3 Novel yang Mengangkat Konflik Tambang di Indonesia

Aksi penulis melawan tambang melalui fiksi

Kamu tentu tahu tentang kasus korupsi praktik tambang timah ilegal di Bangka Belitung yang menghebohkan akibat kerugian lingkungan yang mencengangkan.Yup, nilai kerugian lingkungan selama 7 tahun dari 2015-2022 diperkirakan mencapai Rp271 triliun. Itu baru kerugian lingkungan di Bangka Belitung, lalu bagaimana dengan pertambangan yang ada di seluruh Indonesia? 

Sejumlah penulis tanah air menguraikan cerita fiksi yang begitu terasa nyata dengan industri tambang di Indonesia. Novel mereka membuka mata dan nurani untuk merasakan saudara kita yang terdampak aktivitas tambang, menyaksikan bahwa belum tercapainya keadilan sosial bagi mereka. Benarkah tambang menyejahterakan warga lokal? Atau hanya menguntungkan pengusaha tambang dan investor tambang? Tiga novel berikut menarik untuk dibaca!

Baca Juga: 4 Kepercayaan Suku Toraja tentang Kematian dalam Novel Puya ke Puya

1. Teruslah Bodoh Jangan Pintar - Tere Liye

3 Novel yang Mengangkat Konflik Tambang di IndonesiaTeruslah Bodoh Jangan Pintar (dok.pribadi/Gem Akasa)

Terbit pada 28 Januari 2024, mulai bab awal hingga bab akhir novel Teruslah Bodoh Jangan Pintar karya Tere Liye ini sepenuhnya mengangkat konflik tambang. Kelompok aktivis lingkungan yang terdiri dari enam anggota, menggugat PT Semesta Minerals & Mining melalui sidang dengar pendapat sebagai upaya menghentikan pemberian izin tambang karena PT tersebut memiliki jejak buruk operasional tambang. Aktivis lingkungan menghadirkan saksi yang menguatkan telah terjadinya ketidakadilan, kecurangan, dan kerusakan lingkungan akibat tambang PT Semesta Minerals & Mining. Keputusan sidang tersebut ditentukan oleh 7 anggota komite independen terpilih. 

Pemilihan judul novel yang menggunakan bahasa satire, Teruslah Bodoh Jangan Pintar, sebuah pesan yang ingin disampaikan penulis agar pembaca melek dan sadar terhadap permasalahan tambang di Indonesia. Tambang yang katanya memberi kontribusi besar terhadap pemasukan negara dan membuka lapangan pekerjaan bagi warga lokal tidak sepenuhnya benar, pembaca akan dibuat melongo dengan cerita yang diungkap Tere Liye. Meskipun cerita fiksi, sejumlah penokohan dan jalan cerita yang ditulis bisa membuat pembaca bertanya-tanya, apakah ini betulan terjadi dengan industri tambang di Indonesia? Yuk, baca dan jadilah 'pintar'!

2. Perempuan yang Menunggu di Lorong Menuju Laut - Dian Purnomo

3 Novel yang Mengangkat Konflik Tambang di IndonesiaPerempuan yang Menunggu di Lorong Menuju Laut (dok.pribadi/Gem Akasa)

Dian Purnomo, penulis wanita kelahiran 1976 dengan 9 karya novel, satu diantaranya diambil dari kisah nyata dari aktivitas tambang emas di Pulau Sangihe yang berjudul Perempuan yang Menunggu di Lorong Menuju Laut, terbit pada Oktober 2023. Pembaca diajak merasakan perjuangan Shalom Mawira beserta segenap masyarakat Sangihe yang tergabung dalam Aliansi Selamatkan Pulau Kami, memperjuangkan tanah kelahiran mereka yang direnggut tambang emas. Sudut pandang novel ini adalah Mirah, aktivis perempuan dari Yayasan Sayangi Alam (YSA) yang ditugaskan melakukan pemberdayaan di desa-desa Sangihe. 

Masyarakat Sangihe melawan tambang melalui berbagai upaya, menggungat tambang melalui jalur hukum, menghadang kendaran berat yang menuju lokasi tambang serta melakukan aksi penolakan tambang setiap hari minggu di atas perahu dengan membawa spanduk dari pantai ke pantai di Pulau Sangihe supaya mendapat perhatian publik dan pemerintah. Upaya tersebut dilakukan karena dampak tambang yang merusak lingkungan juga berakibat terhadap mata pencaharian warga sebagai petani dan nelayan. 

Apakah perjuangan masyarakat Sangihe membuahkan hasil? Bagaimana sikap pemerintah dalam menyikapi konflik tambang di Sangihe? Dian Purnomo akan membuat pembaca merasa kesal, marah, dan kecewa dengan apa yang terjadi di Sangihe.

3. Puya ke Puya - Faisal Oddang

3 Novel yang Mengangkat Konflik Tambang di IndonesiaPuya ke Puya (dok.pribadi/Gem Akasa)

Secara kesuluruhan, novel Puya ke Puya, karya Faisal Oddang yang terbit pada 08 November 2021 ini tidak difokuskan mengangkat dampak tambang secara penuh. Penulis menyampaikan bahwa tambang meminta tanah adat warisan dari leluhur serta cara keji pihak tambang yang ingin mendapatkan tanah tersebut. Untuk menghindari penolakan warga, pihak tambang menjanjikan pekerjaan bagi warga yang tidak menolak tambang.

Dikisahkan tongkonan (rumah adat Toraja) keluarga Rante Ralla, menghalangi akses menuju Tambang Toraja Subur, tambang nikel. Pihak tambang menawarkan uang yang menggiurkan ke Rante supaya bersedia menjual tanahnya. Namun, Rante tidak ingin melepas tanahnya karena tanah tersebut adalah warisan nenek moyang yang wajib dijaga. Rante memilih sikap menolak tambang, sebagai ketua adat, Rante mengerahkan warga untuk melakukan aksi penolakan. Allu Ralla, anak Rante sebagai aktivis di kampus bersama temannya ikut membantu perjuangan Rante dengan memberi tahu bahaya tambang kepada warga. Namun, warga yang awalnya menolak berubah karena dijanjikan diberi pekerjaan oleh tambang.

Akankah tongkonan Rante dan Allu bisa dibeli tambang? Apakah benar Tambang Toraja Subur menepati janjinya untuk memberi pekerjaan ke warga yang tidak menolak? Faisal Oddang menulis jalan cerita yang merupakan cerminan industri tambang untuk memuluskan tujuannya.

Tiga novel diatas menjadi perjuangan penulis dalam menyuarakan konflik tambang kepada publik. Novel yang membangun empati, kepedulian sosial, dan cinta tanah air. Yuk, segera baca!

Baca Juga: 5 Novel tentang Perjuangan Indonesia Rebut Kemerdekaan, Sudah Tabu?

Gem Akasa Photo Community Writer Gem Akasa

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Aan Pranata

Berita Terkini Lainnya