Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

5 Fakta Pahit Tentang Pekerjaan Impian yang Sering Diromantisasi 

ilustrasi gaji (pexels.com/MART PRODUCTION)
ilustrasi gaji (pexels.com/MART PRODUCTION)

Gaji sering kali jadi patokan utama ketika seseorang memutuskan akan mengambil atau menolak suatu pekerjaan. Angka yang terlihat besar dan menggiurkan di awal bisa membuat siapa pun langsung membayangkan hidup nyaman, bebas utang, dan bisa liburan setiap akhir pekan. Namun, kenyataan di balik angka itu tidak selalu seindah ekspektasi yang dibangun di kepala kita. 

Banyak orang terjebak dalam imaji pekerjaan impian hanya karena terpaku pada angka gaji yang tinggi, padahal belum tentu kehidupan yang dijalani setelahnya benar-benar membahagiakan. Rasa penasaran akan kenyataan yang sebenarnya sering tertutup oleh narasi manis di media sosial atau cerita-cerita sukses yang dilebih-lebihkan. Berikut lima fakta yang mungkin bisa membuka sudut pandangmu dari sisi yang lebih jujur.

1. Perusahaan sering menuntut lebih dari yang dijanjikan

ilustrasi lembur (pexels.com/cottonbro studio)
ilustrasi lembur (pexels.com/cottonbro studio)

Saat seseorang menandatangani kontrak kerja, biasanya yang di-highlight dan dibaca dengan saksama hanyalah jumlah gaji, tunjangan, dan jadwal kerja saja. Padahal, beban kerja yang sebenarnya sering kali jauh lebih besar daripada yang tertulis di atas kertas. Banyak perusahaan memberikan ekspektasi tinggi dengan dalih "profesionalisme", meskipun tidak disertai kompensasi yang sepadan.

Tanpa sadar, waktu kerja yang semula berkisar delapan jam bisa meluber jadi sepuluh atau dua belas jam per hari, lho. Tugas tambahan datang tiba-tiba, sering kali di luar bidang kerja utama. Kamu diminta serba bisa tanpa diberi pelatihan yang cukup. Dalam jangka panjang, beban ini menciptakan kelelahan mental yang tidak kelihatan secara fisik, tapi terasa sangat nyata setiap kali bangun pagi.

2. Gaji tinggi sering dibayar dengan waktu pribadi yang hilang

ilustrasi overwork (pexels.com/cottonbro studio)
ilustrasi overwork (pexels.com/cottonbro studio)

Ketika kamu mendengar seseorang digaji tinggi, mungkin yang terlintas di pikiran adalah hidup mewah dan tanpa kekhawatiran. Padahal, uang sebesar apa pun tidak selalu sepadan dengan waktu yang hilang bersama keluarga, teman, atau bahkan diri sendiri. Pekerjaan dengan gaji besar sering kali menuntut komitmen penuh, termasuk di luar jam kantor dan akhir pekan.

Ponsel kerja harus aktif 24 jam, pesan dari atasan tidak bisa diabaikan meskipun sedang makan malam bersama orang tua. Waktu luang berubah jadi waktu siaga. Hal-hal kecil yang dulunya memberi kebahagiaan, seperti membaca buku atau berolahraga, perlahan hilang dari rutinitas. Pada akhirnya, kamu mungkin sadar bahwa uang yang kamu hasilkan tidak bisa membeli kembali waktu yang sudah terlewat.

3. Ekspektasi sosial membebani mental lebih dari yang disadari

ilustrasi stres bekerja (pexels.com/Anna Tarazevich)
ilustrasi stres bekerja (pexels.com/Anna Tarazevich)

Begitu seseorang mendapatkan pekerjaan bergengsi dengan gaji besar, ekspektasi orang-orang di sekitarnya juga ikut naik. Keluarga berharap kamu bisa menanggung lebih banyak beban finansial. Teman-teman menganggap kamu tidak pernah kesulitan uang. Bahkan, orang asing pun menghakimi pilihan hidupmu hanya karena profesimu terdengar elit.

Semua itu menciptakan tekanan sosial yang tidak terlihat tapi berat dipikul. Kamu jadi merasa wajib selalu tampil sukses, tak boleh mengeluh, apalagi terlihat lelah. Padahal, kenyataan tidak selalu seindah yang dilihat dari luar. Jika terus menerus berusaha memenuhi ekspektasi orang lain, lama-lama kamu akan kehilangan koneksi dengan kebutuhan dan kenyamanan diri sendiri.

4. Lingkungan kerja tidak selalu seimbang dengan nominal gaji

ilustrasi lingkungan kerja (pexels.com/Yan Krukau)
ilustrasi lingkungan kerja (pexels.com/Yan Krukau)

Kamu mungkin pernah berpikir bahwa gaji tinggi pasti sebanding dengan fasilitas kantor yang menyenangkan atau rekan kerja yang suportif. Namun realitasnya tidak selalu begitu. Ada banyak tempat kerja yang menyamar sebagai "kantor impian", tapi ternyata punya budaya kerja toksik, penuh persaingan tidak sehat, dan minim empati antarpegawai.

Nominal gaji yang besar bisa jadi hanya alat penenang agar kamu betah di lingkungan yang sebenarnya merugikan secara psikologis. Suasana kerja yang tidak sehat akan berdampak langsung pada semangat, fokus, dan bahkan kesehatan tubuhmu. Jika setiap hari kamu harus datang dengan perasaan tertekan, maka sebesar apa pun gaji yang ditawarkan tidak akan terasa cukup untuk mengganti kualitas hidup yang hilang.

5. Cita-cita kadang berubah setelah melihat kenyataan

ilustrasi stres bekerja (pexels.com/Kampus Production)
ilustrasi stres bekerja (pexels.com/Kampus Production)

Sejak kecil, banyak sekali orang yang menaruh impian pada satu profesi yang dianggap ideal, bergengsi, dan tentu saja bergaji tinggi. Tapi seiring waktu, setelah benar-benar masuk ke dalamnya, banyak dari mereka justru merasa tidak bahagia. Realita kerja yang monoton, tekanan dari atasan, dan kurangnya ruang eksplorasi sering membuat mimpi masa kecil berubah jadi beban masa kini.

Apa yang dulu dianggap sebagai pencapaian, berubah jadi rutinitas yang menjemukan. Bahkan, tak sedikit orang yang mulai merindukan hal-hal sederhana seperti pekerjaan yang tenang, waktu yang fleksibel, atau atasan yang manusiawi. Ketika itu terjadi, kamu mulai bertanya apakah gaji benar-benar bisa dijadikan tolok ukur utama untuk kebahagiaan.

Bekerja memang penting, apalagi jika tujuannya untuk hidup layak dan mandiri. Tapi menggantungkan seluruh rasa bahagia pada gaji tanpa mempertimbangkan aspek lain bisa membuatmu terjebak dalam lingkaran yang melelahkan. Pekerjaan impian seharusnya bukan hanya soal penghasilan, tapi juga tentang rasa cukup, nyaman, dan seimbang dalam menjalani hidup.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Aan Pranata
EditorAan Pranata
Follow Us