Cerita Abdi Mahesa, Teliti Syair I La Galigo Epos Terpanjang di Dunia

Makan waktu setahun lebih, dapat pujian dari dosen penguji

Makassar, IDN Times - Menyusun skripsi di masa pandemik bagi mahasiswa terasa sulit. Dengan pusat data atau penelitian yang terpaksa tutup, banyak yang akhirnya harus memutar otak. Belum lagi proses konsultasi jarak jauh secara daring.

Namun, Abdi Mahesa (23) bisa melalui itu semua cobaan saat menggarap tugas akhirnya sebagai mahasiswa S1. Tak sampai di situ, penelitiannya tentang naskah epos I La Galigo dipuji dosen lantaran kedalaman topik yang diangkat.

Lulusan Departemen Sastra Bugis-Makassar, Universitas Hasanuddin itu meneliti salah satu episode dari karya sastra terpanjang di dunia tersebut yakni Taggilinna Sinapatie. Tak cuma meneliti, ia bahkan menerjemahkan 3.080 baris syair seorang diri.

"Ini cukup menarik, karena ini cuma skripsi tapi penguji bilang rasanya seperti disertasi. Malah bisa dibagi jadi empat skripsi," kata Abdi, sapaan akrab pemuda asal Parepare ini, saat dihubungi IDN Times pada Rabu malam (11/8/2021).

"Pertama yakni teori filologis atau tinjauan naskah yang disajikan dalam bentuk terjemahan. Kedua, adalah analisis naskah. Yang ketiga, dari tinjauan teori sosiologi sastra. Yang terakhir (karena mengangkat topik) tauhid (konsep keesaan Tuhan dalam Islam)," jelasnya.

Menurut Abdi, pemilihan Taggilinna Sinapatie juga telah melalui proses pencocokan dengan data. Ia harus mencari tahu lebih dulu apakah ada naskah episode yang menyinggung isi episode tersebut.

1. Naskah I La Galigo yang diteliti berada di kantor Arsip Daerah Sulsel dan sempat alami lockdown

Cerita Abdi Mahesa, Teliti Syair I La Galigo Epos Terpanjang di DuniaSalah satu potongan naskah epos I La Galigo yang dipamerkan di Museum I La Galigo, Benteng Fort Rotterdam, Makassar, Sulawesi Selatan. (IDN Times/Achmad Hidayat Alsair)

Isi skripsi yang tajam pun tak lahir semudah membalikkan telapak tangan. Terjalnya proses penggarapan pun sudah terlihat saat memulai penelitian. Mikrofilm sureq I La Galigo yang dipelajari Abdi berada di kantor Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan.

Karena mikrofilm ini hanya bisa diakses dan dibaca dalam laboratorium kantor Arsip Sulsel, ia terpaksa melakukan penggandaan secara manual.

"Sebelum pandemik, tiap hari saya bolak-balik dari rumah ke kantor. Saya hampir enam jam di depan layar untuk mencatat naskah, dari pagi sampai sore," ceritanya.

Namun, konfirmasi kasus pandemik COVID-19 pada akhir Maret 2020 memutus rutinitas penelitiannya. Abdi pun sempat merasa khawatir dengan nasib skripsi yang sedang digarap. Jalan keluar diambil, meski harus mengorbankan materi.

"Setelah ada kabar bahwa kantor arsip akan di-lockdown (Mei 2020) dan pegawainya bakal WFH, saya harus memiliki naskah itu dan harus mencetak. Tapi ini terkendala dengan regulasi gubernur bahwa kalau mau akses ke naskah, harus ada pajaknya. Per halaman itu Rp20 ribu," kata Abdi.

"Saya pun mencetak puluhan naskah. Jadi saya harus bayar jutaan untuk mendapatkan naskah itu supaya saya bisa bawa pulang. Saat itu kan kita tidak tahu kapan kantor akan buka. Kalau dibuka tahun depan, artinya penelitian saya tertunda," lanjutnya.

Alhasil, ia terpaksa merogoh kocek sendiri serta meminjam uang dari beberapa kerabat untuk menutupi biaya cetak.

2. Meski diperingati waktu penelitiannya bisa berlangsung sangat lama, Abdi tetap tak gentar

Cerita Abdi Mahesa, Teliti Syair I La Galigo Epos Terpanjang di DuniaMahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, Abdi Mahesa (duduk), saat melakukan penelitian skripsi yang mengambil topik naskah I La Galigo. (Dok. Pribadi Abdi Mahesa)

Seperti yang dihadapi mahasiswa tingkat akhir lainnya di masa pandemik, Abdi memindahkan proses penelitian dari laboratorium ke rumahnya di Bone. Di tanah tempat sureq I La Galigo lahir, ia menekuri perkataan para leluhur.

