Kerap Diabaikan, Ini 3 Gangguan Mental yang Rentan Dialami Lansia

Sering disalahartikan sebagai bagian normal dari penuaan

Intinya Sih...

  • Kesehatan mental dan fisik berkaitan erat, terutama pada lansia
  • Isolasi sosial dan kesepian adalah faktor risiko utama gangguan kesehatan mental pada lansia
  • Gangguan bipolar sering muncul pada usia remaja hingga awal 20-an, namun bisa terjadi pada usia berapa pun, termasuk lansia

Kesehatan mental dan juga kesehatan fisik berjalan beriringan. Keduanya saling berkaitan satu sama lain. Jika kesehatan fisik mengalami penurunan, maka juga berdampak pada kesehatan mental. Begitu juga sebaliknya, jika kesehatan mental terganggu, maka tentu memengaruhi kesehatan fisik juga. Oleh karena itu, meski masalah gangguan mental kerap terjadi pada dewasa muda, namun kondisi tersebut bisa terjadi pada semua kelompok usia, termasuk pada orang lanjut usia atau lansia.

Perlu diketahui bahwa Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), melaporkan bahwa populasi dunia yang berusia di atas 60 tahun, akan meningkat hampir dua kali lipat dari 12 persen pada tahun 2015 menjadi 22 persen pada tahun 2050. Nah, 15 persen dari populasi tersebut, pada bulan Desember 2017, sudah menderita gangguan mental. Jumlah tersebut dipastikan akan terus bertambah, mengingat dari tahun ke tahun bahwa biaya hidup semakin meningkat. Perlu diketahui bahwa biaya hidup yang semakin tinggi juga merupakan salah satu faktor yang memicu terjadinya gangguan mental, baik pada kelompok dewasa muda maupun dewasa tua (lansia).

Pada usia yang lebih tua, kesehatan mental tidak hanya dibentuk oleh lingkungan fisik dan sosial, namun juga oleh dampak kumulatif dari pengalaman hidup sebelumnya dan pemicu stres spesifik yang berhubungan dengan penuaan. Paparan kehilangan, hilangnya kapasitas intrinsik secara signifikan, dan penurunan kemampuan fungsional, semuanya bisa mengakibatkan tekanan psikologis.

Menurut data dari WHO, isolasi sosial dan kesepian, yang memengaruhi sekitar seperempat orang lanjut usia, adalah faktor risiko utama pada kondisi kesehatan mental di kemudian hari. Begitu juga dengan pelecehan fisik terhadap lansia yang mencakup segala jenis pelecehan fisik, verbal, psikologis, seksual, atau finansial, serta penelantaran. Masih menurut data dari WHO, satu dari enam lansia, mengalami pelecehan yang dilakukan oleh pengasuh mereka sendiri. Perlu diketahui bahwa pelecehan terhadap orang dewasa yang lebih tua memiliki konsekuensi yang serius dan bisa menyebabkan depresi dan kecemasan.

Namun sayangnya kesehatan mental pada orang lanjut usia sering luput dari perhatian karena tidak teridentifikasi atau tidak disadari atau karena mereka cenderung tidak mencari pertolongan atau diagnosis, atau gejala gangguan mental yang mereka miliki diabaikan oleh orang disekitarnya. Sebagai contoh, beberapa orang mungkin mengira gejala depresi hanyalah gejala normal seiring bertambahnya usia. Padahal, meskipun banyak masalah yang terjadi secara alami sebagai bagian dari proses penuaan, penyakit mental bukanlah sesuatu yang berdampak pada setiap pasien lanjut usia, apalagi jika mereka mampu menjaga kesehatan mental dan fisiknya dengan baik.

Perlu diketahui bahwa gangguan mental yang tidak diobati pada orang lanjut usia, bisa menyebabkan berkurangnya fungsi tubuh, peningkatan kecacatan, penurunan kognitif, penyalahgunaan zat, peningkatan angkatan kematian termasuk bunuh diri. Bahkan penelitian juga menunjukkan bahwa penyakit mental bisa memperlambat penyembuhan penyakit fisik.

Nah, berikut ini ulasan beberapa gangguan mental yang rentan dialami oleh para lansia.

1. Depresi

Kerap Diabaikan, Ini 3 Gangguan Mental yang Rentan Dialami Lansiailustrasi seorang perempuan tua sedang sedih (freepik.com/freepik)

Depresi merupakan gangguan kesehatan mental lansia yang paling umum, meski kondisi ini bukan bagian normal dari penuaan. Depresi pada lansia bisa disebabkan oleh isolasi sosial, penyakit kronis di usia tua atau merupakan gejala demensia. Penyakit mental ini mengakibatkan perubahan suasana hati dalam jangka panjang atau kurangnya minat pada aktivitas yang disukai.Berikut tanda dan gejala depresi pada lansia:

  • Merasa sedih, putus asa, merasa bersalah, atau hampa.
  • Kesulitan tidur atau tidur berlebihan.
  • Sakit fisik tanpa alasan yang jelas.
  • Kesulitan berkonsentrasi atau mengambil keputusan.
  • Gelisah atau mudah tersinggung.

Beberapa gejala ini normal terjadi dalam jangka waktu singkat, terutama sesudah peristiwa besar dalam hidup. Namun jika gejala ini terus berlanjut selama lebih dari dua minggu, maka hal tersebut kemungkinan merupakan tanda adanya masalah pada kesehatan mental. Namun sayangnya depresi kurang terdiagnosis dan kurang diobati di layanan kesehatan primer. Ini karena gejalanya sering kali tumpang tindih dengan masalah umum lainnya yang dihadapi oleh lansia. Selain itu, sering kali lansia juga mengabaikan gejala depresi atau salah mengartikannya sebagai akibat dari penuaan yang tidak bisa dihindari.

Padahal, karena masalah signifikan dalam fungsi sehari-hari yang bisa disebabkan oleh depresi pada lansia, depresi dapat lebih merugikan dibandingkan dengan beberapa kondisi medis kronis seperti penyakit diabetes atau paru-paru. Mereka yang memiliki gejala depresi, cenderung tidak mencari pertolongan, dan akhirnya kesehatannya memburuk lebih cepat. Selain itu, sering kali depresi juga berdampak negatif pada perjalanan penyakit dan mempersulit pengobatan penyakit kronis lainnya. Oleh karena itu, lansia yang menderita depresi lebih sering mengunjungi dokter dan ruang gawat darurat, menggunakan lebih banyak obat, mengeluarkan biaya rawat jalan yang lebih tinggi, dan tinggal lebih lama di rumah sakit.

Kabar baiknya,  mayoritas lansia tidak mengalami depresi. Beberapa perkiraan depresi berat pada lansia yang tinggal di komunitas yaitu berkisar antara kurang dari 1 persen hingga sektar 5 persen, namun meningkat menjadi 13,5 persen pada mereka yang membutuhkan layanan kesehatan di rumah dan hingga 11,5 persen pada pasien lansia yang dirawat di rumah sakit, mengutip laman Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC). Selain itu, sekitar 80 persen lansia yang mengalami depresi, bisa menjadi lebih baik dengan pengobatan. Kebanyakan lansia melihat gejalanya membaik saat diobati dengan obat antidepresan, psikoterapi, atau kombinasi keduanya.

2. Gangguan kecemasan

Kerap Diabaikan, Ini 3 Gangguan Mental yang Rentan Dialami Lansiailustrasi seorang pria tua mengalami gangguan kecemasan (freepik.com/freepik)

Perasaan cemas dan gugup adalah hal yang wajar pada situasi tertentu. Namun kecemasan menjadi masalah kesehatan mental jika berlangsung dalam jangka waktu yang lama, tidak memiliki penyebab pasti, atau mulai mengganggu aktivitas sehari-hari.

Gangguan kecemasan merupakan gangguan mental kedua yang paling umum terjadi pada orang yang lanjut usia sesudah depresi. Menurut WHO, gangguan kecemasan memengaruhi 3,8 persen lansia. Perlu diketahui bahwa kecemasan tidak selalu disebabkan oleh pemicu tertentu. Kondisi ini biasanya terjadi karena faktor lingkungan dan situasional yang sangat besar. Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa kecemasan berkaitan dengan sejumlah faktor seperti genetika, lingkungan, tingkat stres, perubahan otak, dan trauma. Berikut beberapa pemicu umum terjadinya gangguan kecemasan pada lansia:

  • Ketidakamanan finansial.
  • Masalah kesehatan, imobilitas, atau nyeri kronis.
  • Demensia.
  • Hilangnya kemandirian dan isolasi.
  • Perencanaan akhir kehidupan.
  • Duka dan kehilangan.
  • Efek samping obat-obatan.
  • Peristiwa negatif atau trauma di masa kecil.
  • Kekhawatiran yang berlebihan.
  • Gangguan tidur.

Gejala gangguan kecemasan bervariasi, tergantung pada jenis gangguan kecemasan dan individu. Namun, gejala umum gangguan kecemasan sering kali mencakup gejala fisik, seperti:

  • Tangan dingin atau berkeringat.
  • Mulut kering.
  • Palpitasi.
  • Mual.
  • Mati rasa.
  • Ketegangan otot.
  • Sesak napas.
  • Nyeri dada.
  • Sakit kepala.

Selain gejala fisik tersebut, gangguan kecemasan juga bisa menyebabkan gejala mental seperti perasaan panik atau takut, mimpi buruk, pikiran berulang atau kilas balik pengalaman traumatis atau pikiran obsesif. Nah, pada lansia yang mengalami kecemasan. beberapa gejala yang paling umum, yang mungkin mereka alami yaitu mecakup:

  • Kekhawatiran atau ketakutan yang tidak rasional dan berlebihan.
  • Memeriksa ulang keamanannya.
  • Menghindari objek atau situasi yang memicu kecemasan.
  • Menghindari aktivitas rutin atau situasi sosial.
  • Kesulitan dalam mengambil keputusan.
  • Mudah ketakutan.
  • Dorongan untuk melakukan ritual tertentu dalam upaya untuk meredakan kecemasan.

Gangguan kecemasan, seperti bentuk penyakit mental lainnya, bisa bermanifestasi dalam beberapa bentuk. Berikut beberapa jenis gangguan kecemasan:

  • Gangguan kecemasan umum (GAD): GAD merupakan jenis gangguan kecemasan yang paling umum yang didiagnosis pada lansia. Gangguan ini mengakibatkan seseorang merasa cemas terhadap berbagai situasi dan masalah dibandingkan peristiwa tertentu. GAD sering kali disertai dengan gejala fisik seperti gemetar, kelelahan, ketegangan otot, mual, atau sakit kepala.
  • Gangguan panik: Gangguan kecemasan ini ditandai dengan serangan panik atau perasaan teror secara tiba-tiba yang terjadi berulangkali dan tanpa peringatan. Gejala fisiknya yaitu meliputi nyeri dada, sesak napas, jantung berdebar, pusing, rasa tidak nyaman di perut, dan takut mati.
  • Gangguan obsesif-kompulsif (OCD): Ini merupakan jenis gangguan kecemasan lain yang terkenal. Penderita OCD menderita pemikiran atau ritual berulang yang mereka rasa tidak bisa mereka kendalikan.
  • Gangguan stres pasca trauma (PTSD): PTSD merupakan gangguan psikologis yang bisa terjadi pada orang yang pernah mengalami atau menyaksikan peristiwa traumatis. Gejala yang paling umum dari PTSD yaitu mencakup mimpi buruk, terkejut, mati rasa emosi, mudah tersinggung atau terganggu, terkejut dan perasaan marah.
  • Fobia: Fobia merupakan bentuk kecemasan atau ketakutan yang esktrem, yang dipicu oleh situasi atau objek tertentu yang sebenarnya tidak menimbulkan bahaya nyata atau tidak sama sekali. Rasa takut yang muncul menyebabkan penghindaran terhadap terhadap objek atau situasi dan bisa menyebabkan orang membatasi hidupnya.

Meski gangguan kecemasan dan depresi bisa terjadi secara terpisah, namun tak jarang keduanya terjadi secara bersamaan. Bahkan menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC), hampir separuh lansia yang mengalami gangguan kecemasan, juga menderita depresi.

Kabar baiknya, gangguan kecemasan pada lansia bisa diobati. Semakin dini penyakit ini diidentifikasi dan ditangani, maka semakin mudah juga untuk membalikkan gejalanya. Perawatan yang paling efektif untuk lansia yang menderita gangguan kecemasan yaitu kombinasi terapi bicara dan obat-obatan. Namun beberapa orang mungkin hanya mendapatkan manfaat dari satu jenis pengobatan.

Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mengendalikan gejala gangguan kecemasan dan agar perawatan bisa lebih efektif. Ini mencakup:

  • Meditasi.
  • Mempelajari teknik manajemen stres. 
  • Menghadiri kelompok dukungan di mana mereka bisa berbagi pengalaman dan strategi mengatasi masalah.

3. Gangguan bipolar

Kerap Diabaikan, Ini 3 Gangguan Mental yang Rentan Dialami Lansiailustrasi dua pria tua sedang tertawa (freepik.com/freepik)

Gangguan bipolar adalah penyakit mental yang ditandai dengan perubahan suasana hati yang ekstrem dan bertahan lama. Kondisi mental ini bisa berlangsung selama berhari-hari, berminggu-minggu atau lebih lama, dan menyebabkan gangguan fungsional. Orang dengan gangguan mental ini, mengalami emosi yang sangat tinggi (dikenal sebagai mania atau hipomania) dan emosi yang sangat rendah (depresi). Selama episode manik, penderita bipolar sering kali berperilaku impulsif, mengambil keputusan secara sembrono, dan mengambil risiko yang tidak biasa. Mereka mungkin berbicara lebih cepat dari biasanya, tampak kurang tidur atau tidak sama sekali, merasa gembira, mudah tersinggung atau terkekang.

Sementara selama episode depresi, pasien bipolar mengalami kesedihan, kelesuan yang mendalam, merasa tidak mampu melakukan hal-hal yang sederhana, dan kesulitan untuk berkonsentrasi dan mengambil keputusan yang sederhana. Namun terkadang, pasien bipolar mengalami episode campuran dengan gejala depresi dan manik.

Episode-episode tersebut bisa berdampak negatif pada seluruh aspek kehidupan, karena bisa mengubah kemampuan penderitanya untuk berfungsi. Hal ini, pada gilirannya nanti bisa mempersulit mempertahankan hubungan yang sehat, mempertahankan pekerjaan, dan menjalani kehidupan yang stabil.

Perlu diketahui bahwa gangguan bipolar sering kali muncul pada usia remaja dan awal usia 20-an. Namun gangguan mental ini juga bisa terjadi pada usia berapa pun, termasuk pada orang dewasa yang lebih tua atau lansia. Sebagian besar penelitian menganggap gangguan bipolar yang dimulai pada usia 50 tahun atau lebih adalah gangguan bipolar awitan lambat atau late onset bipolar disorder (LOBD).

Menurut laporan tahun 2015 dari Internasional Society for Bipolar Disorders Task Force on Older-Age Bipolar Disorder (OABD), hingga 25 persen penderita gangguan bipolar disorder berusia 60 tahun di atas. Selain itu, diperkirakan antara 5 persen dan 10 persen pasien mulai menunjukkan gejala gangguan bipolar disoder sesudah usia 50 tahun.

Namun orang yang didiagnosis dengan LOBD, berbeda dengan mereka yang menderita bipolar disorder awitan dini dalam beberapa hal. Berikut perbedaannya:

  • LOBD lebih banyak berkaitan dengan gangguan neurologis seperti penyakit serebrovaskular, seperti stroke atau aneurisma.
  • Pasien LOBD memiliki lebih sedikit kejadian gangguan mood dalam riwayat keluarga mereka.
  • Pasien LOBD mempunyai lebih banyak penyakit penyerta namun diagnosis psikiatris yang lebih sedikit.
  • Pasien LOBD kemungkinan lebih sering mengalami episode depresi daripada mania atau hipomania. Episode ini juga dapat terjadi lebih sering dan parah, daripada yang terjadi pada orang dewasa muda dengan gangguan bipolar.
  • Gejala manik pada LOBD kemungkinan tidak separah pada gangguan bipolar awitan dini.

Penelitian merekomendasikan beberapa faktor yang bisa berkontribusi terhadap gangguan bipolar. Ini meliputi:

  • Genetika: Riwayat keluarga lebih sering dikaitkan dengan bipolar awitan dini daripada LOBD. Penelitian menunjukkan bahwa individu dengan gangguan bipolar awitan lambat memiliki kemungkinan lebih kecil untuk memiliki gangguan mood dalam keluarga daripada mereka yang mengidap bipolar awitan dini.  Sementara itu, memiliki orangtua atau saudara kandung yang mengidap gangguan bipolar bisa meningkatkan risiko terkena kondisi tersebut. Namun hal tersebut bukanlah jaminan. Beberapa orang dengan riwayat keluarga tidak pernah mengembangkan bipolar, termasuk pasien LOBD.
  • Stres: Suatu peristiwa atau situasi yang sedang berlangsung bisa memicu episode manik dan depresi. Contohnya termasuk kematian anggota keluarga, kesulitan keuangan, atau hubungan yang sulit.
  • Struktur otak: Orang dengan gangguan bipolar kemungkinan mengalami perbedaan struktural di otak mereka. LOBD menampilkan perbedaan vaskular di belahan otak kiri dan kanan.

Kondisi medis terkadang bisa menyebabkan gejala LOBD. Ini termasuk:

  • Demensia vaskular.
  • Sklerosis ganda.
  • Ensefalopati HIV.
  • Penyakit Huntington.
  • Lupus.
  • Tumor otak.
  • Stroke.
  • Neurosifilis.
  • Radang otak.
  • Hipertiroidisme.

Orang dewasa yang lebih tua dengan gangguan bipolar cenderung lebih sering mengalami episode depresi berat daripada orang yang lebih muda. Selain itu, secara umum, semakin banyak kondisi yang dimiliki oleh orang lanjut usia, maka semakin tinggi juga risiko bunuh diri mereka.

Namun sulit untuk mendiagnosis gejala gangguan bipolar dengan benar pada orang dewasa yang lebih tua, karena gejalanya sering kali tertukar dengan kondisi lain. Gejala seperti psikosis, gangguan tidur, dan agresivitas, bisa disalahartikan demensia atau gangguan depresi, menurut sebuah artikel di Psikiatri Primer. Artikel tersebut juga menunjukkan bahwa episode manik yang terjadi lambat kemungkinan lebih erat kaitannya dengan demensia, hipertiroidisme, atau stroke.

Perlu diketahui bahwa keterlambatan diagnosis pada lansia yang menderita gangguan bipolar bisa menunda pengobatan dan juga bisa menyebabkan perawatan yang tidak tepat. Padahal, penelitian menunjukkan bahwa depresi dan gangguan bipolar yang tidak diobati pada usia paruh baya, bisa berkembang menjadi demensia di usia tua. Selain itu, menurut Aliansi Nasional Penyakit Mental (NAMI), gangguan bipolar bisa memburuk jika tidak segera diobati. Pasien dengan bipolar bisa mengalami episode manik dan depresi yang lebih parah seiring berjalannya waktu.

Gangguan bipolar merupakan kondisi seumur hidup, namun gejalanya dapat diobati. Dengan pengobatan yang efektif, pasien dengan gangguan bipolar bisa menjalani kehidupan yang utuh. Beberapa metode pengobatan yang umum untuk pasien dengan gangguan bipolar yaitu mencakup psikoterapi, obat-obatan, pendidikan, dan dukungan keluarga.

Namun meski orang dewasa yang lebih tua akan menerima obat yang sama atau sangat mirip dengan orang dewasa yang lebih muda, ahli kesehatan kemungkinan perlu menyesuaikan dosisnya untuk mencegah efek samping. Mereka mungkin juga perlu mempertimbangkan obat lain yang diminum untuk menghindari interaksi obat yang berpotensi membahayakan kondisi pasiennya.

Cara mengenali gangguan mental pada lansia

Kerap Diabaikan, Ini 3 Gangguan Mental yang Rentan Dialami Lansiailustrasi seorang perempuan tua mengalami depresi (freepik.com/gpointstudio)

Memperhatikan kesehatan mental orang yang lebih tua merupakan hal yang penting, terutama jika mereka memiliki kondisi medis, kehilangan orang yang dicintai, atau jarang bersosialisasi. Salah satu masalah yang sedang berlangsung dalam mendiagnosis dan mengobati gangguan mental pada lansia adalah karena lansia lebih cenderung melaporkan gejala fisik daripada gejala psikologis. Faktanya, dalam beberapa kasus, lansia mungkin tidak menyadari bahwa masalah kesehatan mental mereka sendiri. Oleh karena itu, anggota keluarga dan pengasuh perlu mewaspadai tanda-tanda peringatan yang mungkin mengindikasikan masalah kesehatan mental pada lansia. Nah, berikut ini tanda-tanda yang menunjukkan jika lansia memiliki masalah pada kesehatan mentalnya:

  • Isolasi sosial: Penarikan diri dari aktivitas sosial kemungkinan merupakan tanda depresi atau masalah kesehatan mental lainnya.
    Perubahan nafsu makan: Nafsu makan yangmeningkat atau menurun atau penurunan atau penambahan berat badan secara tiba-tiba, kemungkinan menunjukkan adanya masalah pada kesehatan mental.
    Gejala fisik yang tidak bisa dijelaskan. Ketegangan dan nyeri otot, berkeringat, dan gemetar, gangguan pencernaan, dan perubahan kebiasaan buang air besar, dapat menjadi manifestasi fisik dari masalah kesehatan mental.
    Mood depresi yang berlangsung lebih dari dua minggu: Kesedihan, suasana hati yang buruk, lesu, atau gejala depresi yang berlangsung selama dua minggu atau lebih, bisa menunjukkan gangguan suasana hati yang serius.
    Perubahan kebersihan diri: Orang dengan masalah kesehatan mental terkadang kehilangan tenaga untuk mandi, mengganti pakaian, atau menyikat gigi. Selain itu, mereka juga bisa berlaku sebaiknya, seperti tiba-tiba menjadi terobsesi dengan kebersihan dan mungkin cenderung melakukan tugas kebersihan pribadi secara berlebihan.
    Hilangnya minat terhadap aktivitas yang disukai: Ketika seseorang mulai kehilangan minat pada aktivitas yang tadinya mereka anggap menyenangkan, maka itu mungkin merupakan tanda depresi atau masalah kesehatan mental lainnya.
    Penyalahgunaan zat: Seringkali orang dengan masalah kesehatan mental meningkatkan konsumsi alkohol atau zat lain, termasuk makanan tidak sehat, untuk mengatasi gejalanya.
    Perubahan tidur: Perubahan tidur yang tiba-tiba, seperti tidur berlebihan atau sulit tidur, kemungkinan merupakan tanda adanya gangguan kesehatan mental.
    Perasaan putus asa, tidak berharga, atau rasa bersalah yang tidak pantas: Depresi dan gangguan mood lainnya sering kali menimbulkan perasaan putus asa, tidak berharga, sedih, hampa, atau rasa bersalah yang tidak pantas. Banyak orang salah mengira bahwa depresi merupakan bagian normal dari penuaan. Meskipun hal tersebut tidak benar, namun lansia rentan mengalami depresi karena sejumlah alasan, termasuk kondisi kesehatan kronis, kesedihan dan kehilangan orang yang dicintai, atau keterbatasan fungsi yang sering kali menyertai penuaan.

Dengan mengetahui tanda-tanda adanya masalah pada kesehatan mental lansia, maka keluarga dan pengasuh bisa membantu lansia untuk mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan, untuk membantu meringankan gejala dan meningkatkan kualitas hidup mereka.

Baca Juga: 5 Sikap Menghormati untuk Membangun Suasana Rumah yang Bikin Betah

Tips meningkatkan kesehatan mental pada lansia

Kerap Diabaikan, Ini 3 Gangguan Mental yang Rentan Dialami Lansiailustrasi pasangan lansia sedang berfoto dengan smartphone (freepik.com/Memori gaya hidup)

Meskipun jumlah lansia dengan kondisi kesehatan mental cenderung meningkat seiring bertambahnya usia, namun depresi dan penyakit mental lainnya bukanlah bagian normal dari penuaan. Oleh karena itu, gangguan mental pada lansia masih bisa untuk dicegah. Dilansir Salmon Health, tetap terhubung dan menjaga hubungan dengan sosial yang kuat dan bermakna dengan teman dan keluarga, sangat membantu dalam mencegah masalah kesehatan mental pada lansia. CDC melaporkan bahwa dukungan sosial dikaitkan dengan penurunan risiko penyakit mental, penyakit fisik, dan bahkan kematian.

Selain itu, terdapat beberapa tips lainnya untuk meningkatkan dan menjaga kesehatan mental serta kesejahteraan lansia dengan baik. Berikut tipsnya:

  • Memainkan permainan pikiran: Sama seperti tubuh yang memerlukan aktivitas fisik dan stimulasi agar tetap sehat, maka otak juga memerlukan stimulasi agar tetap tajam dan menghindari penurunan kognitif seiring bertambahnya usia. Menurut Harvard Health Publishing, permainan otak bisa membantu mempertajam keterampilan untuk berpikir tertentu seperti kecepatan pemrosesan, waktu reaksi, pengambilan keputusan, dan memori jangka pendek. Aktivitas apa pun yang membuat pikiran tetap aktif dan berupaya memecahkan masalah, berkontribusi terhadap kesehatan otak. Berikut beberapa aktivitas yang paling umum yang bisa diakses oleh lansia:
  1. Membaca dan menulis: Penelitian telah membuktikan bahwa membaca bisa meningkatkan fungsi memori, mengurangi stres, dan meningkatkan kualitas tidur. Selain itu, menulis jurnal juga bisa membantu mengelola dan mengurangi efek stres dan kecemasan.
  2. Belajar bahasa baru: Pembelajaran bahasa melatih bagian otak yang sering terkena dampak dari penuaan dan bisa membangun kepercayaan diri dan bahkan meningkatkan sosialisasi dengan orang lain yang mungkin mengetahui atau sedang mempelajari bahasa tersebut.
  3. Bermain teka-teki dan permainan: Selain menyenangkan, berbagai teka-teki terbukti bisa menunda penurunan daya ingat dan meningkatkan kesehatan mental lansia.
  4. Memainkan instrumen: Musik merangsang otak dan meningkatkan daya ingat pada lansia dengan Alzheimer dan demensia. Menurut The Washington Post, bermain atau belajar memainkan alat musik tidak hanya menyenangkan, namun juga bisa meningkatkan kefasihan verbal dan kecepatan pemrosesan dalam hitungan bulan.
  • Melakukan aktivitas fisik: Mulai dari berjalan kaki secara teratur, hingga mengikuti kelas yoga dan dansa ballroom, olahraga, dan aktivitas fisik lainnya bermanfaat bagi pikiran dan tubuh dengan meningkatkan kepercayaan diri dan mengurangi risiko terjatuh. Tetap aktif dan cukup berolahraga sama pentingnya bagi kesehatan mental dan kesejahteraan lansia, seperti halnya mereka pada tahap kehidupan lainnya. Faktanya, olahraga berdampak rendah seperti peregangan dan latihan kekuatan sebenarnya dibutuhkan untuk membantu lansia tetap sehat dan mengurangi risiko masalah umum terkait usia seperti patah tulang, nyeri sendi, dan penyakit kronis lainnya. Selain manfaat fisik, olahraga juga bisa  membantu mengelola stres, kecemasan, dan depresi pada lansia, yang bisa merugikan kesehatan lansia seperti halnya penyakit fisik dan cedera. Berolahraga untuk menjaga kesehatan mental lansia yang positif itu sangat penting.
  • Tetap terhubung dengan teman: Waktu dan jarak bisa menyulitkan orang untuk menjaga hubungan dekat dengan teman lama, terutama seiring dengan bertambahnya usia. Bagi lansia, tetap berhubungan dengan orang-orang penting dalam hidup mereka bisa membantu mencegah kesepian dan perasaan terisolasi yang bisa menyebabkan depresi, serta penurunan mental dan fisik. Mempelajari cara terhubung dengan teman baru dan teman lama di media sosial, melalui Zoom, Facebook, Instagram, atau media sosial lainnya hanyalah beberapa cara untuk tetap berhubungan. Para lansia juga bisa membuatnya tetap sederhana dengan menulis surat atau membuat jadwal rutin untuk panggilan telepon kuno yang bagus.
  • Mendapatkan hobi baru: Tetap aktif sesudah pensiun sangatlah penting. Setiap orang mempunyai daftar impian dan aktivitas yang ingin mereka lakukan, namun terkadang ide tersebut tertunda karena kehidupannya yang disibukkan dengan pekerjaan. Nah, masa pensiun merupakan waktu yang tepat bagi para lansia untuk menyelesaikan ''daftar keinginan'' mereka dan mengejar tujuan seumur hidup, baik itu menjahit, melukis, berkebun, atau memasak makanan luar. Perlu diketahui bahwa hobi seperti kotak bayangan yang membantu meningkatkan neuroplastisitas otak di mana sel-sel saraf terhubung atau terhubung kembali, mengubah struktur dan fungsi otak, saat dirangsang melalui pengulangan melihatnya. Nah, ketika koneksi saraf di jalur ini diperkuat, dan koneksi baru terjalin, maka individu merasa nyaman dan mendapatkan peningkatan rasa memiliki dan pada akhirnya meningkatkan kesehatan mental lansia.
  • Menjadi sukarelawan: Banyak lansia yang menemukan kepuasan dan tujuan dalam menjadi sukarelawan untuk tujuan yang mulia. Dengan banyaknya organisasi dan tujuan yang memerlukan dukungan, maka terdapat banyak peluang bagi lansia untuk terlibat, dan pada gilirannya nanti, mereka merasa dihargai dan dibutuhkan. Perlu diketahui bahwa para lansia yang menjadi sukarelawan untuk suatu tujuan atau organisasi bisa menjadi pengalaman yang berharga pada usia berapa pun. Nah, bagi seseorang yang ingin menyumbangkan waktunya sesudah pensiun, maka menjadi sukarelawan bisa menawarkan sejumlah manfaat tambahan yang meningkatkan kesehatan emosional dan mental maupun kesehatan fisik para lansia. Jika lansia senang dengan membaca atau berbagi keterampilan yang dimilikinya dengan anak-anak dan pelajar muda atau merasa tergerak untuk menjadi sukarelawan di rumah sakit atau dapur umum, maka menjadi sukarelawan di masa pensiun bisa membantu mereka untuk tetap aktif, terlibat secara sosial, dan menjadi komunitas yang dinamis dan beragam. Mulai dari menjalin pertemanan baru hingga (atau tetap) aktif secara fisik, menjadi sukarelawan bisa menjadi pengalaman  berharga bagi semua orang yang terlibat.

Masalah kesehatan mental yang umum pada lansia seperti kecemasan dan depresi, bisa berdampak negatif pada kesehatan fisik dan kesejahteraan lansia. CDC menyatakan bahwa kondisi ini, terutama gangguan mood (termasuk gangguan bipolar), bisa menyebabkan gangguan fisik, mental, dan sosial, serta bisa memengaruhi dan mempersulit pengobatan gangguan kronis lainnya.

Oleh karena itu, sangatlah penting bagi lansia untuk menjaga kesehatan mental mereka, karena tanpa pikiran yang sehat dan stabil, mereka juga lebih rentan terhadap penyakit dan kondisi fisik lainnya. Dengan berupaya melakukan aktivitas yang menyehatkan pikiran setiap hari, maka lansia bisa memperoleh manfaat yang besar, baik bagi kesehatan mentalnya maupun fisiknya.

Baca Juga: 5 Tips Efektif Menciptakan Momen Lucu dan Menghibur bersama Pasangan

Eliza Ustman Photo Community Writer Eliza Ustman

Hobi nulis dan travelling

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya