Jim Taihuttu ini panen kecaman di negeri Belanda sejak belum dirilis

Film De Oost, Episode Kelam Sejarah Pembantaian Westerling di SulselAdegan dalam film "De Oost" (2021) di mana seluruh anggota unit Depot Speciale Tropen (DST) pimpinan Raymond Westerling sedang berpose untuk sebuah foto sebelum dikirim ke Sulawesi Selatan. (IMDb/New Amsterdam Film Company)

Film tentang sudut pandang pihak Belanda sejatinya bukan barang baru. Sudah ada "Oeroeg" (1993) yang mengeksplorasi tema serupa. Lebih jauh, ada film adaptasi novel "Max Havelaar" (1976). Tetapi selain "De Oost", kedua film tersebut (sejauh ini) belum pernah tayang di layar lebar dalam negeri. Atau, susah dicari para peminat sinema dan/atau sejarah.

Namun, film berdurasi 137 menit itu jadi bahan berbicangan hangat bahkan sebelum rilis di situs streaming Amazon Prime. Dalam sebuah cuitan pada 12 Mei lalu, Menteri Pertahanan Belanda Ank Bijleveld menyebut film ini menimbulkan rasa resah di benak mantan tentara yang sempat dikirim ke "Hindia."

"Sangat disayangkan bahwa film De Oost menyebabkan keresahan di kalangan veteran. Mereka dikirim ke Hindia atas nama para politisi dan dengan mempertaruhkan nyawa mereka sendiri. Yang penting, mayoritas menjalankan tugasnya di sana tanpa menggunakan kekerasan ekstrem," cuitnya.

3. Meski jumlah korban jadi perdebatan, banyak pihak mengakui operasi unit DST pimpinan Westerling berjalan dengan bengis

Film De Oost, Episode Kelam Sejarah Pembantaian Westerling di SulselKapten Raymond Westerling, seorang perwira Belanda dan pemimpin regu Depot Speciale Tropen (DST), dalam sebuah acara militer di Bandung pada 16 November 1948. (Wikimedia Commons/Ministerie van Defensie)

Yang jadi topik selanjutnya adalah operasi DST pimpinan Westerling. Meski angka korban operasi di Sulsel jadi bahan debat selama tujuh dekade, akademisi di Belanda dan Indonesia sepakat kebrutalan yang terjadi. Sejarawan Universitas Negeri Makassar, Bahri, menjelaskan secara rinci metode bengis ala Westerling.

"(Unit DST) menembak mati setiap pendukung republiken yang ditemui, pembakaran kampung-kampung, sehingga menimbulkan ketakutan bagi warga. Tahanan yang diikat tiga orang kemudian diberondong dengan tembakan," jelasnya saat dihubungi IDN Times, Sabtu (17/7/2021).

Westerling disebutnya tak memberi kesempatan pada para tertuduh untuk membela diri. Kebenaran absolut berada di tangan perwira kelahiran Istanbul tersebut.

"Biasanya, ketika Westerling datang, semua warga dikumpulkan di tanah lapang di sebuah desa. Laki-laki dewasa dipisahkan dari anak-anak dan perempuan. Rakyat jelata atau orang yang dicurigai atau salah satu warga disuruh untuk memberi tahu di mana gerilyawan Republik yang dicap ekstremis," imbuh Bahri.

4. Cerita tentang "pembelotan" tentara Belanda yang bertugas di Indonesia juga dicatat oleh sejarah

Film De Oost, Episode Kelam Sejarah Pembantaian Westerling di SulselSejumlah tentara Belanda mengamati perbukitan dan jalan di sebuah daerah Sulawesi Selatan pada April 1949. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

Di sisi lain, plot perihal "desersi" Johan si tokoh utama hanya contoh kecil. Ada beberapa nama yang mencuat seperti Piet van Stavaren serta Johannes Cornelis "Poncke" Princen yang dikenal sebagai aktivis Hak Asasi Manusia di era Orde Baru.

"Piet van Straveren berprinsip bahwa kedatangannya di Indonesia sebagai teman, bukan sebagai musuh. Piet kecewa terhadap propaganda Belanda dan menganggap Belanda sebagai pihak yang salah dan Indonesia pihak yang benar," papar Bahri.

Menurut situs Historisch Nieuwsblad, Piet bekerja sebagai propagandis usai membelot pada 13-14 Juni 1947. Mengadopsi nama alias "Pitojo Koesoemo Widjojo", ia membujuk kompatriotnya di seluruh Jawa untuk meletakkan senjata. Tetapi, ia diekstradisi ke Belanda pada 1949 karena hubungannya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

"Tokoh lainnya adalah Johannes Cornelis Princen alias Poncke yang membelot ke Indonesia karena menyukai gaya hidup orang Indonesia. Selain itu beliau sangat prihatin terhadap perlakuan tentara Belanda terhadap gadis pribumi," lanjutnya.

Namun, yang dialami Johan lebih tragis. Latar belakang sang ayah sebagai simpatisan Nazi pada Perang Dunia II membayangi tugasnya di Indonesia. Perang memberinya guncangan batin, sebuah hal yang dialami oleh semua pihak, baik para tentara hingga masyarakat yang terjebak di tengah-tengahnya.

5. Jim Taihuttu sudah merencanakan film "De Oost" sejak tahun 2012

Film De Oost, Episode Kelam Sejarah Pembantaian Westerling di SulselAdegan dalam film "De Oost" (2021) di mana Johan de Vries (Martihn Lakemeier) dan Raymond Westerling (Marwan Kenzari) mencari informasi tentang keberadaan gerilyawan Indonesia. (Dok. Istimewa/New Amsterdam Film Company)

Kembali ke film, situs berita NU.nl melansir bahwa rencana penggarapan "sisi gelap sejarah Belanda" sudah ada dalam agenda sutradara Jim Taihuttu sejak 2012. Barulah pada tahun 2015, ia menggandeng produser kawakan Sander Verdonk (Speelman, The Sky Above Us, Porcelain) untuk mencari pihak yang bersedia membiayai proses penggarapan "De Oost." Anggarannya mencapai 6,6 juta Euro (Rp112 miliar).

Demi akurasi peristiwa sejarah, Jim Taihuttu menggandeng lembaga ilmiah Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies (KITLV) dalam penggarapan naskah. Sineas Indonesia juga dilibatkan dalam proyek ambisius ini. Produser Shanty Harmayn (Perempuan Tanah Jahanam, Sang Penari, Garuda Di Dadaku) bersama ratusan kru lokal bertugas untuk riset, memilih lokasi dan masih banyak lagi.

Proses syutingnya berlangsung di Jawa selama 45 hari dan 6 hari di Belanda. Karena keterbatasan waktu, adegan kucing-kucingan dalam hutan yang jadi puncak "De Oost" juga digarap di Negeri Kincir Angin.

"Kami menanam banyak tanaman tambahan di hutan, (yang jadi tempat syuting)," ungkap Desainer Produksi Lieke Scholman kepada NU.nl. "Tidak bisa sebaliknya (tetap di Indonesia), tapi lucunya, perbedaannya justru tidak terlihat. Sebagian bersar karena ini adalah adegan di malam hari," jelasnya.

Baca Juga: Westerling 73 Tahun Lalu: Antara Horor, Bias Sejarah dan Trauma

6. Narasi yang tidak subjektif justru akan mengaburkan sejarah bangsa sendiri

Film De Oost, Episode Kelam Sejarah Pembantaian Westerling di SulselRelief yang berisi ilustrasi korban operasi militer unit Depot Speciale Tropen (DST) pimpinan Kapten Raymond Westerling pada 1946-1947 yang berada di Monumen Korban 40.000 Jiwa Sulawesi Selatan, Kota Makassar. (IDN Times/Achmad Hidayat Alsair)

Dalam surat terbukanya, putri Raymond Westerling yakni Palmyra menyebut "De Oost" adalah "upaya memutarbalikkan fakta dan menyebar kebohongan." Ia juga menyebut sang ayah "menjalankan misinya dengan integritas, rasa hormat, dan kesetiaan militer yang diperlukan."

"Jim Taihuttu, sutradara film dan keturunan dari kolonialisme, sengaja memilih untuk menggambarkan tentara Belanda, termasuk tentara KNIL dari Maluku dan Ambon, sebagai penjahat perang Nazi. Ini berkedok kebebasan berkreasi dengan pendekatan multi-sudut pandang," kecam Palmyra.

Menyikapi kisruh di Belanda atas film ini, Bahri mengatakan bahwa sejarah memang harus dipandang secara obyektif. Melenceng sedikit saja, maka akan dipandang sebagai pengkhianatan.

"Lech Walesa (penerima Nobel Perdamaian 1983) pernah mengatakan sesungguhnya siapa saja yang menggunakan tangannya untuk menghentikan roda sejarah, jari jemarinya akan hancur. Begitu pula perjalanan sejarah bangsa ini, jika ditulis (atau digambarkan) tidak berdasar dari fakta dan dinarasikan secara subjektif, akan mengaburkan sejarah bangsa kita sendiri," pungkasnya.

Baca Juga: Genangan Darah di Sepatu Lars Kapten Raymond Westerling

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya