TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Mengupas Privilese, Hak Istimewa yang Dimiliki Segelintir Orang

Topik ini mencuat setiap berbicara tentang karier

Ilustrasi orang kaya. (Unsplash.com/Austin Distel)

Pernah dengar istilah "privilege" atau hak istimewa? Belakangan, kata tersebut sering banget muncul dalam bahasan tentang kesenjangan sosial. Entah itu di ekonomi, pendidikan, jenis kelamin, status keluarga hingga fakta bahwa pembangunan di Indonesia belum merata.

Di sisi lain, hak istimewa ini secara otomatis melekat kepada sebuah jabatan penting tertentu. Seperti presiden sebagai kepala negara dan/atau kepala pemerintahan. Salah satu contoh kasus hak istimewa yakni ketika Presiden Joko Widodo melakukan kunjungan ke Tangerang, Banten, mengendarai motor pada 4 November 2018. 

Saat itu, Jokowi berkendara tanpa menyalakan lampu motor seperti yang diatur pada Pasal 107 Ayat 2 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009. Namun seperti dijelaskan oleh Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Feri Amsuri, saat itu Jokowi melakukan tugas kenegaraan sebab didampingi pasukan pengamanan dan polisi. Hak istimewa Jokowi sebagai presiden pun berlaku.

1. Privilege, atau hak istimewa, adalah sebuah warisan atau diraih dengan usaha sendiri

Ilustrasi orang kaya. (Unsplash.com/Austin Distel)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata "privilese" --serapan "privilege" ke dalam Bahasa Indonesia-- berarti hak istimewa.

Sementara Kamus Merriam-Webster mendefinisikan "privilege" sebagai "hak atau kekebalan yang diberikan sebagai keuntungan, manfaat, atau bantuan khusus". Makna lebih jauhnya yakni "hak atau kekebalan yang melekat secara khusus pada suatu posisi atau jabatan."

Muncul pertanyaan: apakah privilese ini hanya berlaku jika seseorang berhasil menduduki sebuah jabatan penting? Tentu saja tidak. Dalam kehidupan masyarakat, persepsi tentang siapa yang berhak atas hak istimewa itu mengacu pada banyak hal.

Nah, hak istimewa ini diperoleh seseorang jika lahir dari kalangan keluarga bangsawan, golongan elite atau kemampuan finansial jauh di atas rata-rata. Mendiang sosiolog Ralph Linton, dalam buku The Study of Man: An Introduction (1936), menyebutnya sebagai "assigned status".

Sementara privilese juga bisa diraih seseorang jika berhasil menduduki jabatan tinggi berkat usaha sendiri. Atau dalam istilah Linton, "ascribed status".

2. Tak bisa dimungkiri, privilese sangat berpengaruh dalam dunia kerja

Ilustrasi wawancara kerja. (Unsplash.com/Sebastian Herrmann)

Alhasil, terbentuklah persepsi negatif terkait privilese ini. Masyarakat pada umumnya memandang ini sebagai sebuah bentuk ketidakadilan. Sebab, keuntungan ini diperoleh secara sepihak, atau malah diwariskan. "Bagaimana bisa bersaing dalam lomba melawan orang yang sudah start lebih dulu?", begitu anggapan mereka.

Tidak heran, privilese ini oleh beberapa orang dipandang berperan penting dalam melancarkan sesuatu. Contohnya, kesuksesan di tempat kerja atau kemudahan urusan yang dianggap pelik. Maka, seperti ungkapan yang lazim didengar, orang kaya dengan hak istimewa bakal semakin kaya.

Sebenarnya, talenta dan kerja keras juga jadi dua faktor yang bisa mengantar seseorang mencapai kesuksesan. Tapi, tak bisa dimungkiri jika privilese bakal memberi keuntungan yang berlebih.

Contohnya, jejaring relasi orangtua bisa mempengaruhi jenjang karier anak-anaknya. Tapi, tentu saja akan menjadi negatif kalau proses rekrutmen sang anak berlangsung sepihak, tidak adil, atau tak sesuai dengan peraturan. Belum lagi membahas karier sang anak, dengan privilese warisan orangtua, bisa meroket begitu cepat.

Baca Juga: AJI Makassar Nilai Privilese Jurnalis untuk Rapid Test Tidak Tepat

Berita Terkini Lainnya