TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Anak Jalanan di Indonesia: Ironi Ekonomi Berujung Eksploitasi

Anak jalanan rentan jadi korban berbagai tindak kejahatan

Ilustrasi anak jalanan. IDN Times/Aditya Pratama

Makassar, IDN Times - Beberapa anak terlihat mangkal di persimpangan lampu merah di Jalan Pengayoman dan Jalan Adyaksa, Makassar, Sabtu (13/4/2024), sekitar pukul 20.30 WITA. Mereka mengenakan kostum badut lalu mengamen untuk mencari nafkah agar keluarga bisa menyambung hidup

Setiap hari mereka mengguluti aktivitas itu. Ada yang bernyanyi atau sekadar menyalakan radio sembari berjoget dengan kostum badutnya. Mereka mendekati para pengendara yang berhenti saat lampu merah.

Dua orang anak terlihat menukarkan uang pecahan miliknya ke warung nasi goreng di persimpangan itu. Mereka adalah FA (12) dan FR (12), saudara kembar yang setiap hari melakoni aktivitas sebagai badut lampu merah.

Rumah mereka cukup jauh dari lokasi persimpangan itu. Mereka bermukim di Jalan Adyaksa Baru. Dua bocah laki-laki ini diantar menggunakan sepeda motor ke lokasi.

"Naik motor ke sini, diantar sama teman" kata FR didampingi kerabat usia dewasa saat wawancara dengan IDN Times.

Fenomena anak-anak yang mencari nafkah di jalanan, dapat dengan mudah dijumpai di hampir seluruh kota di Indonesia, khususnya di wilayah kota besar. Mereka menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat umum lainnya. Fenomena anak jalanan mencuatkan sejumlah pertanyaan terkait hak-hak mereka untuk memperoleh kesehatan, pendidikan, kasih sayang, hingga perlindungan khusus dari negara.

Sejumlah daerah di Indonesia, hingga kini, masih bergelut dengan program-program penanganan dan pembinaan anak jalanan. Namun, program itu tidak juga mampu mengentaskan persoalan anak-anak jalanan.

Faktor ekonomi memaksa mencari nafkah di jalan

Aktivitas anak jalanan di Kota Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), Sabtu (13/4/2024). IDN Times/Ashrawi Muin

Di tengah hiruk pikuk malam Kota Makassar, FA dan FR biasanya mendapatkan uang sebesar Rp80.000 per hari. Tapi uang itu tidak bisa dinikmati semuanya. Ada biaya sewa kostum badut yang harus dibayar. Uang yang didapatkan dari aktivitas mengamen di lampu merah hanya cukup untuk makan sehari-hari saja.

"Baju badut disewa, Rp50.000 per hari. Setiap hari biasa dapat Rp80.000. Jadi sisa Rp30.000 dikasih orang tua, langsung dibelikan makanan. Biasa beli ikan," kata FR.

FA dan FR merupakan anak kedua dan ketiga dari 5 bersaudara. Kakak pertamanya juga sama-sama mengamen dengan kostum badut sedangkan kedua adiknya masih kecil.

Pekerjaan ayahnya sebagai penarik bentor dan ibu sebagai pemulung, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mau tidak mau, jalanan ada pilihan untuk mencari rezeki tak peduli bahayanya.

"Orang tua tahu kita di sini. Kita juga tidak takut sama mobil, motor kecuali di jalanan besar seperti Jalan Boulevard," FR menerangkan.

Keduanya mengaku baru beberapa hari ini kembali ke jalanan. Pasalnya, mereka harus main kucing-kucingan dengan Satpol PP sehingga tak berani muncul ke lokasi itu.Walau ada ketakutan tertangkap Satpol PP, tapi mereka tetap nekad kembali lagi. Persoalan ekonomi menjadi alasan utama.

Himpitan ekonomi juga jadi faktor pemicu sebagian besar anak jalan di Kota Tangerang, Banten, bergelut dengan padatnya lalu lintas kendaraan kota. Pengasuh komunitas anak jalanan di Kota Tangerang, Pemuda Urakan Namun Kreatf disingkat PUNK,  Andry mengatakan, berdasar pengamatannya sebagai pengasuh komunitas, banyak dari anak jalanan, khususnya yang masih di bawah umur, berada di Kota Tangerang mengais nafkah dengan cara mengemis.

"Banyaknya di jalanan itu di bawah umur mereka mengais rejeki dengan cara mengemis dan dengan berbagai trik," kata dia.

Andry mengungkapkan, asal mereka dari banyak tempat dan keadaan. "Bahkan ada mereka yang gak tahu asalnya dari mana, karena mereka di jalan sendiri, ditelantarkanlah, dibuang bahkan ada yang pergi dari rumah," kata Andry.

Tak sedikit juga, lanjutnya, para anak jalanan terjun ke jalan dengan dalih mencari kebebasan. "Kebanyakan penyebabnya faktor ekonomi sih sebenarnya," kata dia.

Baca Juga: Cerita dari Kampung Pemulung Makassar: Solidaritas di Atas Derita

Eksploitasi anak

Para pengamen anak yang memilih hidup di jalanan (IDN Times/Indah Permata Sari)

Kompleksitas masalah yang dialami anak jalanan, akhirnya bermuara pada eksploitasi. Di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), modus eksploitasi anak dilakukan dengan memaksa mereka menjual tisu, kue, dan buah-buahan sepanjang hari. Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram, Joko Jumadi, mengungkapkan, "Orang tua mereka biasanya berada di dekat untuk mengawasi," kata Joko.

Joko mengungkapkan bahwa sebagian besar anak jalanan di Mataram mengalami eksploitasi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Modus eksploitasi anak jalanan di Kota Mataram pun mengalami perubahan, di mana kini mereka disuruh menjual berbagai barang daripada meminta uang seperti sebelumnya.

Menurut Joko, masalah utama anak jalanan di Kota Mataram berkaitan dengan kesadaran orang tua. Meskipun pemerintah daerah telah memberikan berbagai bantuan, seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan modal usaha, namun tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya.

"Orang tua mendapatkan modal usaha tapi tidak digunakan untuk keperluan bisnis yang diinginkan. Mereka lebih memilih menjual peralatan yang diberikan," ungkapnya.

Ekspolitasi anak di jalanan juga terlihat pada fenomena manusia silver di persimpangan-persimpangan jalan raya kota besar. Di Bandar Lampung, manusia silver yang dilakoni anak-anak cukup marak terjadi dan terorganisir.

Ketua Komnas Perlindungan Anak Provinsi Lampung Arieyanto Wertha, menjelaskan anak-anak manusia silver sengaja diangkut dengan mobil pikap lalu diturunkan di titik strategis seperti lampu merah.

“Mobil ini membawa mereka ramai-ramai, lalu diturunkan di dekat lampu merah dari jam 6 pagi. Ini kan seperti ada yang mempekerjakan mereka, ada dugaan praktik mempekerjakan anak di bawah umur,” ujar Arie sapaan akrabnya.

Ia melanjutkan, setelah ditelisik lebih dalam, ternyata anak-anak yang memiliki “bos” ini juga dibekali sebuah kotak dan uang sebesar Rp15.000 per anak untuk makan. Nantinya anak-anak ini akan “bekerja” sebagai manusia silver sampai sore.

“Setelah seharian jadi manusia silver, penghasilan mereka ini ternyata gak semua buat mereka sendiri. Tapi harus ada yang disetorkan sesuai penghasilannya. Kalau dia dapat seratus ribu, anak ini hanya dapat Rp25.000,” jelasnya.

Baca Juga: Anak Pemulung di Makassar Meninggal Kelaparan, Dinsos Klarifikasi

Berita Terkini Lainnya