Vaksin Moderna Halal atau Haram? Ini Jawaban MUI

Belum ada fatwa MUI soal sertifitasi vaksin Moderna

Makassar, IDN Times - Indonesia sudah menerima vaksin Moderna sejak Juli lalu. Vaksin COVID-19 itu pun sudah mulai didistribusikan ke seluruh daerah.

Khusus Moderna, untuk tahap awal vaksin itu diprioritaskan sebagai booster atau suntikan ketiga bagi tenaga kesehatan. 

Vaksin Moderna dikirim dari Amerika Serikat sebagai bantuan melalui COVAX Facility. Vaksin itu diharapkan bisa memenuhi target capaian herd immunity atau kekebalan kelompok di Indonesia.

Meski sudah digunakan, sejauh ini belum ada fatwa terbaru Majelis Ulama Indonesia (MUI) bagi umat muslim soal kehalalan vaksin Moderna.

Baca Juga: Vaksin Moderna Timbulkan KIPI Luar Biasa, Menkes: Berikan Paracetamol

1. MUI baru bolehkan penggunaan tiga jenis vaksin

Vaksin Moderna Halal atau Haram? Ini Jawaban MUILogo Majelis Ulama Indonesia (MUI) (IDN Times/Mui.or.id)

Mengutip artikel tanya jawab seputar keislaman di laman MUI Digital, yang diterbitkan Rabu (25/8/2021), sejauh ini baru ada sertifikasi tiga produk vaksin COVID-19. Masing-masing Sinovac, AstraZeneca, dan Sinopharm.

MUi menetapkan bahwa vaksin Sinovac halal. Sedangkan AstraZeneca dan Sinopharm dinyatakan haram.

Namun MUI membolehkan dua vaksin itu karena kondisi yang mendesak. Selain itu, pertimbangannya adalah risiko fatal jika tidak dilakukan vaksinasi, ketersedian vaksin Covid-19 yang halal tidak mencukupi, serta sulitnya mendapatkan dosis Vaksin Covid-19.

Sedangkan untuk Vaksin Pfizer saat ini sedang dikaji MUI dan dalam waktu dekat segera akan difatwakan.

Dijelaskan bahwa MUI menetapkan fatwa produk halal berdasarkan tiga hal. Yang pertama bahan, baik bahan baku, bahan tambahan, dan bahan penolong harus halal. Kedua, proses produksi halal harus dijamin tidak terkontaminasi dengan najis. Ketiga, adanya sistem dalam perusahan yang menjamin kehalalan mulai dari hulu sampai hilir.

2. MUI tidak bisa mengakses data bahan vaksin Moderna

Vaksin Moderna Halal atau Haram? Ini Jawaban MUIIlustrasi vaksin Moderna untuk pencegahan COVID-19. ANTARA FOTO/Umarul Faruq

MUI mengeluarkan fatwa kehalalan vaksin yang merupakan hasil diplomasi dan kerja sama bilateral antara Pemerintah dengan negara asal produsen vaksin. Dengan skema kerja sama bilateral ini, pemerintah diberikan akses dengan perusahaan untuk proses audit sertifikasi halal.

Sedangkan vaksin moderna didapatkan Pemerintah melalui jalur multilateral. Vaksin ini didapat secara gratis dengan fasilitas Covax/Gavi. Skemanya adalah WHO mendapatkan vaksin dari perusahaan vaksin, kemudian WHO membagikan vaksin tersebut ke negara-negara yang tergabung dalam Covac tersebut.

Dengan skema multilateral ini, untuk proses sertifikasi halal agak rumit dan panjang alurnya, karena Pemerintah tidak punya akses lagsung dengan perusahaan vaksin. Sehingga MUI pun tidak dapat mengakses data-data tentang bahan, proses produksi vaksin yang dapat dijadikan dasar dalam penetapan fatwa atas kehalalan produk vaksin Moderna.

3. Ini fatwa MUI soal vaksinasi

Vaksin Moderna Halal atau Haram? Ini Jawaban MUIIlustrasi vaksinasi COVID-19 (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra)

Menurut sumber yang sama, MUI menyatakan vaksinasi sebagai upaya imunisasi aktif untuk memicu tubuh mengeluarkan antibodi terhadap penyakit tertentu. Dalam praktiknya, vaksinasi jadi upaya untuk tidak terkena penyakit.

Soal imunisasi, MUI telah menetapkan Fatwa Nomor 4 Tahun 2016. Berikut ini isinya:

  1. Imunisasi pada dasarnya dibolehkan (mubah) sebagai bentuk ikhtiar untuk mewujudkan kekebalan tubuh (imunitas) dan mencegah  terjadinya suatu penyakit tertentu
  2. Vaksin untuk imunisasi wajib menggunakan vaksin yang halal dan suci
  3. Penggunaan vaksin imunisasi yang berbahan haram dan/atau najis hukumnya haram
    1. Imunisasi dengan vaksin yang haram dan/atau najis tidak dibolehkan kecuali:      -digunakan pada kondisi al-dlarurat atau al-hajat;
      -belum ditemukan bahan vaksin yang halal dan suci; dan
      -adanya keterangan tenaga medis yang kompeten dan dipercaya bahwa tidak ada vaksin yang halal.
  4. Dalam hal jika seseorang yang tidak diimunisasi akan menyebabkan kematian, penyakit berat, atau kecacatan permanen yang mengancam jiwa, berdasarkan pertimbangan ahli yang kompeten dan dipercaya, maka imunisasi hukumnya wajib.
  5. Imunisasi tidak boleh dilakukan jika berdasarkan pertimbangan ahli yang kompeten dan dipercaya, menimbulkan dampak yang membahayakan (dharar).

Baca Juga: Dokter di Bulukumba Meninggal Usai Disuntik Vaksin Tahap III

Topik:

  • Aan Pranata

Berita Terkini Lainnya