5 Alasan Seseorang Suka Menginterupsi saat Kamu Berbicara

Saat sedang menyampaikan sesuatu, lalu tiba-tiba dipotong oleh orang lain, rasanya tentu tidak menyenangkan. Bahkan, dalam situasi yang lebih intens, interupsi bisa membuat seseorang kehilangan semangat berbicara atau merasa opininya tidak penting. Menginterupsi bukan hanya soal etika dalam komunikasi, tapi juga bisa menunjukkan banyak hal tentang cara seseorang memandang dirinya dan lawan bicaranya. Kebiasaan ini kerap dianggap remeh, padahal bisa merusak alur diskusi, menurunkan kepercayaan diri lawan bicara, hingga menghambat terciptanya rasa saling menghargai.
Di balik kebiasaan menginterupsi, ada banyak alasan psikologis maupun kebiasaan yang terbentuk dari pola komunikasi sebelumnya. Beberapa orang melakukannya tanpa sadar, sementara sebagian lain melakukannya karena merasa lebih tahu atau tidak sabar menunggu giliran. Pemahaman soal apa yang melatarbelakangi kebiasaan ini bisa membantu dalam menghadapinya dengan lebih bijak dan tidak reaktif. Berikut lima alasan seseorang suka menginterupsi saat berbicara.
1. Ingin terlihat pintar atau dominan
Sebagian orang menginterupsi karena merasa perlu menunjukkan bahwa mereka tahu lebih banyak. Mereka ingin mengarahkan percakapan atau menunjukkan keunggulan dalam hal pengetahuan atau pengalaman. Tindakan ini sering dilakukan secara refleks, terutama dalam lingkungan yang kompetitif atau ketika merasa kehadirannya harus diakui.
Sayangnya, ini membuat lawan bicara merasa tidak dihargai. Ketika orang lain terus-menerus mencoba menunjukkan bahwa dirinya lebih tahu, komunikasi jadi tidak setara. Keinginan untuk berbagi ide malah berubah jadi perlombaan siapa yang paling unggul, dan ini bisa melelahkan secara emosional.
2. Tidak sabar menunggu giliran
Kurangnya kesabaran juga jadi penyebab umum. Beberapa orang sulit menahan dorongan untuk langsung merespons atau menyampaikan pikiran sebelum lupa. Alhasil, mereka memotong pembicaraan karena merasa apa yang ingin disampaikan terlalu penting untuk ditahan.
Kebiasaan ini bisa menunjukkan kontrol emosi yang kurang stabil. Padahal, pembicaraan yang baik membutuhkan ruang dan waktu untuk setiap pihak menyampaikan pikirannya. Interupsi terus-menerus bisa memicu konflik atau membuat suasana jadi tegang, karena satu pihak merasa tidak diberi ruang.
3. Tidak sadar sedang mengganggu
Ada juga yang terbiasa menginterupsi tanpa sadar. Ini bisa jadi hasil dari lingkungan komunikasi yang memang sering tumpang tindih, seperti dalam keluarga atau komunitas tempat semua orang berbicara bersamaan. Mereka tidak melihat interupsi sebagai hal yang mengganggu, karena sudah jadi bagian dari kebiasaan sehari-hari.
Walaupun niatnya tidak buruk, efeknya tetap bisa menimbulkan rasa kesal atau tersinggung. Apalagi kalau interupsi itu membuat pesan utama pembicaraan jadi hilang arah. Dalam jangka panjang, komunikasi seperti ini membuat hubungan terasa kurang harmonis.
4. Cemas jika tidak didengar
Orang yang takut tidak didengarkan sering merasa harus segera menyampaikan pendapat agar tidak dilupakan. Mereka cemas jika harus menunggu, karena merasa peluangnya akan hilang. Rasa tidak aman ini bisa berakar dari pengalaman masa lalu di mana suaranya sering diabaikan.
Mereka mungkin tidak sadar bahwa dengan terus memotong, mereka justru menciptakan kondisi yang tidak nyaman bagi orang lain. Alih-alih membangun komunikasi yang saling mendukung, kecemasan ini malah membuat mereka terlihat egois atau tidak peka.
5. Ingin mengontrol arah percakapan
Ada pula yang menginterupsi karena ingin mengarahkan pembicaraan ke topik yang lebih disukai. Ini biasanya terjadi ketika topik yang dibahas dirasa tidak relevan atau tidak menarik. Dengan memotong, mereka mencoba mengambil alih kendali dan mengganti fokus pembicaraan sesuai preferensi mereka.
Perilaku ini bisa membuat lawan bicara merasa tidak dihargai, apalagi jika topik yang sedang dibahas penting bagi dirinya. Komunikasi pun jadi tidak setara karena satu pihak terus merasa harus mengikuti keinginan pihak lain.
Menginterupsi bisa terlihat seperti hal kecil, tapi dampaknya bisa besar dalam jangka panjang, terutama terhadap kualitas hubungan dan komunikasi. Dengan memahami alasan-alasan di balik kebiasaan ini, langkah pertama untuk menciptakan komunikasi yang lebih sehat pun bisa dimulai, baik dengan membangun kesadaran diri maupun mengajak orang lain berbicara dengan saling menghargai.