TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Suhu Bumi Meningkat akibat Perubahan Iklim: Dampak Nyata di Indonesia

Peningkatan suhu bumi memicu berbagai bencana

Ilustrasi lahan pertanian terdampak bencana kekeringan.(IDN Times/Ruhaili)

Intinya Sih...

  • Peningkatan suhu bumi mengakibatkan cuaca panas ekstrem di Kota Makassar dan Banjarmasin.
  • Perubahan iklim juga mempengaruhi sektor pertanian, dengan petani di Lampung Selatan harus beradaptasi dengan perubahan jadwal tanam dan ketersediaan air.
  • Kenaikan temperatur iklim menyebabkan kekeringan di Bima, Nusa Tenggara Barat, serta banjir rob di Medan yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan.

Makassar, IDN Times - Wilayah Kota Makassar diterpa cuaca panas luar biasa selama beberapa bulan terakhir. Ini tak lepas dari suhu harian anomali sebagai imbas perubahan iklim. Laporan terbaru dari organisasi nonprofit Climate Central berjudul People Exposed to Climate Change: June-August 2024 menjelaskannya secara gamblang.

Climate Central dalam laporan yang diterbitkan pada Rabu (18/9/2024) memaparkan, Makassar berada di indeks pergeseran iklim atau Climate Shift Index (CSI) level 3 atau lebih tinggi selama 91 hari. Anomali suhunya sendiri mencapai 0,85 derajat Celcius.

Peningkatan suhu panas di Kota Makassar imbas dari perubahan iklim juga dialami di sebagian besar wilayah Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Fenomena ini terutama dipicu oleh peningkatan emisi gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global, berdampak pada kondisi atmosfer dan iklim di Indonesia.

Salah satu efek langsung dari perubahan iklim adalah meningkatnya suhu udara di berbagai wilayah Indonesia, seperti yang terlihat dari suhu maksimum yang tercatat oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Suhu di beberapa daerah telah mencapai 35-38°C pada siang hari, terutama selama musim kemarau yang diperburuk oleh minimnya pembentukan awan.

Tren kenaikan suhu ini juga memperburuk kondisi kekeringan dan perubahan siklus musim yang lebih sulit diprediksi. Fenomena-fenomena seperti musim kemarau yang berkepanjangan dapat menyebabkan masalah dalam sektor pertanian dan kesehatan, dengan potensi munculnya penyakit-penyakit baru akibat perubahan suhu yang ekstrem.

Suhu panas berdampak pada aktivitas manusia

Suhu panas ekstrem di Banjarmasin Kalimantan Selatan (Kalsel) berdampak signifikan pada lingkungan dan kesehatan masyarakat. Wali Kota Banjarmasin Ibnu Sina mengimbau warga untuk mengurangi aktivitas di luar rumah jika tidak mendesak.

Di Kota "Seribu Sungai" dan sekitarnya, musim kemarau kali ini masih diselingi oleh hujan. Pada pertengahan September 2024, hujan dengan intensitas rendah sudah terjadi tiga kali di Banjarmasin. Namun, suhu panas dan pengap tetap dirasakan oleh warga, baik siang maupun malam.

"Penghijauan di kota membantu mengurangi dampak panas, tetapi perawatan tanaman perlu ditingkatkan, termasuk penyiraman yang rutin," ujarnya.

Ia juga menekankan pentingnya warga untuk mengurangi aktivitas di luar rumah. "Cuaca panas yang ekstrem dapat memicu berbagai masalah kesehatan," tambahnya.

Kemarau ini juga menyebabkan terjadinya intrusi air laut di sungai Banjarmasin, yang berpotensi mengurangi kualitas air minum. Namun, Direktur Utama PAM Bandarmasih, Muhammad Ahdiat, menjelaskan bahwa pasokan air baku masih aman. Menurutnya, pengecekan rutin menunjukkan bahwa kadar garam di sungai belum mempengaruhi kualitas air baku.

"Hasil pengecekan terakhir mencatat kadar garam di angka 228 Ppm, masih di bawah standar baku mutu 250 Ppm. Kami akan terus memantau intrusi air laut untuk mencegah dampak buruk," katanya. Dengan demikian, masyarakat diimbau untuk tetap waspada dan menjaga kesehatan selama menghadapi suhu panas ekstrem ini.

Mengancam produktivitas pertanian

Joko Umboro, seorang petani di Desa Sidomakmur, Kecamatan Way Panji, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung, sekaligus ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Makmur Sejati, menuturkan, perubahan iklim saat ini memaksa petani harus berjibaku menjaga tanamannya agar tetap tumbuh dan produktif. Alhasil, kondisi serupa juga mengubah jadwal tanam padi hingga berdampak pada hasil panen.

"Kalau dulu 10 tahunan lalu, petani di sini bisa tanam padi empat kali setahun, tapi kalau sekarang dua kali tanam aja sudah alhamdulillah," ujarnya dikonfirmasi, Jumat (27/9/2024).

Joko melanjutkan, salah satu kendala terberat bagi petani sekitar menghadapi perubahan iklim ialah cuaca panas, lantaran berdampak langsung pada ketersedian air hingga mengakibatkan kekeringan. Caranya, para petani sekitar mengakali pengairan sawah dengan embung buatan dirancang menampung ketersedian air, hingga swadaya mengakali dengan sumur bor.

"Mau gak mau, kita petani di sini rata-rata sekarang masing-masing sudah punya sumur bor pribadi yang khusus difungsikan mengairi sawah," jelas dia.

Berbicara soal produktivitas, Joko membeberkan, petani setempat tahun ini baru saja memanen hasil musim tanam gadu telah dimulai sejak awal Juni 2024. Hasilnya, tingkat keberhasilan panen padi petani rata-rata paling maksimal hanya 80 persen.

"Hitungan perbandingannya, seperempat hektare itu biasanya bisa 1,7 ton, tapi kalau kemarin maksimal hanya paling 1,4 dan 1,5 ton udah maksimal," terangnya.

Meski masa panen kurang maksimal, ia dan rekan-rekan petani desa setempat tetap bersyukur dengan kondisi tersebut. Itu merujuk perbandingan dengan kemarau panjang tahun lalu akibat fenomena El Nino. "Kalau tahun kemarin parah, rata-rata sepanjang tahun petani gagal panen," sambung dia.

Berdasarkan catatan BMKG, Kepala Stasiun Klimatologi BMKG Lampung, Indra Purna menyampaikan, tren perubahan iklim di Indonesia mengalami kenaikan temperatur kisaran 0,5 sampai dengan 1 derajat celcius selama kurun waktu 30 tahun terakhir.

Sedangkan di Provinsi Lampung, rata-rata pergeseran kenaikan temperatur iklim sekitar 0,5 derajat Celcius. Akibatnya, terjadi perubahan pola cuaca seperti kelembapan udara, angin, dan hujan. "Kondisi ini seperti apa yang terjadi belakang sekarang ada perubahan cuaca cukup signifikan di fase atu periode pancaroba, peralihan dari musim kemarau ke penghujan," terangnya.

Bencana kekeringan ekstrem

Bencana kekeringan di Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) akibat perubahan iklim dirasakan signifikan dalam sebulan terakhir. Dari sebelumnya hanya 7 desa, kemudian kini tersebar menjadi 28 desa terdampak. Puluhan desa tersebut tersebar di 15 kecamatan dari total 18 kecamatan yang ada di Kabupaten Bima. Kekeringan terparah terjadi di Kecamatan Palibelo, yang mana terdapat 8 desa yang terdampak

Kabid Kedaruratan dan Logistik BPBD Kabupaten Bima, Nurul Huda mengatakan ada sebanyak 11.015 jiwa yang terdampak kekeringan. Kondisi krisis air bersih ini dikhawatirkan akan terus meluas.

Desa Monta Baru Kecamatan Lambu kini mulai ikut terdampak. Padahal wilayah setempat dari tahun-tahun sebelumnya sama sekali tak pernah mengalami krisis air bersih.

"Desa Monta Baru pertama kali kekurangan air, karena air tanah di sana yang selama ini menjadi sumber airnya sudah berkurang," bebernya.

Krisis air bersih juga melanda 28 kabupaten/kota di Jawa Timur (Jatim). Pemerintah setempat menerbitkan status darurat kekeringan untuk Kabupaten Lamongan, Bangkalan, Bondowoso, Gresik, Lumajang, Situbondo, Sampang, Pamekasan, Banyuwangi, Bojonegoro.

Kemudian Kota Batu, Kabupaten Blitar, Ponorogo, Jombang, Tulungagung, Nganjuk, Pacitan, Kabupaten malang, Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Probolinggo, Ngawi, Kabupaten Madiun, Magetan, Trenggalek, Jember, Kabupaten Pasuruan, dan Sumenep. 

Kepala BPBD Jatim, Gatot Soebroto mengatakan dari total wilayah itu, terdapat enam daerah yang kehabisan anggaran mengatasi kekeringan. Seperti Kabupaten Mojokerto, Blitar, Pasuruan, Pacitan, Jember dan Lumajang.

Enam daerah yang kehabisan anggaran ini lantaran digunakan untuk dropping air bersih ke setiap desa yang mengalami kekeringan. BPBD Jatim memastikan, BPBD kabupaten/kota setempat sudah berkoordinasi dengan pihaknya untuk mendapat anggaran Belanja Tak Terduga (BTT) dari APBD Pemprov Jatim.

 "Bantuan dari APBD Jatim itu berupa dropping air bersih secara langsung. Pembagian air juga menyesuaikan kebutuhan setiap wilayah, sehingga akan berbeda-beda jumlah per liternya. Bantuan disesuaikan jumlah penduduk yang membutuhkan air, sehingga berbeda setiap wilayah,” ujarnya, Senin (16/9/2024).

Salah satu daerah di Jatim, yaitu Desa Kuwon, Kecamatan Karas, Kabupaten Magetan, bahkan merasakan sumur-sumur kering dalam dua pekan terakhir. Situasi itu memaksa mereka mengandalkan air dari sumur sawah untuk keperluan sehari-hari seperti mandi dan mencuci.

Setiap pagi dan sore, warga harus menunggu pemilik sawah menyalakan pompa air untuk mendapatkan air, yang biasanya digunakan untuk mengairi lahan pertanian. Meskipun kualitas air tersebut jauh dari bersih, warga terpaksa menggunakannya. Untuk kebutuhan minum dan memasak, mereka harus membeli air galon seharga Rp5 ribu per galon.

Suwati, salah seorang warga Desa Kuwon, mengungkapkan betapa sulitnya kondisi yang mereka alami. “Sudah dua minggu kami ambil air dari sumur sawah, meskipun kotor. Tapi mau bagaimana lagi? Untuk mandi dan mencuci, terpaksa pakai itu. Kalau untuk minum, kami beli air galon,” katanya, Sabtu (14/09/2024).

Surati, warga lainnya, juga merasa tertekan dengan keadaan ini. “Susah sekali dapat air bersih. Setiap hari harus mencari air untuk masak dan mencuci. Bahkan, saya sampai menggali sumur lebih dalam hingga tiga meter, tapi tetap saja air sulit didapatkan. Bantuan juga belum datang,” keluhnya.

Memicu banjir rob

Pemanasan global, selain menyebabkan kekeringan ekstrem, juga memicu terjadinya banjir rob. Di Kota Medan, bencana tersebut tejadi rutin setiap tahun, di mana ratusan rumah di Kecamatan Belawan dan sekitarnya terendam banjir. Saban tahun, kondisinya terus memburuk. Teranyar, rob merendam pemukiman selama berhari-hari di penghujung September 2024.

Sejak 17September, Balai Besar Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BBMKG) telah menerbitkan peringatan dini pasang air laut. Banjir rob terjadi 2 x 24 jam. Pertama pada pukul 01.00-05.00 WIB dan 13.00-16.00 WIB.

Analisis banjir rob yang kian parah ini datang dari Onrizal, ahli kehutanan dari Universitas Sumatra Utara (USU). Onrizal mengatakan, banjir rob yang terjadi saat ini adalah dampak nyata dari kerusakan lingkungan.

Pesisir Belawan, kata Onrizal, sudah kehilangan mangrove sebanyak 90 persen dalam waktu 30 tahun terakhir. Merujuk pada penelitiannya yang memberikan fokus pada kondisi porak porandanya kondisi mangrove di pesisir Timur Sumatra.

“Kawasan mangrove banyak dikonversi. Baik menjadi tambak, permukiman, dan lainnya. Di sisi lain juga ada laju industrialisasi.  Ada pengambilan air tanah, vegetasinya hilang, secara alami tanahnya turun atau mengalami subsidensi (Land Subsidence). Sehingga dengan posisi relatif air laut tidak naik saja, ketika pasang, sering  terjadi rob. Karena tanahnya turun. Jadi dengan pasang yang memang sama, sekarang sudah tenggelam. Bentengnya mangrove, sudah hilang,” kata Onrizal.

Kondisi ini juga diperparah dengan laju perubahan iklim. Ini membuat dampak perubahan iklim kian nyata. Kenaikan permukaan air laut membuat kedalaman air terus meningkat.

“Mangrove rusak itu tadi. Harusnya mampu menyimpan karbon, sekarang lepas. Sehingga meningkatkan emisi gas rumah kaca, sehingga semakin berat perubahan iklimnya,” katanya.

Mitigasi perubahan iklim

Mitigasi perubahan iklim untuk mengendalikan peningkatan suhu bumi di masa mendatang merupakan hal yang krusial dilakukan oleh seluruh pihak. Proyeksi BMKG menunjukkan bahwa, meskipun ada upaya mitigasi, suhu rata-rata di Indonesia akan tetap meningkat hingga pertengahan abad ke-21 jika tidak ada langkah-langkah mitigasi lebih lanjut.

Dengan perubahan iklim yang semakin nyata, ada urgensi untuk memperkuat kebijakan mitigasi dan adaptasi, terutama dalam hal mengurangi emisi karbon dan meningkatkan ketahanan terhadap perubahan suhu yang ekstrem.

Salah satu gerak nyata yang dilakukan sebagai langkah mitigasi perubahan iklim ialah menjaga kelestarian lingkungan dan memelihara kawasan hutan dengan pepohonan yang dapat menangkap karbon.

Untuk menjaga agar kawasan hutan tetap ada dan bisa bertambah, berbagai program dilakukan salah satunya yang diinisiasi oleh Yayasan Hutan Wakaf. Instrumen wakaf atas tanah menjamin kelestarian hutan karena wakaf mempunyai ciri khas yaitu tidak boleh dijual, diwariskan, dan dihibahkan.

"Hutan wakaf tidak hanya menjaga ekosistem, namun juga memberikan manfaat sosial, edukasi, dan ekonomi," kata Ketua Yayasan Hutan Wakaf Bogor, Jawa Barat, Khalifah Muhammad Ali, dalam diskusi yang diselenggarakan Rabu (25/9/2024).

Berdasarkan data Badan Pusat Statisitk (BPS) Jawa Barat pada 2021, luas kawasan hutan di provinsi ini mencapai 789 179,49 hektare. Terdiri dari hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi tetap, hutan produksi terbatas, dan area penggunaan lainnya.

Saat ini Jabar memiliki kawasan hutan kurang lebih 21 persen dari total luasan provinsi dengan areal tutupan lahan 16,21 persen.  Selain itu, Jabar juga memiliki 41 Daerah Aliran Sungai (DAS) dan luas indikasi hutan rakyat sebesar 856.000 hektare. Jabar pun masih mempunyai banyak tantangan, khususnya untuk menangani lahan kritis seluas 829.000 hektare. 

Menurut Khalifah, program ekologi merupakan program konservasi hutan yang fokus pada pembebasan lahan hutan wakaf dan upaya konservasinya. Sedangkan, program ekonomi mewajibkan hutan wakaf untuk memiliki nilai ekonomis yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar. Kedua hal tersebut harus ditopang dengan edukasi yang memastikan bahwa generasi penerus dapat melanjutkan hutan wakaf agar keberlanjutannya terjamin.

Dalam penelitian yang dilakukan juga mengungkap bahwa perspektif masyarakat terhadap program Hutan Wakaf sangat positif, di mana 76 persen menyatakan setuju dan sangat setuju untuk berpartisipasi dalam program Hutan Wakaf. Di Indonesia saat ini sudah ada beberapa lokasi hutan wakaf, antara lain di Aceh, Mojokerto dan Sukabumi dengan total luas yang baru mencapai 10 hektare. “Studi kasus hutan wakaf kami di Bogor yang mulai sejak tahun 2018, dari sisi luasan sudah mencapai 2,5 hektare dan terbagi di enam bidang tanah. Hutan wakaf ini sudah memberi manfaat lebih dari 500 kepala keluarga melalui berbagai program ekologi, ekonomi, hingga sosial dakwah”, jelas Khalifah.

Upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, memang seharusnya menjadi tanggung jawab seluruh pihak. Menurut, aktivis lingkungan di Banten yang juga Direktur Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pena Masyarakat, Mad Haer Effendi, bahwa seluruh pihak, sudah harus siap menghadapi perubahan iklim yang melanda dunia ini. "Di Provinsi Banten sudah harus siap-siap menghadapi krisis iklim di mana ancaman-ancaman bencana khususnya mulai sering terjadi dari beberapa tahun lalu. Yang pasti bicara krisi iklim banyak hal yang mungkin terjadi dadakan," kata Mad Haer, Minggu (29/9/2024).

Mad Haer menilai, beban tanggung jawab juga harus diemban masyarakat, utamanya agar pencegahan-pencegahan skala mikro, misalnya menjaga lingkungan tempat tinggal atau penggunaan barang yang ramah lingkungan bisa dilakukan. "Khususnya di pemerintahan atau pihak terkait harusnya sudah mulai masyarakat sudah harus lebih peduli kondsi-kondisi yang memang kita tidak tahu ke depannya," kata dia.

 

Baca Juga: Climate Central: Anomali Suhu Panas Makassar Tertinggi Kedua di Asia

Berita Terkini Lainnya