Makassar Biennale 2019: Mengajak Masyarakat Berdamai dengan Sungai

Sungai sarat mitos, pernah dihormati, namun kini merana

Makassar, IDN Times - Saat memasuki aula Gedung Kesenian Sulsel Societeit de Harmonie pada Minggu (8/9) malam, yang menjadi galeri karya seni Makassar Biennale 2019, mata saya langsung tertuju ke salah satu sudut ruangan. Sebuah patung buaya dari bambu dengan panjang hampir dua meter diam dengan mulut menganga. Sepasang sesaji berisi nasi berbentuk salah satu binatang raksasa penghuni bantaran sungai, dengan telur rebus di mulutnya, meliuk di pinggir nampan. Ada kesan magis menyeruak.

"Saat bertanya tentang sungai kepada orang-orang, yang muncul adalah mitos tentang buaya. Saya dan teman-teman memiliki pengalaman pribadi (menyangkut hal ini)," ujar Achmad Fauzi, salah satu dari kelima anggota FindArt Space, kelompok seni rupa asal Makassar pembuat karya yang dinamakan Memori Sungai Sebagai Halaman Depan tersebut. Berbincang cukup lama dengan pria 45 tahun tersebut, saya diajak memikirkan ulang kodrat sungai, sendi kehidupan paling penting umat manusia.

1. "Memori Sungai Sebagai Halaman Depan" mengajak pengunjung memikirkan kembali kodrat sungai sebagai urat nadi kehidupan

Makassar Biennale 2019: Mengajak Masyarakat Berdamai dengan SungaiMakassar Biennale/Artefact.id

Menengok lembar buku sejarah, sungai adalah asal muasal peradaban pertama manusia. Ada Mesopotamia, yang membujur di sekitar gemerisik air Eufrat dan Tigris, sejak 3100 SM. Juga dalam kisaran tahun tersebut, Mesir Kuno mencuat dari suburnya delta Sungai Nil.

Kecilkan amatan hingga ke Nusantara. Dua kerajaan raksasa, Sriwijaya dan Majapahit, mendirikan pusat pemerintahan di sekitar sungai yakni Musi dan Brantas. Belakangan, mereka pula yang menjadi penguasa wilayah laut sekaligus sentra bertemunya pedagang dari Barat dan Timur. Inilah memori pertama atas kejayaan bahari di masa lampau.

Namun, Fauzi mengangkat hakikat sungai sebagai nadi dalam masyarakat dan manusia itu sendiri. "Di karya ini kami menawarkan solusi. Yang pertama, di memori tentang sungai. Menurut hipotesa kami di awal proses kreatif, mitos inilah yang merawat sungai. Mulai dari pamali (larangan) BAB di sungai hingga ritual melempar telur untuk penghuninya."

Baca Juga: Makassar Biennale 2019: Migrasi, Sungai dan Kuliner dalam Kesenian

2. Sejatinya, sungai memiliki tempat istimewa dalam peradaban manusia

Makassar Biennale 2019: Mengajak Masyarakat Berdamai dengan SungaiANTARA FOTO/Arnas Padda

Perihal proses kreatif, ia bersama tim FindArt Space menyelesaikan karya tersebut hanya dalam waktu semalam. Namun, yang memakan waktu lumayan lama adalah proses kreatifnya. Riset bahkan dilakukan untuk menyatukan keping-keping ingatan warga Makassar perihal sungai. Yang paling mencolok, tentu saja mitos-mitos dalam tubuh masyarakat, arti penting bagi kehidupan, hingga nilai magisnya.

Alhasil lahirlah sebuah seni rupa yang menggabungkan tiga elemen. Pertama, sesaji sebagai simbol tradisi dan hubungan antara masyarakat dan sungai. Kedua, buaya yang tak lain sang penghuni --atau bahkan menjadi penjaga menurut kepercayaan lokal-- daerah bantaran sungai. Ketiga, lukisan tipografi berisi siluet buaya tengah menganga berdampingan dengan nama 300 sungai di Sulsel dalam aksara Lontara.

Mitos tentang sungai memang memiliki tempat tersendiri dalam khazanah budaya Nusantara. Di Cirebon ada kepercayaan bahwa Sungai Kriyan dihuni oleh siluman buaya putih yang tidak buas. Di Palembang, tepatnya Sungai Musi, masyarakat meyakini sungai yang menjadi urat nadi Wong Kito itu ditinggali naga raksasa.

3. Ketika tak lagi menjadi "halaman depan", sungai akan "memberontak" demi menyadarkan masyarakat

Makassar Biennale 2019: Mengajak Masyarakat Berdamai dengan SungaiIDN Times/Achmad Hidayat Alsair

Penduduk Makassar sendiri mengenal legenda Sinrijala, buaya putih penguasa Kerajaan Sungai Tallo. Ada juga makam Boe Ri Bungung Batu, yang terletak di Kampung Bangkala, Kecamatan Manggala. Boe disebut-sebut sebagai titisan Karaeng Sinrijala. Namun kini, sama seperti kota-kota lainnya, sungai yang dulu dihormati melalui mitos-mitos dan tradisi kini merana.

Di tengah hiruk-pikuk malam Makassar, Fauzi menyusun hal-hal yang membuat sungai kini tak lagi dihormati. "Ada mitos-mitos modern dan tradisional. Mitos modern inilah menghabisi tradisi. Misalnya nama sungai diubah menjadi kanal. Kanal pengertiannya adalah pembuangan. Padahal orang-orang dulu berpendapat bahwa rumah-rumah yang berdiri di pinggir sungai, halaman depan rumahnya harus menghadap sungai. Kalau dijadikan halaman belakang, pengertiannya tentu sebagai tempat pembuangan."

Pihak penguasa coba menebus kesalahan dengan mengeluarkan serangkaian peraturan seperti larangan membuang sampah. Menurutnya itu tak perlu lantaran sungai dianggap bisa menjaga diri sendiri. Solusinya? Membuat sungai menjadi halaman depan alias memosisikannya kembali ke tempat penuh kehormatan.

4. Achmad Fauzi (kedua dari kiri), anggota FindArt Space, berharap karyanya menggugah kembali memori sungai dan segala tradisi pemeliharanya

Makassar Biennale 2019: Mengajak Masyarakat Berdamai dengan SungaiMakassar Biennale/Artefact.id

"Ketika sungai kotor, proses pembersihannya akan sangat sulit lantaran bentangnya yang panjang. Permasalahannya pun kompleks. Akhirnya, yang terjadi adalah tuduh-menuduh dari hulu ke hilir," lanjutnya.

Sontak ingatan terlempar ke bencana banjir bandang yang melanda Makassar pada awal tahun 2019 kemarin. Meluapnya tiga sungai yang mengaliri Kota Daeng dan memaksa ribuan penduduk mengungsi adalah akumulasi dari banyak hal. Mulai dari tingginya curah hujan, kebiasaan membuang sampah sembarang tempat, pemeliharaan sungai yang belum maksimal, limbah pabrik dan rumah tangga, penyempitan DAS, menipisnya daerah resapan air hingga penambangan pasir secara besar-besaran di hulu.

Padahal jika sungai bersih lagi terawat, yang merasakan dampaknya pertama kali juga masyarakat. Sulit berdamai jika 'kanal-kanal' dan segala hal di sekitarnya hanya dipandang sebagai pembuangan, ladang mengeruk uang hingga lahan potensial untuk membangun rumah. Jangan sampai memori tentang sungai bersih kemudian menjadi mitos baru di benak anak cucu.

Kapan kita berdamai dengan sungai? Dan kapan kita memandang sungai sebagai halaman depan?

Baca Juga: Seniman Makassar Biennale 2019 Suguhkan Topik Migrasi dan Sungai

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya