AUHM Minta Bapenda Kaji Ulang Soal Pajak Hiburan di Makassar
Penerapannya selama ini dianggap rancu dan salah sasaran
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Makassar, IDN Times - Ketua Asosiasi Usaha Hiburan Makassar (AUHM), Zulkarnain Ali Naru, meminta Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Makassar mengkaji ulang pengenaan pajak hiburan. Dia menilai pajak hiburan selama ini rancu dan salah sasaran.
Menurutnya, pajak hiburan di Makassar masih ditafsirkan secara keliru. Pajak hiburan yang dikenakan untuk usaha bar, diskotik dan kelab malam, cenderung pada minuman beralkoholnya saja, padahal minuman beralkohol bukan pajak hiburan melainkan satu kesatuan dari pajak restoran.
"Termasuk bagi usaha karaoke, yang selama ini dikenakan pajak hiburan 25 pesen (tarif pajak lama) itu hanya pemakaian room karaokenya. Sedangkan untuk pajak restorannya hanya senilai 10 persen," kata Zulkarnain dalam siaran pers yang diterima IDN Times, Rabu (24/1/2024).
Baca Juga: Asosiasi Hiburan Makassar Tolak Kenaikan Pajak 40-75 Persen
1. AUHM nilai Bapenda keliru kenakan pajak hiburan
Zul sapaannya, menuturkan pajak hiburan bagi usaha diskotik, kelab malam, bar (pub) adalah pajak tontonan. Pajak tontonan merujuk kepada obyek yang dikenakan pajak seperti tiket (harga tanda masuk) termasuk minumum charge First Drink Charge (FDC), Food dan Baverage (F&B), Charge VIP Box, Charge Sofa dan Table, kartu keanggotaan (Membership), Service Charge, serta Charge Room.
Namun hingga kini, obyek pajak tersebut luput dari pengawasan pihak Bapenda. Pasalnya, usaha diskotik, kelab malam dan bar (pub), umumnya hampir semua menetapkan minumum charge kepada konsumen, khususnya FDC, Food dan Baverage (F&B), Charge VIP Box, Charge Sofa dan Table hingga Charge Room, Service Charge, Kartu Keanggotaan (Membership) dan sejenisnya.
"Bapenda sangat keliru menetapkan pajak hiburan karena yang dikenakan pajak hiburan justru total penjualan dari hasil makanan dan minuman," kata Zul.