TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Mengulik Haji Bawakaraeng, Tradisi Lama yang Sarat Kontroversi

Kebiasaan turun temurun ini ternyata masih tetap dilakukan

Pemandangan puncak Gunung Bawakaraeng yang berada di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. (Dok. Google Maps)

Intinya Sih...

  • Zulhijah menyimpan makna penting bagi umat Muslim, pelaksanaan ibadah haji di Tanah Suci menjadi momen religius yang tak terlupakan.
  • Masyarakat Jawa dan Sulawesi Selatan memiliki kepercayaan bahwa mengunjungi Masjid Demak atau mendaki Gunung Bawakaraeng setara dengan menunaikan ibadah haji.
  • Tradisi "Haji Bawakaraeng" dianggap sebagai peninggalan tradisi agama kuno yang dipadukan dengan ajaran Islam, tetapi sering dicap sebagai menyimpang dari tata cara Nabi Muhammad SAW.

Makassar, IDN Times - Zulhijah menyimpan beragam makna bagi umat Muslim. Bagi mereka yang memiliki kemampuan finansial dan kesediaan batin, pelaksanaan ibadah haji sebagai salah satu pilar Islam, dilakukan selama bulan ini.

Menziarahi Kakbah menjadi momen religius yang tak terlupakan. Ini lantaran seseorang berkesempatan langsung berhadapan dengan kiblat, sebagai simbolisasi hubungan vertikal antara manusia dan penciptanya.

Bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki kemampuan finansial, tenaga, atau usia untuk melakukan perjalanan ke Tanah Suci? Di Jawa, ada kepercayaan bahwa mengunjungi Masjid Demak tujuh kali setara dengan menunaikan ibadah haji.

Kepercayaan serupa juga ditemukan di masyarakat Sulawesi Selatan (Sulsel), yakni Haji Bawakaraeng. Mendaki Gunung Bawakaraeng, salat Id kemudian menyembelih hewan kurban di puncaknya konon setara dengan rukun Islam kelima tersebut.

1. Gunung Bawakaraeng menjadi sumber kehidupan selama berabad-abad

Mengapa Bawakaraeng dipilih? Menurut keyakinan masyarakat, gunung yang mencapai ketinggian 2.950 mdpl ini memiliki dua makna yang penting. Pertama, sebagai sumber kehidupan karena memasok air bagi kota Makassar dan sejumlah kabupaten di sekitarnya seperti Maros, Gowa, Takalar, Jeneponto, Bulukumba, Sinjai, dan Bone. Air yang berasal dari Bawakaraeng menjadi penopang bagi kegiatan pertanian selama berabad-abad.

Kedua, posisinya dalam keyakinan lokal. Bawakaraeng, dalam bahasa Makassar, memiliki arti "Mulut atau Sabda Tuhan." Gunung ini dianggap sebagai tempat bersemayamnya Tu Rie' Ara'na' atau To Kammayya Kananna (Yang Maha Berkehendak) dalam sistem kepercayaan pra-Islam di Sulsel.

Irfan Palippui, dosen Fakultas Ekonomi dan Ilmu-ilmu Sosial Universitas Fajar Makassar), dalam artikel ilmiah Syekh Yusuf dan (Hasrat) Perjalanan Haji ke Bawakaraeng (Jurnal Masyarakat & Budaya, 2016) menulis bahwa Tu Rie' Ara'na' berperan sebagai dewa perawat kehidupan manusia di dunia, serta sumber segala kebaikan dan keburukan.

2. Terdapat beberapa riwayat yang menjelaskan asal-usul tradisi ini

Bagaimana kepercayaan "berhaji" di Gunung Bawakaraeng dimulai? Ada beberapa riwayat yang tumbuh di masyarakat tentang asal-usulnya. Salah satunya adalah kepercayaan bahwa puncak gunung tersebut merupakan tempat Syekh Yusuf Tuanta Salamaka, seorang pemuka agama asal Gowa-Tallo yang terkenal hingga Afrika Selatan, pernah bertemu dan berguru pada para wali (kemungkinan besar Wali Songo).

Dalam pertemuan itu, Syekh Yusuf juga dianjurkan untuk melaksanakan ibadah haji. kemungkinan kemudian disalahartikan sebagai pelaksanaan ibadah haji cukup di Gunung Bawakaraeng saja (Majalah Panji Masyarakat edisi April 1998). Dalam konteks ini, Gunung Bawakaraeng bertindak sebagai "representasi" Makkah.

Lebih jauh, Syarifuddin Idris dalam artikel ilmiah Konstruksi Ritual Ibadah Haji Pada Masyarakat Sekitar Gunung Bawakaraeng, Kabupaten Gowa (Jurnal Al-Qalam, 2017) mengemukakan bahwa akhirnya masyarakat lokal beranggapan Gunung Bawakaraeng lebih utama dari Makkah.

Pandangan semacam ini dianggap sakral karena bersinggungan dengan kepercayaan lama, seperti dijelaskan dalam buku Contemporary Developments in Indonesian Islam (Institute of Southeast Asian Studies, 2013). Tapi, banyak pula yang mengatakan bahwa kebiasaan ini sudah ada sejak zaman dahulu, dimulai saat seseorang mendapatkan wangsit dari mimpi.

3. Prosesinya sangat berbeda dengan ibadah haji yang dilakukan di Tanah Suci

Meski begitu, proses pelaksanaannya sangat berbeda dari ibadah haji. Tidak ada tawaf, sa'i, maupun wukuf. Masyarakat yang menjalankan ritual ini hanya memohon keselamatan, rezeki, atau permintaan lain kepada Yang Maha Kuasa tanpa berniat melaksanakan ibadah haji dari jarak sembilan ribu kilometer (Jesi Hany Taroko: Bawakaraeng, Berhaji Selain Mekah, 2007).

Sering kali dalam ritual ini, mereka membawa sesembahan seperti songkolo’ (beras ketan), buras, daging ayam yang sudah diolah, telur, buah-buahan, hingga daging kambing, Jenis sesembahannya disesuaikan dengan hajat yang diminta.

Di masa lalu, mereka yang mendaki ke puncak Bawakaraeng menjelang hari Iduladha 10 Zulhijah juga membawa sapi atau kambing hidup. Hewan ternak ini dibawa untuk disembelih atau dikurbankan setelah salat Id.

Tidak ada pakaian ihram seperti jemaah haji di Tanah Suci. Mereka mengenakan busana sehari-hari yang sopan. Selama di puncak, mereka harus mematuhi pantangan, seperti tidak boleh meludah atau mengumpat, agar doa dikabulkan. Ini lantaran area tersebut dianggap keramat dan menjadi kediaman sang dewata.

4. Dianggap sebagai pelabelan negatif terhadap komunitas yang menjalankan ritual ini

Di sisi lain, Syamsurijal dari Pusat Riset Khazanah Keagamaan dan Peradaban Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melihat fenomena ini dari perspektif simpatik. Dalam artikel ilmiah Ilalang Arenna Haji Bawakaraeng : Konstruksi, Permainan dan Negosiasi Identitas dalam Sebuah Penamaan (Pusaka Jurnal Khazanah Keagamaan, 2022), istilah 
Haji Bawakaraeng dikenal di masyarakat Bugis-Makassar pada awalnya adalah pelabelan secara negatif pada komunitas yang menjalankan ritual di puncak Bawakaraeng.

"Ritual itu awalnya masih merupakan peninggalan tradisi agama-agama kuno, khususnya Agama Patuntung yang banyak dianut oleh masyarakat di bagian selatan, Sulawesi Selatan. Setelah kedatangan Islam, ritual agama kuno dipadukan dengan ajaran Islam," tulis Syamsurijal.

"Praktik-praktik ritual semacam itu tidak diterima oleh Muslim mainstream karena dianggap menyalahi ketentuan syariat. Karena itulah untuk menunjukkan adanya ritual yang dianggap menyalahi ajaran yang diyakini kelompok mainstream, maka komunitas ini dilabeli dengan istilah Haji Bawakaraeng. Melalui pelabelan itu masyarakat Muslim mainstream mengonstruksi satu identitas yang dianggap subversif dan menyempal dari identitas bersama," imbuhnya.

Selain itu, sebuah riwayat menyebut bahwa kata "haji" dalam label tersebut berasal dari "baji", bahasa Makassar yang berarti "kebaikan atau hal-hal baik." Alhasil, istilah Haji Bawakaraeng pun direduksi sehingga identik pembangkangan.

Baca Juga: Basarnas Sulsel Catat 1435 Pendaki Menuju Puncak Gunung Bawakaraeng

Berita Terkini Lainnya