MIWF 2021: Dari Sensor hingga Kreativitas di Masa Pandemi

"Anthropause" jadi tema festival untuk edisi tahun ini

Makassar, IDN Times - Helatan Makassar International Writers Festival (MIWF) 2021 resmi dibuka pada Rabu malam (23/6/2021). Berbeda dari sembilan edisi sebelumnya, minus 2020 yang batal karena pandemi, festival literasi tahunan tersebut diadakan secara daring. Seluruh rangkaian kegiatan disiarkan langsung melalui kanal YouTube Rumata ArtSpace.

Sejalan dengan komitmen menghentikan laju penyebaran virus SARS-CoV-2 yang diambil pihak penyelenggara, tak ada riuhnya Benteng Fort Rotterdam --venue rutin sejak 2011-- dari sore hingga malam hari. Atas fakta kondisi sosial yang ada, "Anthropause" pun dipilih sebagai tema edisi 2021. Ini sejalan dengan konteks slogan "di rumah saja" yang bergaung sejak awal pandemik.

Hadir dalam pembukaan MIWF 2021 yakni Direktur MIWF Lily Yulianti Farid, aktor Nicholas Saputra, Marina Mahathir (penulis dan aktivis sosial-politik Malaysia), Sayaka Murata (novelis Jepang) serta Suzy Hutomo (filantropis).

Baca Juga: MIWF Dinobatkan Sebagai Festival Literasi Terbaik di London Book Fair

1. MIWF 2021 kembali menyinggung ketimpangan budaya literasi antara barat dan timur Indonesia

MIWF 2021: Dari Sensor hingga Kreativitas di Masa PandemiPoster acara pembukaan Makassar International Writers Festival (MIWF) 2021 yang berlangsung secara daring pada Rabu 23 Juni 2021. (YouTube.com/Rumata ArtSpace)

Pada seremoni pemubkaan, Lily Yulianti Farid menyinggung sulitnya dunia literasi di timur Indonesia, wilayah yang ia akui masih tertinggal secara geopolitis. Contohnya, seseorang yang tinggal di NTT harus berpikir panjang jika ingin memesan buku. Ini lantaran ongkos kirimnya bisa mencapai Rp100 ribu, jauh lebih mahal ketimbang harga buku yang dibeli.

"Belum lagi kita berpikir tentang penulis Indonesia timur yang menerbitkan bukunya. Buku-buku itu distok di Jakarta, Jogja, Bali, Bandung, supaya 140 juta orang yang tinggal di Pulau Jawa punya peluang yang sama untuk membeli buku itu," ujarnya.

"Kalau bukunya dicetak di Jogja karena banyaknya percetakan yang bagus dan murah, tetapi kemudian dikirim kembali ke Indonesia timur, dan Anda mau membelinya, akan sulit," lanjut Lily Farid.

"Kita akan berpikir soal itu, banyak hal. Tapi percayalah, semakin lama kita akan tahu, ke depan nanti setelah pandemi ini selesai, akan banyak tempat untuk melakukan pertemuan dan menyelaraskan gagasan untuk niat-niat baik seperti ini," tutur pendiri Rumata' ArtSpace tersebut.

2. Suzy Hutomo, CEO The Body Shop Indonesia, pertegas komitmen MIWF pada isu-isu lingkungan

MIWF 2021: Dari Sensor hingga Kreativitas di Masa PandemiTangkapan layar saat filantropis dan CEO The Body Shop Indonesia, Suzy Hutomo, berbicara dalam pembukaan MIWF 2021 pada Rabu 23 Juni 2021. (YouTube.com/Rumata ArtSpace)

Berbarengan dengan upaya MIWF menjadi festival yang berfokus pada isu lingkungan, mendapat giliran selanjutnya adalah Suzy Hutomo. CEO The Body Shop Indonesia tersebut menceritakan pengalaman lockdown di Bali pada 2020. "Sangat aneh melihat pantai-pantai yang biasanya ramai oleh pengunjung justru sepi dan dijaga ketat," kata Suzy.

Namun, pembatasan aktivitas tak membuat sampah-sampah yang terdampar di Sanur berkurang. Suzy dan pecinta lingkungan yang tergabung dalam The Rethinking Bali Project melakukan inisiatif pembersihan. Tetapi menurutnya, perlu ada edukasi lebih jauh lantaran ini merupakan ancaman bagi ekosistem laut.

"Bisa bayangkan apa yang dirasakan ikan-ikan di laut dan tiba-tiba sandal jepit dan tumpukan pakaian dalam ini berada di rumah mereka? Oleh karena itu, cobalah lebih bijak dalam mengelola sampah," tandasnya.

3. Marina Mahathir, penulis dan aktivis asal Malaysia, berbicara tentang masalah sensor yang kerap ia hadapi

MIWF 2021: Dari Sensor hingga Kreativitas di Masa PandemiTangkapan layar saat penulis dan aktivis Malaysia, Marina Mahathir, berbicara dalam pembukaan MIWF 2021 pada Rabu 23 Juni 2021. (YouTube.com/Rumata ArtSpace)

Kemudian, ada Marina Mahathir yang juga menceritakan bagaimana sensor tulisan di Malaysia yang berjalan ketat. Isu-isu sosial yang ia angkat terutama perempuan dan politik, diakuinya membuat banyak pihak gerah. Perempuan 57 tahun itu mengakui opini yang ia suarakan kerap mendapat ketidak setujuan dari editor.

"Saya cuma menulis apa yang saya pikirkan, selebihnya itu urusan editor. Namun selama 25 tahun menulis, saya harus mengatakan bahwa mereka memang banyak menyensor," tutur sang anak sulung dari Perdana Menteri ke-4 Malaysia, Mahathir Muhammad.

"Saya harus berpikir ulang dua hingga tiga kali, lumayan karena saya biasa menulis dua kali sebulan. Tapi saat sensor berjalan, rasanya tetap sulit. Biasanya ini terjadi pada masa jelang Pemilu, di mana mereka meminta agar saya untuk sedikit melembutkan isi tulisan. Saya bilang tidak, dan bersikukuh fase selanjutnya adalah wewenang editor," imbuhnya.

4. Novelis Jepang, Sayaka Murata, menceritakan hambatan proses kreatif yang ia hadapi selama pandemi

MIWF 2021: Dari Sensor hingga Kreativitas di Masa PandemiTangkapan layar saat penulis asal Jepang, Sayaka Murata, berbicara dalam pembukaan MIWF 2021 pada Rabu 23 Juni 2021. (YouTube.com/Rumata ArtSpace)

Amukan pandemik COVID-19 diakui sangat memengaruhi proses kreatif para penulis, tak cuma kejiwaan seluruh penduduk dunia. Novelis Sayaka Murata menjelaskan secara gamblang apa yang ia rasakan sejak pemerintah Jepang mengumumkan status darurat nasional pada April 2020 silam, termasuk dampaknya pada proses kreatif.

"Di tengah pandemi ini Jepang membuat kemanusiaan saya dibongkar. Saya tidak tahu lagi apa yang sebenarnya membentuk saya sebagai manusia. Tapi di sisi lain, saya juga melihat kemanusiaan itu dari sudut yang berbeda," papar penulis yang sudah menelurkan 11 novel itu.

"Sebelum pandemi saya senang bertemu teman-teman saya, berlama-lama menikmati waktu berharga. Setelah status gawat darurat diumumkan pemerintah, saya tidak bisa melakukannya lagi. Setiap hari saya mengurung diri di kamar. Perbincangan dengan teman-teman menjadi sebatas barisan huruf," lanjutnya.

Hobi menulis di kedai kopi harus ia pendam dalam-dalam. Murata sempat coba mereplikasi suasana dengan menulis di balkon rumah, namun inspirasi tetap nihil. Membuka media sosial pun diakuinya tidak berhasil. Maka, pemenang Akutagawa Prize edisi 2016 itu memercayakan prosesnya pada waktu.

"Saya tidak berencana menulis pandemik sebagai novel begitu saja. Saya bukan penulis yang menulis kenyataan apa adanya. Tapi saya merasa suatu saat nanti, kenyataan tersebut akan mengendap dalam diri saya dan muncul sebagai sebuah karya,"

5. Pada sesi penutup, aktor-produser Nicholas Saputra berbagi pengalamannya menjalani masa pandemi

MIWF 2021: Dari Sensor hingga Kreativitas di Masa PandemiTangkapan layar saat aktor-produser Nicholas Saputra berbicara dalam pembukaan MIWF 2021 pada Rabu 23 Juni 2021. (YouTube.com/Rumata ArtSpace)

Mendapat giliran terakhir, Nicholas Saputra membahas film dokumenter "SEMES7A" yang ia produseri sendiri. Film yang mengangkat isu krisis iklim tersebut rilis sebulan sebelum pandemi, dan kini sudah bisa disaksikan pada beberapa situs streaming. Aktor berusia 37 tahun tersebut lalu membagi apa yang ia rasakan selama pandemi.

"Dari begitu banyak perjalanan yang saya lakukan, untuk pekerjaan atau hal yang lain, begitu aktif, begitu cepat, dan waktu sepertinya kurang. Dan tiba-tiba ada sebuah jeda di mana kita harus mengalaminya, dan tentu saja banyak pembatasan mulai dari perjalanan hingga pertemuan. Tapi ada yang tak bisa dibatasi, yaitu pemikiran," papar Nicholas.

Nicholas mengaku sempat tinggal di Sumatera selama tiga bulan, setelah sepanjang beberapa bulan awal pandemi berdiam di rumah. Di sana ia bercocok tanam dan kembali ke alam. Meski sudah sering melakukannya, ia menyebut pandemi membuat proses tersebut terasa sangat berbeda.

"Pandemi juga mengajarkan kita untuk mengetahui diri kita sendiri, kita tahu siapa yang dianggap kawan siapa yang bukan, kita tahu apa yang harus kita lakukan dan kualitas seseorang dinilai ketika ia dalam keadaan yang sulit, apakah ia masih bisa membantu orang atau tidak. Ini saya rasa ada banyak kemiripan ketika saya naik gunung bersama teman-teman," ungkapnya.

Berlangsung selama nyaris tiga jam, acara pembukaan ditutup dengan penampilan band folk Theory of Discoustic yang membawakan lagu anyar berjudul "Songkabala." MIWF 2021 sendiri berlangsung hingga Sabtu mendatang (26/6/2021).

Baca Juga: 5 Hal yang Bisa Kamu Pelajari di Sastra Indonesia, Gak Melulu Puisi

Topik:

  • Aan Pranata

Berita Terkini Lainnya