3 Pahlawan Nasional dari Pulau Jawa yang Dimakamkan di Sulawesi

Kamu sudah tahu siapa saja mereka?

Makassar, IDN Times - Seiring dengan peringatan Hari Pahlawan yang jatuh pada Minggu (10/11) kemarin, publik kembali diajak untuk kembali menggali memori atas jejak perjuangan Indonesia yang sudah membentang sejak abad ke-16.

Pulau Sulawesi pun punya riwayat panjang perlawanan terhadap penjajah, mulai dari peristiwa Perang Makassar (1660-1669) hingga aksi-aksi gerilya yang dilakukan oleh pasukan pimpinan Ranggong Daeng Romo dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Selain itu, pulau ini juga menjadi tempat peristirahatan terakhir tiga tokoh perjuangan yang lahir di luar Sulawesi. Orang-orang ini adalah inspirasi perjuangan banyak pejuang selama perjuangan membebaskan Nusantara dari rantai penjajahan. Berikut ini IDN Times menyajikan profil singkat mereka.

1. Pangeran Diponegoro (Makassar, Sulawesi Selatan)

3 Pahlawan Nasional dari Pulau Jawa yang Dimakamkan di SulawesiIDN Times/Achmad Hidayat Alsair

Pangeran Diponegoro menghabiskan tahun-tahun terakhir hidupnya di Makassar. Setelah diringkus oleh pasukan pimpinan Jenderal Hendrik Merkus de Kock pada 28 Maret 1830 --juga mengakhiri Perang Jawa (1825-1830) yang melelahkan pemerintah kolonial Belanda--, putra sulung Sultan Hamengkubuwono II ini dibuang ke Manado bersama sang istri, anak dan sejumlah pengikut setianya.

Namun, ia hanya tinggal di ibu kota Sulawesi Utara tersebut selama empat tahun. Mereka kemudian dipindahkan ke Makassar pada tahun 1834. Dan sepanjang 21 tahun berikutnya, pangeran yang lahir dengan nama Bendara Raden Mas Antawirya tersebut menghabiskan hari-harinya di salah satu sudut penjara Benteng Fort Rotterdam.

Kelima anak yang setia mendampingi sang ayahanda kemudian menikah dengan sejumlah bangsawan dari sejumlah kerajaan yang waktu itu berdiri di Sulawesi Selatan. Mulai dari Bone, Soppeng hingga Gowa. Diponegoro wafat pada 8 Januari 1855 dan dikebumikan tak jauh dari Fort Rotterdam.

Pangeran Diponegoro dianugerahkan status Pahlawan Nasional pada tanggal 6 November 1973 melalui Keppres No.87/TK/1973. Sementara itu Babad Diponegoro, riwayat hidup Diponegoro dalam bahasa Jawa, ditetapkan sebagai Warisan Ingatan Dunia UNESCO pada 2013 silam.

2. Tuanku Imam Bonjol (Minahasa, Sulawesi Utara)

3 Pahlawan Nasional dari Pulau Jawa yang Dimakamkan di SulawesiANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho

Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat, 1772) adalah salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang perlawanan rakyat. Lahir dengan nama asli Muhammad Shahab, ia adalah putra dari pasangan Bayanuddin Shahab dan Hamatun. Didikan di lingkungan keluarga yang religius banyak membentuk pandangannya atas kondisi sosial saat itu.

Kendati diawali pertentangan cara pandang perkara adat dan agama, Perang Paderi berubah menjadi upaya memerangi pemerintah kolonial Belanda. Padahal di saat bersamaan, Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch harus menghadapi Perang Jawa. Belanda baru mengakhiri perang setelah 17 tahun berkecamuk melalui proses pengepungan Benteng Bonjol selama 6 bulan.

Tuanku Imam Bonjol menyerah Oktober 1837, dengan syarat bahwa anaknya, Naali Sutan Chaniago, diangkat sebagai pejabat kolonial Belanda. Imam Bonjol sempat dibuang ke Cianjur, Jawa Barat dan Ambon, sebelumnya akhirnya menetap di Minahasa, Sulawesi Utara. Ia wafat pada usia 92 tahun di tempat pengasingan terakhirnya pada 8 November 1864.

Sama seperti Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol diberi status Pahlawan Nasional pada tanggal 6 November 1973 melalui Keppres No.87/TK/1973.

Baca Juga: 6 Potret Makam Pangeran Diponegoro, Menengok Sejarah Perjuangan Bangsa

3. Imam Modjo (Minahasa, Sulawesi Utara)

3 Pahlawan Nasional dari Pulau Jawa yang Dimakamkan di SulawesiWikimedia Commons (Djoko Sanudin)

Kyai Modjo adalah seorang ulama asal Jawa Tengah yang menentang intervensi pemerintahan kolonial Belanda ke urusan kesultanan lokal. Lahir pada tahun 1792 dengan nama asli Muslim Mochammad Khalifah, Kyai Modjo lahir dari pasangan Iman Abdul Ngarip dan R.A. Mursilah. Sang ayah adalah seorang ulama di desa Baderan dan Modjo, sementara ibundanya adalah saudara perempuan Sri Sultan Hemangkubuwono III.

Dalam Perang Jawa, ia menjadi penasihat religius serta panglima kepercayaan Pangeran Diponegoro. Nahas, ia lebih dahulu diringkus oleh Belanda pada 17 November 1828. Kyai Modjo bersama 63 orang pengikutnya kemudian diasingkan ke Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara, setelah sempat ditahan sementara di kota bandar Batavia.

Selain menjadi penyiar awal agama Islam di Minahasa, Kyai Modjo turut mendirikan Kampung Jawa Tondano. Daerah tersebut kini dihuni para keturunan pengikut Kyai Modjo yang menikah dengan wanita setempat. Kyai Modjo wafat di Tondano pada tanggal 20 Desember 1849 dalam usia 57 tahun. 

Pada 2017 silam, Pemerintah Kabupaten Minahasa sudah mengusulkan nama Kyai Modjo untuk diberi status Pahlawan Nasional. Namun belum ada kabar lanjutan hingga detik ini.

Baca Juga: Makam Pangeran Diponegoro, Saksi Bisu Perjuangan di Tanah Daeng

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya