Paslon di Pilkada Lebih Takut Sanksi Diskualifikasi Ketimbang Pidana

Netralitas ASN dan politik uang masih jadi masalah Pilkada
  1. Jakarta, IDN Times - Hampir setiap pergelaran, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) selalu saja dinodai oleh kecurangan yang dilakukan pasangan calon (paslon). Tak sedikit di antara mereka yang harus mendapatkan sanksi, karena dianggap melakukan pelanggaran. 

Tapi, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan, menilai tak semua sanksi bisa memberikan efek jera kepada paslon, salah satunya sanksi pidana. Dia mengungkapkan, hukuman tersebut sejauh ini tak membuat paslon kehilangan nyali melakukan pelanggaran. 

"Paslon lebih takut dengan sanksi administratif, terutama didiskualifikasi. Itu sanksi yang paling ditakuti daripada sanksi pidana,” kata Abhan melalui keterangan tertulisnya, Kamis (5/10/2020).

1. Dukungan palsu untuk calon perseorangan

Paslon di Pilkada Lebih Takut Sanksi Diskualifikasi Ketimbang PidanaPenyerahan rekomendasi dari Partai Gerindra kepada pasangan NOTO. IDN Times/Daruwaskita

Bawaslu pun sudah mengidentifikasi kecurangan yang selalu terjadi pada tahapan Pilkada.

Pertama, banyaknya dukungan palsu melalui pengumpulan KTP Elektronik untuk pasangan calon (paslon) melalui jalur perseorangan atau independen.

"Ini berdasarkan pengalaman yang kami (Bawaslu) alami, yaitu pertama adalah dukungan palsu ke paslon perseorangan,” ujar eks Anggota Dewan Pengurus Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia tersebut. 

Baca Juga: Peserta Pilkada Meninggal, Ini Mekanisme Penggantian Calon Sesuai PKPU

2. Politik uang dan mahar politik masih kerap terjadi di Pilkada

Paslon di Pilkada Lebih Takut Sanksi Diskualifikasi Ketimbang Pidanailustrasi uang (IDN Times/Umi Kalsum)

Kedua, Abhan, menyebut beberapa kecurangan acap kali terjadi selama Pilkada, seperti adanya dokumen atau keterangan palsu syarat pencalonan dan calon, menyoblos lebih dari satu kali, serta kampanye di tempat ibadah atau tempat pendidikan.

"Pidana lainnya yaitu soal politik uang atau mahar politik, penyalahgunaan fasilitas dan anggaran pemerintah untuk kampanye," kata pria kelahiran Pekalongan 51 tahun silam itu.

3. Ada bantuan ASN kepada petahana dengan memberikan fasilitas anggaran untuk kampanye

Paslon di Pilkada Lebih Takut Sanksi Diskualifikasi Ketimbang PidanaSejumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) menandatangani petisi sebagai ikrar netralitas ASN pada Pilkada serentak tahun 2020 di Batam, Kepulauan Riau, Senin (19/10/2020). ANTARA FOTO/Teguh prihatna

Lebih parah lagi, ada kasus kecurangan yang dilakukan Aparatur Sipil Negara (ASN) atau kepala desa yang menguntungkan salah satu paslon. Biasanya masalah ini datang dari calon petahana yang menggunakan fasilitas anggaran untuk kampanye, apalagi saat pandemik COVID-19.

Abhan  menceritakan, pihaknya pernah menemukan adanya bansos yang diberi label gambar paslon, bukan pemerintahan. Padahal bantuan tersebut menurutnya dari pemerintah setempat.

“Di beberapa daerah ada dugaan pidananya yaitu diduga melanggar Pasal 71 ayat 3 UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 terkait penyalahgunaan wewenang. Misalnya bansos disalahgunakan untuk kepentingan paslon atau partai tertentu untuk kepentingan kampanye,” tukas pria lulusan Jurusan Hukum Keperdataan Universitas Pekalongan itu. 

Baca Juga: Bawaslu Telusuri Rekaman ASN Arahkan Dukungan di Pilkada Makassar

Topik:

  • Ilyas Listianto Mujib

Berita Terkini Lainnya