Aksara pada naskah tersebut memakai kosakata Bugis arkais kuno, digunakan karena tingkat kesopanannya tinggi. Prosesnya pun unik. Alih-alih metode literer, ia menerjemahkan secara maknawi (idiomatik).

"Jadi ini terjemahan secara kata per kata, tanpa menghilangkan nilai sastra yang terkandung," jelasnya. "Meski sebuah hal yang sangat berat, ini dilakukan untuk memenuhi teori yang saya angkat dalam skripsi yakni formula, filologis dan tauhid," tambah Abdi.

Cukup lama bekerja di rumah, ia sempat mengerjakan proses transliterasi di Bola Soba', rumah adat dan museum daerah di Kabupaten Bone. Demi keabsahan konteks kalimat, demi kalimat, Abdi juga rutin menemui bissu untuk berkonsultasi. Ia juga turut mengunjungi beberapa tempat yang masih merawat tradisi Bugis.

"Saya bekerja di Bola Soba' agar suasana Bugis kuno-nya lebih terasa. Ini membantu menciptakan suasana yang saya inginakan. Jadi saya masih bisa menikmati suasana Bola Soba' sebelum terbakar," ujar Abdi.

Bola Soba', istana beberapa Arumpone (Raja Bone) dan saksi bisu perlawanan rakyat atas penjajahan, terbakar pada Maret lalu akibat arus pendek listrik. Barang-barang koleksinya, mozaik budaya Bugis, mayoritas hangus dilalap si jago merah.

Abdi pun sempat diperingati bahwa teori-teori dan topik dalam skripsi berisiko membuatnya terlambat selesai. Tapi ia enggan gentar, lantaran penelitian panjang dilandasi rasa cinta pada budaya Bugis dan epos I La Galigo yang ia kagumi.

"Alhamdulillah, setelah melalui proses penelitian selama satu tahun lima bulan, pada tanggal 29 (Agustus) kemarin saya dinyatakan lulus. Dan saya berhasil menjawab tantangan ini," ucapnya penuh syukur.

3. Bagi Abdi, meneliti I La Galigo adalah proses menelusuri kembali peradaban Bugis

Cerita Abdi Mahesa, Teliti Syair I La Galigo Epos Terpanjang di DuniaMahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, Abdi Mahesa, di tengah proses seminar hasil penelitian skripsi. (Dok. Pribadi Abdi Mahesa)

Abdi berhasil membuktikan bahwa pandemik tak jadi penghalang menghasilkan skripsi yang membuat penguji sampai angkat topi. Ia mengakui prosesnya berjalan tak mudah. Tapi, semua ujian bisa dilewati berkat dedikasi total.

Di skripsi setebal 700 halaman lebih itu, ia menjabarkan bahwa salah satu hal yang memuluskan masuknya Islam ke Sulsel adalah berkat penggunaan sureq I La Galigo oleh para ulama-ulama di masa awal syiar Islam.

"Saya menemukan bahwa I La Galigo, yang selama ini disebut sebagai budaya pra-Islam, justru jadi media penyebaran Islam. Tentu ini jadi bukti baru bahwa terjadi proses sinkretisme, sekaligus bukti bahwa cara kompromis ditempuh oleh ulama," jelasnya.

Mengisi bangku kuliahnya dengan mengisi temu wicara perihal budaya Bugis, Abdi sadar bahwa minat terhadap epos tersebut kembali meningkat selama satu dekade terakhir. Apalagi, ia berpendapat bahwa peradaban dan sastra adalah dua hal yang tak terpisahkan.

"Inti dari sastra daerah di Sulsel adalah I La Galigo. Selain naskah kitab dari Jawa kuno, sebenarnya orang Sulsel juga mahir dan pintar dalam bersastra. Dan bahkan sudah diakui oleh UNESCO. Saya belajar peradaban Yunani, Eropa dan India, mereka memulai peradabannya dengan sastra," jelas Abdi.

Lantas, apa ia kepikiran untuk memindahkan hasil penelitiannya dari lembar-lembar skripsi menjadi buku untuk dibaca khalayak luas?

"Dosen sudah meminta hal itu. Tapi saya hanya ingin mencetak ini dalam bentuk skripsi saja, bukan dalam bentuk buku," jawabnya.

"Saya cuma berharap ini menjadi inspirasi bagi anak muda lain. Agar penelitian skripsi menghasilkan sebuah temuan dan terobosan," pungkas Abdi.

Baca Juga: Nama Khas Bugis Makassar, Identitas Kultural Pengingat Kampung Halaman

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya