Kasuami dikenal sebagai hidangan leluhur suku Wakatobi yang sampai di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Kasuami diperkirakan menjadi makanan sehari-hari nelayan dan petani, karena beras tidak bisa ditanam di daerah tersebut. Di wilayah ini, singkong sebagai bahan utama pembuatan Kasuami tumbuh subur.
Karena kasuami tidak mudah basi, para pelaut menjadikannya sajian dan makanan yang istimewa. Kasuami dapat digunakan hingga 14-20 hari, namun jika parutan singkong yang digunakan belum dikukus, dapat disimpan hingga 30 hari. Berkat keawetannya, para pelaut Buton bisa membawa makanan ini hingga ke Singapura, pesisir Malaysia, bahkan Filipina.
Menurut warga setempat, kasuami melambangkan persaudaraan dan kedekatan. Oleh karena itu, kasuami biasanya disajikan pada acara-acara besar seperti pesta atau untuk menyambut kerabat yang pulang kampung. Sampai saat ini kasuami masih menjadi makanan pokok dan biasa disajikan begitu saja.
Kasuami dikonsumsi karena beras tidak bisa ditanam sebagai makanan pokok di tempat tinggal mereka, sehingga singkong menjadi makanan pokok sehari-hari masyarakat setempat. Satu buah singkong biasanya dibuat seukuran dengan 500-700 gram tepung terigu, diameter dan tinggi singkong kurang lebih 10 cm. Satu atau dua singkong biasanya dikonsumsi sekali makan.