TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Vonis Bebas Haris-Fatia, Aktivis HAM: Pejabat Jangan Fobia Kritik

Pejabat publik dinilai cenderung alergi pada kritik ilmiah

Direktur Lokataru Haris Azhar divonis bebas dalam kasus pencemaran nama baik Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. (youtube.com/Jakartanicus)

Makassar, IDN Times - Vonis bebas terhadap dua aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar, dalam kasus dugaan pencemaran nama baik Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan, dinilai sebagai momentum krusial pembenahan sistem hukum Indonesia.

Asyari Mukrim, Badan Pekerja Kontras Sulawesi, menyebut vonis bebas Haris dan Fatia dari seluruh dakwaan, sejatinya merupakan hal mutlak yang memang sudah seharusnya dilakukan oleh negara jika ingin menegakkan keadilan.

"Harapannya hal ini juga semakin memperbaiki sistem hukum Indonesia yang semakin represif oleh ancaman UU ITE dan segala bentuk kriminalisasi," ucap Asyari kepada IDN Times, Rabu (10/1/2024).

1. Pejabat publik harus terbuka pada kritikan

Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti akan jalani sidang perdana di PN Jaktim pada Senin (3/4/2023)

⁠Putusan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur membebaskan Fatia dan Haris, menurut Asyari menunjukkan bahwa pejabat publik harus terbuka pada kritikan. Sebab kata dia, kritik bukan bagian dari pencemaran dan pejabat publik mesti siap untuk dikritik.

Selain itu, lanjut Asyari, selama delapan bulan proses hukum dijalani Fatia dan Haris, telah memantik gerakan kolektif yang lebih luas untuk memperjuangkan kebebasan berekspresi dan berpendapat di Indonesia.

"Setiap orang punya potensi untuk terjerat kriminalisasi di negara hukum yang cenderung abai terhadap kritik dan kebebasan berpikir. Solidaritas gerakan sekali lagi memberikan bukti dan hal itu mesti terus diperluas dan diperkuat," jelasnya.

2. Ketakutan pejabat publik terhadap hasil penelitian ilmiah

Mantan Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti divonis bebas dalam kasus pencemaran nama baik Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. (youtube.com/Jakartanicus)

⁠Sejak awal, kriminalisasi terhadap Fatia dan Haris disebut Asyari, berangkat dari ketakutan yang tidak mendasar dari sebuah hasil penelitian.

"Kebebasan berpendapat dan berpikir yang kemudian diterjemahkan dalam hasil penelitian adalah sebuah produk pengetahuan yang mesti dihargai dan dijaga untuk menjadi pengetahuan publik. Bukan menjadi ancaman demokrasi."

⁠Situasi demokratisasi pengetahuan ini, jelasnya, menjadi semakin runyam ketika ancaman kriminalisasi hasil riset menjadi sesuatu yang sering terjadi.

"Riset adalah sebuah proses ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan secara filosofis dan metodologis. Hasil dari sebuah riset pada dasarnya adalah olah pengetahuan yang mestinya menjadi aktifitas keseharian kita," dia menerangkan.

Berita Terkini Lainnya