Malabot Tumpe, Tradisi Panen Telur Maleo Milik Masyarakat Banggai
Sudah berlangsung turun-temurun, selama lebih dari 400 tahun
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Makassar, IDN Times - Tradisi di seluruh penjuru Nusantara beragam dan sarat makna, mulai dari yang mengandung nilai keagamaan hingga rasa syukur terhadap alam. Salah satunya adalah Malabot Tumpe di Banggai, Sulawesi Tengah.
Upacara yang sudah berlangsung turun-temurun tersebut adalah bentuk rasa syukur atas panen telur burung maleo.
Malabot Tumpe sendiri sudah dihelat pada Senin (3/12) hingga Rabu (5/12). Selama tiga hari, prosesi yang sudah berjalan selama 400 tahun tersebut berlangsung di dua wilayah berbeda, yakni di Kabupaten Banggai serta Kabupaten Banggai Laut.
Bagi yang belum tahu, maleo (Macrocephalon maleo) adalah satwa endemik atau hanya hidup di Sulawesi Tengah. Burung dengan panjang mencapai 55 cm tersebut berdiam di kawasan pantai, terutama di daerah Kelurahan Tolando, Kecamatan Batui. Akan tetapi meski sudah berstatus endemik, burung maleo juga menghadapi ancaman rusaknya habitat, ladang bertelur yang berkurang, hingga perburuan ilegal.
Baca Juga: LIPI Temukan Dua Anggrek Baru, Salah Satunya di Sulawesi Selatan
1. Upacara Malabot Tumpe tak lepas dari status Banggai sebagai tempat fauna endemik burung maleo berkembang biak
Dilansir oleh laman berita Antara, burung maleo hidup di sejumlah titik yang tersebar dalam hutan rimba kawasan kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Beberapa kawasan tersebut seperti Desa Tuva dan Saluki, Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Sigi.
Habitat maleo pun terdapat di Desa Kadidia dan Kamarora, Kecamatan Nokilalaki, Kabupaten Sigi. Di Desa Saluki bahkan terdapat penangkaran alamiah burung maleo milik Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu (BBTNLL).
Meski berstatus hewan endemik, pemerintah mengizinkan telur maleo digunakan untuk upacara Malabot Tumpe. Ade 20-25 butir telur dalam prosesi tersebut. Alhasil ada kurang lebih 100 butir telur maleo yang di bawa dari Batui menuju Kabupaten Banggai Laut.
Ini didasarkan pada kepercayaan bahwa telur burung maleo hasil panen awal musim bertelur belum boleh dimakan sebelum dipersembahkan ke Raja Banggai yang tinggal di Pulau Banggai. Nah, kenapa harus diantar menyeberang laut? Sekali lagi, semua berasal dari legenda asal-usul tradisi tersebut.
Baca Juga: Menyesapi Keindahan Malino: Kota Kembang nan Sejuk di Selatan Sulawesi