[WANSUS] Mengulas Jalan Bermusik Juang Manyala, Komponis Muda Makassar

Bicara tentang Melismatis, Loka' dan proyek solo anyarnya

Makassar, IDN Times - Bagi para pencinta musik lokal Makassar, Juang Manyala layak disebut sebagai salah satu sosok sentral. Pada gelombang awal musik indie mulai tumbuh pesat di dekade akhir 2000-an, ia bersama lima karib masa kecilnya membentuk Melismatis yang bergenre post-rock.

Eksis dari 2010 hingga 2017, Melismatis merilis dua album yang disambut dengan antusias oleh khalayak luas yakni "Finding Moon" (2012) dan "Semesta - Rupa Pesona" (2016) yang dibungkus dalam format double album.

Usai mengakhiri perjalanan Melismatis secara epik lewat "Konser Usai Berlabuh" medio Maret 2017, Juang kemudian terlibat dalam lahirnya Loka' yang mengusung rock progresif dengan berbagai warna.

Grup musik dengan personel tujuh orang itu memperkenalkan diri mereka lewat konser tunggal di dalam bioskop pada Februari 2021, sekaligus jadi panggung musik pertama di Makassar yang dihadiri penonton (dengan penerapan prokes ketat tentu saja) selama pandemik.

Kini, selain sibuk dengan Loka', pria kelahiran Bone, 22 Oktober 1990, tersebut juga terlibat dalam kegiatan lain. Ia menggeluti dunia produksi film sebagai penata musik, serta jadi pengajar-pengelola di Prolog Studio, ruang kolektif kesenian Makassar yang didirikan pada tahun 2015.

Di sela kesibukan usai mengisi konser daring "Saferoom Concert" pada Sabtu pekan lalu (31/7/2021), ayah dari satu putri ini membagi kisahnya kepada IDN Times secara daring. Ia menceritakan banyak hal.

Mulai dari awal mengenal musik, pendirian hingga pembubaran Melismatis, menjadi pengasuh zine Vonis Media, pergerakan musik Makassar, proses kreatif, saat terjun ke dunia penata musik, kesibukan selama pandemik hingga proyek album solo anyarnya yakni "THIRTY CONTEXT" yang rilis akhir 2020 lalu. Berikut ini wawancaranya.

Dari mana Juang mulai mengenal musik? Siapa musisi atau band yang bertanggung jawab "menciptakan" minatnya?

[WANSUS] Mengulas Jalan Bermusik Juang Manyala, Komponis Muda MakassarJuang Manyala saat tampil bersama Loka' dalam acara Makassar Sound Space yang digelar pada April 2021. (Instagram.com/makassar.sound.space)

Saya kenal musik itu sejak SD. Jadi kebetulan orang tua saya juga suka main musik, suka dengan musik lah. Jadi di rumah itu ada semacam studio pribadi orang tua. Saya sering melihat keluarga-keluarga di rumah main di studio orang tuaku.

Akhirnya, saya kayak punya keinginan muncul untuk mengenal musik. Mengenal gitar, mengenal drum, mengenal bass. Gitu-gitu, lah. Akhirnya mulai deh belajar sama om-om yang sering ke rumah.

Nah, kalau ditanya siapa musisi yang bertanggung jawab, mungkin menginspirasi ya maksudnya? Yang menginspirasi itu banyak sekali sebenarnya. Tapi yang paling dekat dan masih saya ikuti sampai sekarang itu The Beatles. Jadi seorang personel The Beatles saya sangat suka pembawaannya dalam bermusik, yaitu Paul McCartney. Terus juga dia dibantu teman-temannya yang sangat asik dalam proses kreatif. Ringo Starr, George Harrison dan John Lennon.

Nah, orang-orang ini yang menginspirasi saya supaya tetap jalan (bermusik). Karena The Beatles, akhirnya saya ikut perkembangan (musik) yang lain. Kebanyakan itu musisi Eropa. Selain The Beatles ada Radiohead, Pink Floyd, Sigur Rós, Blur, Oasis, Queen sama The Carpenters. Grup musik seperti ini yang menginsipirasi musik saya.

Dekade 2010-an, anak muda Makassar pelan-pelan mulai gandrung dengan band indie. Banyak yang bahkan akhirnya membuat band indie-nya sendiri. Di mana Juang saat tren ini mencuat?

[WANSUS] Mengulas Jalan Bermusik Juang Manyala, Komponis Muda MakassarJuang Manyala saat sedang beraktivitas di Prolog Studio, sebuah ruang kolektif kesenian Makassar yang ia kelola. (Instagram.com/juangmanyala_)

Bisa dibilang dulu itu, di 2010, saya kuliah di Bandung. Tapi saya mendirikan grup musik, namanya Melismatis. Melismatis ini salah satu yang membuat anak muda Makassar menggandrungi band lokal di kotanya sendiri. Jadi karena Melismatis itu setiap tahun bikin konser tunggal, bikin album dan bikin tur nasional.

Di dekade 2010-an itu, menurutku Melismatis itu cukup berpengaruh. Dan banyak orang di sekitarku yang bilang kalau Melismatis grup musik independen yang cukup membawa pengaruh dengan semangat independensinya.

Akhirnya dengan pergerakan Melismatis ini, banyak band-band Makassar yang terinsiprasi. Dan sekarang saya melihat belakangan ini lebih banyak lagi band-band Makassar yang sangat independen dalam melakukan pergerakan, baik itu di produksi musik, promosi dan lain-lain.

Nah, kalau kita bicara tentang band indie secara nasional, sebenarnya dari era itu muncul juga band seperti Efek Rumah Kaca. Mereka menciptakan lagu pop yang sangat berbeda dengan kebanyakan lagu di Indonesia saat itu.

Efek Rumah Kaca-lah yang membuka peluang dan celah bagi industri musik nasional tentang bagaimana penonton-penonton di Indonesia itu mulai melirik band-band indie di luar band-band nasional. Band-band nasional tidak hanya yang tampil di acara-acara TV atau musik mainstream. Efek Rumah Kaca lah yang membuka peluang itu.

Bisa gak diceritakan perjalanan bermusiknya bersama band Melismatis?

https://www.youtube.com/embed/BXRO358ld4A
[WANSUS] Mengulas Jalan Bermusik Juang Manyala, Komponis Muda MakassarSampul album pertama Melismatis, "Finding Moon", yang rilis pada tahun 2012. (Dok. Istimewa)

Perjalanan bermusik bersama Melismatis itu cukup banyak memberi saya pelajaran tentang bagaimana bekerja secara kolektif. Karena mungkin yang membuat Melismatis sebagai perjalanan bermusik yang menyenangkan karena kami itu berasal dari tempat nongkrong yang sama sejak kecil. Bahkan beberapa dari kami justru baru tahu main musik saat masuk Melismatis.

Jadi kami bisa dibilang band yang dibentuk karena atas dasar pertemanan, bukan karena musik. Jadi pertemanan yang membuat kami main musik, jadi bukan musik yang membuat kami berteman. Itu yang cukup berbeda ketimbang grup musik lainnya.

Nah, karena tidak adanya sekat di antara kami, akhirnya Melismatis itu sangat eksploratif dalam melakukan sebuah inovasi. Misalnya dulu kami berpikir kenapa ya tidak ada band Makassar yang bikin konser tunggal? Dan dengan harga tiket yang mungkin standar harga festival musik. Kami akhirnya bikin konser tunggal, dan tiketnya selalu sold out.

Di 2011, kami bikin album "Finding Moon." Ada delapan lagu isinya, terus delapan lagu ini yang akhirnya membawa kami ke mana-mana. Kami bisa manggung di Jogja, Bali, Bandung, Jakarta dan tempat-tempat lainnya.

Di tahun 2012, untuk launching "Finding Moon", kami menggelar konser di Gedung Kesenian (Societeit de Harmonie). Kita jual harga tiketnya Rp50 ribu. Dan kami tidak menyangka sangat banyak yang antusias membeli tiket. Dan itu yang membuat kita semangat.

Akhirnya karena kita merasa album kita didengarkan, saat launching tiketnya sold out. Kita pun memberanikan diri untuk menggelar tur nasional. Nah di tur nasional ini kita bertemu banyak orang, melihat banyak kejadian-kejadian. Kita merasa "wah, ternyata seperti ini ya yang terjadi di luar ya?", "Begini cara melakukan pergerakan di musik?" Melismatis itu cukup banyak belajar dari apa yang kita eksplorasi di konser, di tur nasional, bertemu banyak orang dan berkolaborasi. Sampai akhirnya album pertama Melismatis sukses.

Yang paling menyenangkan di Melismatis itu adalah selalu berkolaborasi dengan filmmaker. Ada satu lagu dari album "Finding Moon" masuk dalam soundtrack film pendek Sepatu Baru (2013), disutradarai Aditya Ahmad, yang menang di beberapa festival internasional. Itu juga berpengaruh. Akhirnya beberapa orang film kenal Melismatis, seniman dan budayawan juga. Ini yang membawa Melismatis semakin melejit dengan cepat.

Namun, pada saat pengerjaan album kedua di tahun 2015, yang judulnya "Semesta - Rupa Pesona", beberapa dari kami itu sudah tidak mampu lagi bekerja di Melismatis. Ada yang pindah di luar kota, ada yang sudah sibuk dengan pekerjaannya yang lain.

Setelah tur Sulawesi "Riuh Berderau" tahun 2013 bersama band Makassar lain yakni Paniki Hate Light dan Algore Corporation, kami agak jarang bertemu karena banyak kesibukan lain. Akhirnya setelah album "Semesta - Rupa Pesona", kami memutuskan bagaimana kita berhenti dulu. Kita bubarkan Melismatis dengan menyelesaikan album kedua.

Beberapa mengatakan bahwa Melismatis adalah band yang terlalu cepat diakhiri. Apa Juang sepakat dengan pernyataan itu?

[WANSUS] Mengulas Jalan Bermusik Juang Manyala, Komponis Muda MakassarBand post-rock asal Makassar, Melismatis, yang didirikan oleh Juang Manyala. (Dok. Melismatis)

Sepakat sebenarnya, kalau kita bicara soal waktu. Tapi jika kita bicara apa yang telah kita lakukan dalam waktu yang sangat singkat, dari inisiasi pertamanya di tahun 2006 ke bubar pada 2017, menurutku itu perjalanan yang cukup panjang. Menyelesaikan dua album, tiga tur, konser-konser tunggal, manggung di beberapa event nasional dan regional. Menurutku itu sudah cukup.

Beberapa orang mungkin menilai Melismatis belum ada di puncak industri. Tapi kami merasa apa yang kami lakukan ini sudah cukup mewarnai kehidupan kita sebagai komplotan anak-anak muda yang berteman sejak kecil.

Saya gak tahu nih bagaimana orang melihat "terlalu cepat" ini. Apakah karena belum terlihat sukses? (tertawa) Atau sukses secara popularitas? Atau karena orang masih ingin lihat Melismatis tapi terlanjur dibubarkan? Saya nggak tahu "terlalu cepat" ini maksudnya seperti apa.

Tapi menurut pandanganku pribadi sih, Melismatis memang tidak pernah berharap terlalu jauh. Misalnya berada di puncak industri musik Indonesia. Kami tak banyak berpikir bahwa Melismatis itu sebenarnya band yang sangat mengejar popularitas. Visi-misinya itu bagaimana menjadi grup musik dari Makassar yang bisa mendorong kemajuan gagasan seni budaya atau berbudaya melalui musik.

Itu yang sebenarnya yang kita pengen dorong. Bagaimana kita sama-sama bergerak melalui musik untuk hal positif untuk Kota Makassar. Melismatis lebih ke arah situ sebenarnya.

Jadi kalau misalnya dibilang terlalu cepat (bubar), menurutku apa yang kita rasakan saat ini dan orang-orang sejauh ini nasih menanyakan Melismatis, menurutku apa yang dilakukan Melismatis itu... (terdiam) Bisa juga... Apa ya? Bukan juga bisa dibilang diakhiri (tertawa).

Kita juga sebenarnya tidak pernah berpikir untuk mengakhiri Melismatis, cuma karena keadaan. Daripada kita seperti band-band Makassar lainnya yang tidak ada kata bubar tiba-tiba hilang, kita lebih baik ingin fokus pada bahwa Melismatis itu pernah berkarya dan pernah mengakhiri proses pengkaryaannya dengan sangat baik, dan berterima kasih atas segala apresiasi.

Kembali ke tahun 2010, misi apa yang dibawa ketika mulai merintis zine Vonis Media?

[WANSUS] Mengulas Jalan Bermusik Juang Manyala, Komponis Muda MakassarTangkapan layar salah satu artikel Vonis Media, zine industri kreatif dan musik independen Makassar yang didirikan Juang Manyala. (Dok. Istimewa)

Tahun pendiriannya itu sebenarnya 2009, bersamaan dengan diinisiasinya Melismatis. Jadi Melismatis juga mendirikan sebuah media bernama Vonis Media. Jadi penulis musik di Vonis Media, selain beberapa jurnalis lainnya, personel Melismatis juga ikut andil di situ. Bahkan owner-nya itu saya dengan pemain keyboard yaitu Ari (Arif Fitrawan).

Misi yang dibawa ya sama dengan Melismatis tadi, lebih ke bagaimana menginisiasi atau memberikan pengaruh positif agar musisi Makassar lebih kuat dalam independensi, baik secara karya atau secara produk.

Kalau di Vonis lebih ke bagaimana menjadi sebuah wadah agar ada yang mewartakan apa yang dilakukan oleh band-band dan gerakan-gerakan kreatif di Makassar. Karena menurutku waktu itu masih sangat sedikit, bukan tidak ada ya, media yang mau bekerja di bagian itu.

Makanya kita sempat merasa kayaknya kita harus bikin media deh. Melismatis kan lebih ke-blend ya, mereka punya internal circle-nya sendiri. Kalau Vonis itu kita bikin agar bisa bergerak lebih luas, tidak mesti dalam satu formalitas grup musik. Bahkan semua orang bisa menulis. Itu yang kita harapkan sebenarnya.

Semua orang bisa merepotase, semua orang bisa mewartakan apa yang mereka ingin angkat, yang tujuannya sama dengan Vonis, yaitu jadi sebuah wadah atau platform yang mewartakan apa perkembangan di dunia kreatif khususnya musik.

Sudah satu dekade berlalu, dan apa perbedaan paling mencolok dari ekspos media terhadap musik Makassar waktu itu dan sekarang?

[WANSUS] Mengulas Jalan Bermusik Juang Manyala, Komponis Muda MakassarBand indie asal Makassar, Kapal Udara, saat tampil dalam acara festival Soundstations yang digelar di Lapangan Hasanuddin, November 2018. (IDN Times/Achmad Hidayat Alsair)

Sekarang bagus sih, justru mungkin media online yang paling banyak membahas musik itu justru dari Makassar. Perkembangannya sangat maju. Misalnya ada Makassar Indie, Pemancar, Milisi, yang platform-nya itu ada di Instagram. Menurutku itu sangat enak dibaca. Asyik sih sebenarnya.

Banyak sekarang anak-anak muda yang ingin mengambil peran membuat sebuah media. Dulu tidak ada, sekarang banyak. Sangat mengharukan sih kalau saya ingat perjalanan Vonis terus melihat media sekarang, kayak wah ternyata banyak sebenarnya yang mau skena musik kita didengarkan dan dibaca.

Bagaimana sih cerita proses sampai bisa terjun ke profesi penata musik?

[WANSUS] Mengulas Jalan Bermusik Juang Manyala, Komponis Muda MakassarJuang Manyala di sela-sela rutinitas membuat musik tema untuk film di Prolog Studio. (Instagram.com/juangmanyala_)

Ya itu tadi, karena Melismatis akhirnya berjaringan dengan beberapa filmmaker Makassar, akhirnya beberapa teman sutradara untuk (filmnya) dibikinkan musik. Kadang-kadang Melismatis yang isi soundtrack, terus saya yang jadi penata musiknya. Itu terjadi di 2012 atau 2013 lah.

Akhirnya dari situ saya coba eksplor diri, dari yang tadinya lebih banyak produksi buat musik di Melismatis akhirnya sekarang produksi musik film. Akhirnya jadi profesi karena suatu hari, salah satu orang yang sangat suka Melismatis karena kami main di Rumata' Artspace, sutradara Riri Riza selaku salah satu founder-nya tertarik lah dengan Melismatis.

Akhirnya dia tahu salah satu personel Melismatis itu suka bikin musik film-film Makassar. Di situ dia mempercayakan saya buat ngisi di film terbaik Piala Citra tahun 2016 yaitu "Athirah." Akhirnya saya masuk nominasi penata musik Piala Maya 2016 untuk film itu. Setelahnya banyak yang tahu kalau ada penata musik dari Makassar.

Pelan-pelan penata film ini jadi profesi. Sekarang hampir tiap hari bikin musik buat film. Alhamdulillah-nya begitu.

Apa saja pengalaman berkesan selama menjadi penata musik? Dan film/proyek apa yang dirasa cukup sulit?

[WANSUS] Mengulas Jalan Bermusik Juang Manyala, Komponis Muda MakassarJuang Manyala (kanan) saat sedang mengerjakan lagu tema untuk film "Suhu Beku: The Movie" garapan Rusmin Nuryadin yang rilis pada 2017. (Instagram.com/juangmanyala_)

Bisa dibilang hampir semua punya pengalaman yang berbeda. Jadi bikin musik film itu, saya kan kadang-kadang tidak mengerjakan sendiri. Kadang-kadang dibantu sama teman-teman lain sebuai kebutuhan filmnya itu. Jadi karena kerja-kerja kolaborasi, meskipun ini proyek, tapi tetap mengutamakan hal itu. Akhirnya semua terasa bisa dilewati lah.

Tapi kalau secara teknis, sulit atau tidak, semua proyek atau film pasti punya titik kesulitannya di tempat-tempat tertentu. Kalau yang paling berkesan, semuanya selalu meninggalkan kesan. Semua punya ceritanya masing-masing.

Setelah "Konser Usai Berlabuh" (konser terakhir Melismatis), Juang kembali terlibat dalam band Loka'. Apa Loka' dipersiapkan khusus untuk mengisi lagu tema film pendek "Silent Blues of the Ocean"?

[WANSUS] Mengulas Jalan Bermusik Juang Manyala, Komponis Muda MakassarSampul mini album sekaligus karya pertama band asal Makassar, Loka', yang bertajuk "SIlent Blues of the Ocean." (Dok. Istimewa)

Awalnya, sutradara film itu (Andi F. Azzahra dan Arfan Sabran) butuh sebuah gerakan, karena film ini tentang campaign kaum urban di daerah reklamasi. Selain film, dia pengen bikin kayak ada gerakan lain lah yang mungkin dari musik atau dari desain.

Jadi, setelah gak main lagi usai konser terakhir Melismatis, gimana saya coba bikin (scoring). Kebetulan film ini saya yang isi musiknya juga. Tapi karena Arfan ingin bikin gerakan yang lebih luas lagi, dalam bentuk band dan untuk menyuarakan ini (isu sentral di film), akhirnya saya bilang ya udah saya mungkin bisa nih mencoba membuat band lagi atas dasar untuk mendukung pergerakan dari "Silent Blues of the Ocean."

Akhirnya saya ngajak teman-teman yang menurutku asyik secara teknik bermain. Dan waktu itu cukup bisa mengobati rasa kesepian karena gak punya band lagi. Saya mengajak teman-teman, ada Aco (A. Reza Grenaldi, gitar), Firman (M. Firmansyah Wahidin, drum) dan saya. Itu format awalnya. Makin ke sini makin bertambah. Ada Kevin (Kevin Gonzaga, kibor), Ian (Ian Hamzah, vokalis), Daniel (Daniel Mailangkay, bass) dan Iwan (Iwan Setiawan, synth).

Itu membuat kita kayak makin kuat lah. Kita pun berpikir bahwa band ini harus terus dilanjutkan, tidak selesai di movement-nya "Silent Blues of the Ocean." Jadi awalnya dipersiapkan khusus untuk film itu, tapi makin ke sini malah makin asyik. Dan alhamdulillah Loka' bertahan sampai sekarang.

Kita kemarin kita bikin album kedua setelah "Silent Blues of the Ocean" yang berisi empat lagu kan. Kita bikin lagi tujuh lagu di album "Simplisitas", baru rilis kemarin awal tahun 2021. Band ini masih bertahan dan punya banyak rencana ke depannya.

Baca Juga: Theory of Discoustic Rilis Single Terbaru: 'Songkabala'

Loka' sudah merilis dua materi sejauh ini, dan "Simplisitas" menarik minat banyak pendengar. Seperti apa proses penggarapan dan perbedaannya dengan mini album sebelumnya?

https://www.youtube.com/embed/qz0nBqfEno8
[WANSUS] Mengulas Jalan Bermusik Juang Manyala, Komponis Muda MakassarPara pesonel band Loka' sedang berpose setelah konser peluncuran album "Simplisitas" pada Februari 2021 di Cinepolis Phinisi Point Makassar. (Instagram.com/lokamusik)

Album "Silent Blues of the Ocean" itu kebanyakan saya yang nulis, dan komposisinya masih bertiga karena waktu di garap tahun 2016 masih sama Aco dan Firman. Terus di 2018 kami merekrut empat personel baru.

Akhirnya di album "Simplisitas" itu sangat banyak insert yang baru, sangat banyak eksplorasi karena penambahan personel. Tidak seperti album sebelumnya yang didominasi oleh saya, di album kedua ini didominasi Aco yang paling banyak nulis lagunya.

Jadi kalau orang-orang dengar itu, pasti bisa menemukan perbedaan secara lagu dan melodi di dua album tersebut. Dan di "Simplisitas" kami lebih banyak mengeksplorasi di pemilihan sound, dan cerita yang kami bawa di album tersebut sangat variatif, tak hanya fokus pada satu cerita.

Sebelumnya kan sangat fokus dengan apa yang ada dalam film, sangat mengadaptasi suasana dalam film. Album "Simplisitas" itu sangat nge-band lah. Semua personel bisa mengeksplorasi instrumennya masing-masing.

Baca Juga: Pindah ke Format Daring, Rock In Celebes 2020 Tetap Ingin Menggelegar

Pandemik sudah berjalan selama nyaris satu setengah tahun. Bisa ceritakan apa saja kesibukan Juang selama masa tersebut?

[WANSUS] Mengulas Jalan Bermusik Juang Manyala, Komponis Muda MakassarPoster pameran musik sekaligus peluncuran album solo Juang Manyala yaitu "THIRTY CONTEXT" yang digelar pada Oktober 2020. (Instagram.com/juangmanyala_)

Selama pandemik tahun 2020, lebih banyak di rumah. Jadi kayak bikin karya, dan kerja semuanya kebanyakan dari rumah. Tapi di 2021 saya mencoba mencari kemungkinan yang baru agar tidak mengulang apa yang dilakukan di 2020.

Akhirnya tahun 2021 kembali sibuk di studio, di Prolog. Sekarang Prolog ini lagi banyak kesibukan membuat platform, namanya Pemancar.com, terus Prolog juga sibuk mendirikan sebuah label baru namanya Riuh Records, kerjasama Prolog dengan Etnika Studio, perusahaan desain yang bergerak di bidang desain.

Kami bekerja sama membuat sebuah label musik yang nantinya mungkin bisa merilis (karya) beberapa musisi yang kita anggap harusnya punya tempat di Indonesia.

Kalau di 2020, saya lebih banyak di rumah. Tapi ada hikmahnya juga karena jadi lebih banyak waktu dengan keluarga. Terus hampir semua alat di Prolog Studio saya bawa ke rumah. Akhirnya bisa banyak bereksplorasi, merekam sendiri dan segala macamnya. Akhirnya terlintas lah bikin album solo selain di Loka' , yang akhirnya bisa kami rilis di akhir tahun 2020 dalam pameran bertajuk THIRTY CONTEXT.

Bagaimana sih sampai bisa menggandeng Cholil Mahmud (vokalis-gitaris Efek Rumah Kaca)dan Gardika Gigih (pianis) dalam lagu tema film pendek "We"? Dan bisa ceritakan seluk beluk penggarapannya?

https://www.youtube.com/embed/l4rqc5l61aU
[WANSUS] Mengulas Jalan Bermusik Juang Manyala, Komponis Muda MakassarPoster film pendek "We" (2021) karya sineas Makassar Aco Tenriyagelli, dibintangi oleh Rachel Amanda dan Teuku Rifnu Wikana. (Instagram.com/juangmanyala_)

Karena 2020 ini kebanyakan di rumah, eksplorasi, akhirnya saya berinisiatif bikin album solo. Karena saya bukan penyanyi, saya pikir album "THIRTY CONTEXT" ini harus bekerja sama dengan banyak penyanyi. Saya pun mengajak Cholil, Fadly Padi untuk ngisi satu lagu, Jasmine Risach juga satu.

Terus ngajak vokalis Melismatis juga, Dede (Ardhyanta Sampetoding), buat ngisi satu lagu. Ada Daeng Basri (Basri Baharuddin Sila), maestro musik lokal, untuk mengisi suling. Ngajak teman dari Jogja juga, Rully (Rully Shabara) vokalis Senyawa. Terus Gardika Gigih di lagu "We" bersama Cholil.

Lagu-lagu yang berkolaborasi dengan mereka ini sebenarnya sudah kami launching di pameran musik di Prolog Studio pada Oktober 2020. Nah, banyak sekali yang interest dengan pameran tersebut. Dari yang awalnya hanya dua hari pameran, malah kita bikin sampai empat hari. Karena banyak permintaan.

Karena waktu itu banyak atensi dari teman-teman, saya berpikir kalau lagu yang barenh Cholil dan Gigih harus dirilis duluan, sebuah lagu pop yang layak untuk orang lain dengarkan. Saya merasa "We" lebih banyak bercerita tentang doa-doa untuk orang yang kita sayangi. Dan menurutku apa yang terjadi sekarang ini sangat relate dengan lagu tersebut. Lagu itulah yang kami rilis duluan dari enam lagu dalam album "THIRTY CONTEXT". Kita rilis di Spotify.

Kalau ditanya kenapa bisa menggandeng, kalau Gigih memang sengaja ngajak dia. Tadinya "We" ini cuma dibikin instrumental. Gigih main piano, terus saya yang ini musik lain. Tapi di perjalanan saya berpikir kemudian bilang ke Gigih kalau sebaiknya ada ngisi vokal yang ngikutin suara gitarku.

Mas Gigih bilang "Boleh aja, mas Juang." Saya kepikiran dengan Cholil, karena dia juga kebetulan ternyata selama ini mengikuti Melismatis. Saya jadi enak ngobrol dengan dengan karena satu frekuensi, dan saya juga suka Efek Rumah Kaca. Akhirnya saya merasa mungkin cocok-cocok aja nih kalau saya minta mas Cholil buat ngisi vokal.

Akhirnya saya coba nge-chat mas Cholil, bilang "Mas Cholil, saya punya lagu nih. Mau ngisi gak?" Dia dengar lagunya dan dia bilang "Ayo saya isi, deh. Kirimin liriknya." Satu bulan kemudian, saya bikin lirik, saya kirim, (bagian vokal) direkam mas Cholil di Jakarta, dan jadi deh kolaborasi kita bertiga.

Baca Juga: 5 Buku yang Perlu Kamu Baca agar Mengenali Makassar Lebih Dekat

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya