Ramuan di Segitiga Wallacea: Menyibak Khazanah Pengobatan Tradisional

Warisan turun temurun yang masih bertahan hingga sekarang

Makassar, IDN Times - Seiring pandemik COVID-19 yang masuk ke Indonesia setahun lalu, masyarakat tak cuma kembali disadarkan perihal pentingnya higienitas. Dalam kurun waktu cuma beberapa bulan, banyak yang memilih kembali pada metode pengobatan tradisional. Bahannya pun mudah diperoleh bahkan di halaman rumah.

Dari nalar sains, hal tersebut kerap diselimuti pro-kontra. Namun, sulit dimungkiri bahwa meramu tumbuhan untuk mengatasi masalah kesehatan menjadi tradisi warisan leluhur. Semua suku di Indonesia punya metodenya masing-masing, termasuk di kawasan timur garis yang ditarik Alfred Russell Wallace pada tahun 1859.

Yayasan Makassar Biennale, bekerja sama dengan Tanah Indie serta Goethe-Institut, menelusuri jejak kearifan medis lokal selama enam belas pekan. Mulai dari Tana Toraja, Makassar, Parepare, Bulukumba, Pangkep, Nabire hingga Labuan Bajo. Semuanya terangkum secara apik dalam buku "Ramuan di Segitiga Wallacea" (Makassar Biennale, 2020).

1. Sama seperti wilayah lain, pengobatan tradisional di timur Indonesia juga mengandalkan tumbuh-tumbuhan

Ramuan di Segitiga Wallacea: Menyibak Khazanah Pengobatan TradisionalProses pengumpulan data dan observasi tim penulis "Sekapur Sirih" Makassar Biennale di Nabire, Papua, untuk melengkapi artikel tentang daun akadapi boo atau urang-aring. (Tim Dokumentasi "Menyigi Menghambur Sekapur Sirih" Nabire)

Dalam buku setebal 222 halaman tersebut, pembaca diajak berkenalan dengan beragam tanaman yang selama ini dimanfaatkan sebagai obat tradisional. Salah satunya daun tina' (Sterculia monosperma, kacang kelaci) yang oleh penduduk Desa Pangden, Toraja Utara, rutin dikonsumsi sebagai penangkal berbagai penyakit seperti maag hingga batuk-batuk (hal. 18).

Di Nabire Barat, masyarakat mengenal akadapi boo atau urang-aring (Eclipta prostrata) sebagai salah satu alternatif pengobatan bagi batuk kering dan batuk basah (hal. 138). Ini tentu jadi hal yang baru sebab biasanya, urang-aring lebih akrab di telinga sebagai ekstrak nutrisi rambut dalam sampo.

Sementara itu di Bulukumba, pembaca diajak berkenalan dengan Ummi Tijang (hal. 153). Ia adalah sanro (sebutan Bugis untuk tabib) yang meramu berbagai tanaman sebagai obat. Ummi Tijang menggunakan daun tembelekan (Lantana camara) sebagai obat luka luar, daun kelor (Moringa oleifera) untuk terapi batu ginjal, serta masih banyak lagi.

2. Sanro kerap jadi tujuan masyarakat meminta pertolongan saat fasilitas kesehatan sulit dijangkau, entah secara finansial atau jarak

Ramuan di Segitiga Wallacea: Menyibak Khazanah Pengobatan TradisionalSalah satu sanro (tabib) di Kabupaten Pangkep, Daeng Caddi, sedang mengurut pasien anak kecil di rumahnya. (Tim Dokumentasi "Menghambur Menyigi Sekapur Sirih" di Pangkep)

Tak cuma tentang khazanah obat-obatan tradisional, "Ramuan di Segitiga Wallacea" turut mengangkat isu disparitas dalam mengakses bantuan kesehatan. Penduduk Desa Kahayya, desa tertinggi di Bulukumba, perlu waktu sejam perjalanan untuk mencapai Puskesmas terdekat (hal. 54). Alhasil pengobatan diserahkan pada Pung Manto, seorang tetua desa sekaligus tabib.

Di Dusun Tabuakkang, juga desa yang sama, hidup Kakek Tepu yang sehari-hari membantu perempuan di awal kehamilan dan jelang persalinan (hal. 144). Akses jalan serta jaringan telekomunikasi yang buruk membuat bidan desa susah dihubungi oleh ibu hamil. Kakek Tepu didatangkan sebagai orang yang memahami penanganan awal. Ia pun kerap menerima pasien dengan keluhan penyakit berat.

Turut pula kisah magis "penurunan kemampuan" sebagai sanro, dari sang nenek kepada Daeng Caddi, seorang perempuan dukun pengurut di Kelurahan Bonto Perak, Kabupaten Pangkep (hal. 122). Sehari-hari Daeng Caddi menggunakan minyak kayu putih racikannya untuk mengatasi masalah kesehatan warga kampung.

3. Seiring pandemik COVID-19 yang terjadi selama setahun terakhir, pengobatan tradisional kembali dilirik oleh banyak orang

Ramuan di Segitiga Wallacea: Menyibak Khazanah Pengobatan TradisionalSalah satu dokumentasi penelitian pengobatan tradisional dari tim penulis "Sekapur Sirih" Makassar Biennale di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur. (Instagram.com/makassarbiennale)

Kendati erat kaitannya dengan pengobatan tradisional, 15 penulis dan 21 komunitas yang turun langsung mencari tahu seluk beluk pengobatan tradisional tetap memperhatikan kaidah ilmiah. Beberapa hasil penelitian tentang kandungan daun turut dijabarkan. Contohnya selipan penjelasan bahwa daun kelor bisa digunakan sebagai pelindung organ hati (hepatoprotektor).

Pandemik COVID-19 sendiri diakui memberi kesempatan menengok kekayaan medis kuno di seluruh Indonesia. Ini tercermin dari pengalaman Agustina Pala'langan, salah satu narasumber. Penduduk Desa Pangden, Toraja Utara, itu secara eksplisit menyebut bahwa rebusan daun tina' ia gunakan sebagai penangkal virus SARS-CoV-2 (hal. 18).

"Ragam bahan pengobatan yang mereka pakai dalam resep mereka adalah tulen berbahan alam, yang memerlukan proses khidmat --mulai menanam, memelihara, dan penghormatan terhadap alam," tulis Direktur Makassar Biennale, Anwar "Jimpe" Rachman, dalam kata pengantar buku.

"Momentum besar ini telah memberi kita kesempatan untuk menengok jauh ke dalam, kekayaan Nusantara yang tak terpemanai," sambungnya.

Baca Juga: Makassar Biennale 2019: Mengajak Masyarakat Berdamai dengan Sungai

4. Obat sintetik yang beredar di pasaran saat ini mayoritas merupakan hasil modifikasi banyak kandungan dalam tanaman herbal

Ramuan di Segitiga Wallacea: Menyibak Khazanah Pengobatan TradisionalSalah satu dokumentasi penelitian pengobatan tradisional dari tim penulis "Sekapur Sirih" Makassar Biennale di Makassar, Sulawesi Selatan. (Instagram.com/makassarbiennale)

Senada dengan Jimpe, Yusnita Rifai, dosen Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin menyebut bahwa pengobatan tradisional merupakan warisan kekayaan alam dan kearifan lokal.

Ini pun tak lepas dari fakta bahwa aneka ragam tanaman di darat dan biota laut sumber daya produk alam sudah ada di bumi khatulistiwa sejak masa lampau.

"Sembilan puluh persen obat sintetik yang dijual di pasaran saat ini berasal dari hasil modifikasi struktur bahan alam yang memang terbukti bermanfaat sebagai obat," jelas Yusnita kepada IDN Times, Minggu (11/4/2021).

Kandungan tanaman herbal yang tumbuh di alam menjadi salah satu pelecut inovasi dalam dunia farmasi moderen. Di sisi lain, ada pula yang diketahui berfungsi sebagai pencegah penyakit nan efektif.

"Tanaman herbal (yang) dikelola menjadi jamu, herbal terstandar dan fitofarmaka pada umumnya berkhasiat sebagai obat preventif (pencegah), promotif (promosi kesehatan) dan paliatif (peningkatan kualitas hidup pasien). Sebagian lagi dengan riset mendalam itu bermanfaat sebagai obat kuratif (penyembuh)," sambungnya.

Baca Juga: Makassar Biennale 2019: Migrasi, Sungai dan Kuliner dalam Kesenian

5. Yang dilakukan oleh tim penulis "Ramuan di Segitiga Wallacea" bisa membuka jalan untuk riset lebih mendalam

Ramuan di Segitiga Wallacea: Menyibak Khazanah Pengobatan TradisionalSalah satu dokumentasi penelitian pengobatan tradisional dari tim penulis "Sekapur Sirih" Makassar Biennale di Nabire, Papua. (Instagram.com/makassarbiennale)

Di mata ahli sintesis obat itu, penelitian dan dokumentasi perihal aktivitas pengobatan alternatif akan sangat bermanfaat sebagai sumber informasi, jika dilakukan secara ilmiah dan sesuai kaidah sains. Alhasil, yang dilakukan oleh tim penulis "Ramuan di Segitiga Wallacea" bisa membuka jalan untuk riset mendalam.

"Caranya, tentu saja dengan publikasi ilmiah di berbagai jurnal internasional bereputasi. Sehingga kalangan industri dan pihak terkait dapat menangkap peluang untuk mengubah herbal from lab to bench side, dari skala laboratorium menuju hilirisasi," tutur perempuan yang juga Ketua Satgas Penanganan COVID-19 Fakultas Farmasi Unhas tersebut.

Berbicara tentang pandemik COVID-19, Yusnita menyebut bahwa obat-obat tradisional yang banyak digunakan masyarakat saat ini --termasuk oleh beberapa narasumber buku-- hanya bersifat preventif.

"Ia menjadi penangkal untuk mencegah protein spike dari virus untuk berikatan langsung dengan reseptor ACE-2 (angiotensin converting enzyme-2) di dalam tubuh manusia," papar Yusnita. Protein spike berbentuk seperti paku-paku yang menancap di permukaan virus. 

Meski begitu, ia menyarankan obat herbal tidak digunakan secara berlebihan. Terlebih jika ternyata tidak cocok dengan si pengguna.

"Penggunaan obat-obat tradisional sebaiknya proporsional dan disesuaikan dengan respons biologis tubuh. Dosis yang digunakan harus tepat dan dibarengi dengan konsumsi makanan bergizi, olahraga dan istirahat yang cukup," tutupnya.

Baca Juga: Makassar Biennale Adakan Pelatihan Penulisan-Penelitian di Enam Kota 

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya