TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Mengenal Ambo Dalle, Sosok Ulama Mahsyur dari Tanah Bugis

Ambo Dalle diusulkan mendapat gelar Pahlawan Nasional

Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle, salah satu tokoh ulama termahsyur di Sulawesi Selatan. (Dok. Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Selatan)

Makassar, IDN Times - Salah satu tokoh agama di Sulawesi Selatan diajukan sebagai pahlawan nasional. Dia adalah Anregurutta H. (A.G.H.) Abdurrahman Ambo Dalle, salah satu ulama kharismatik dengan sumbangsih luar biasa.

Dukungan ini datang di sela-sela kegiatan seminar nasional Darud Da'wah Wal Irsyad (DDI) di Makassar pada hari Sabtu pekan lalu (22/7/2023). Sejumlah legislator pun menyatakan dukungan atas rencana ini. Ada anggota DPRD Sulsel dari fraksi PKS yakni Meity Rahmatia, serta Ketua Komisi VIII DPR-RI Ashabul Kahfi.

Selain itu, Bupati Pinrang Irwan Hamid juga sudah membahas rencana tersebut bersama tim DDI pada akhir Maret 2023 lalu. Untuk mengenal lebih jauh tentang Ambo Dalle, berikut ini IDN Times mengulas riwayat hidup seperti disadur dari berbagai sumber.

Baca Juga: KH Ambo Dalle Pendiri Pesantren DDI Diajukan Jadi Pahlawan Nasional

1. Lahir di keluarga bangsawan Wajo pada tahun 1900, Ambo Dalle memperlihatkan minat besar pada ilmu agama sejak kecil

Pemukiman penduduk sekitar Sungai Walanae di Kota Sengkang, Kerajaan Wajo, antara tahum 1900 hingga 1940. (Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

Berdasarkan buku Anregurutta Ambo Dalle: Maha Guru dari Bumi Bugis (Tiara Wacana, 2009), dia lahir dari keluarga bangsawan di Desa Ujung Kecamatan Tanasitolo, Kabupaten Wajo, sekitar tahun 1900. Ia adalah anak tunggal dari pasangan Andi Ngati Daeng Patobo dan Andi Candara Dewi.

Nama "Ambo Dalle", yang diberikan oleh kedua orang tuanya, memiliki arti "bapak yang memiliki banyak rezeki." Harapannya agar anak mereka hidup dengan rezeki yang melimpah. Barulah pada usia tujuh tahun dia diberi nama "Abdurrahman" dari ulama K.H. Muhammad Ishak usai berhasil menghafal Al-Qur'an.

Sejak kecil, Ambo Dalle ditempa dengan jiwa kemandirian dan kedisiplinan, khususnya dalam hal agama. Ia menimba ilmu di Sekolah Rakyat pada pagi hari dan belajar mengaji pada sore hingga malam hari. Tak cuma mempelajari ilmu-ilmu Al-Qur'an seperti tajwid dan fikih, Ambo Dalle juga mengikuti kursus bahasa Belanda di sekolah khusus bumiputera HIS (Hollandsch-Inlandsche School).

2. Pada tahun 1935, dia menunaikan ibadah haji sekaligus memperdalam ilmu agama

Suasana Masjidil Haram Mekkah pada tahun 1935. (Wikimedia Commons)

Pada tahun 1928, Ambo Dalle pergi ke Sengkang untuk menimba ilmu dari seorang ulama Bugis Wajo yang lahir dan menetap di Mekkah yakni A.G.H. Muhammad As'ad bin Abdul Rasyid Al-Bugisy. Di sana, ia memiliki kesempatan untuk menuntut ilmu dari berbagai ulama asal Wajo yang kembali dari kota suci umat Islam tersebut.

Kesempatan memperdalam ilmu langsung di Tanah Suci datang pada 1935 saat Anregurutta berangkat untuk menunaikan ibadah haji. Setelah beberapa bulan, Ambo Dalle kembali dan meniti karier mengajar sekaligus memimpin Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Sengkang. Lembaga pendidikan tersebut berkembang pesat dan menarik minat masyarakat dari berbagai daerah.

Pada tahun 1938, dia dihadapkan pada permintaan untuk membuka lembaga pendidikan di Mangkoso oleh H.M. Yusuf Andi Dagong, Kepala Swapraja Soppeng Riaja. Setelah melalui proses diskusi yang alot, akhirnya disepakati membuka cabang MAI Sengkang di Mangkoso, yang kelak berubah nama menjadi DDI Mangkoso setelah berdirinya organisasi Darud Da'wah Wal Irsyad (DDI) pada 1947.

Anregurutta terus mengembangkan DDI dengan membuka cabang-cabang di berbagai daerah. Hal tersebut masih berlangsung saat Jepang masuk ke Sulsel. Dia tetap melanjutkan kegiatan pendidikan dengan mengajar di bawah pengawasan ketat militer Dai Nippon.

3. Ambo Dalle memindahkan aktivitas MAI (cikal bakal DDI) dari Mangkoso ke Kota Parepare pada tahun 1950

Suasana Kota Parepare, Sulawesi Selatan, pada tahun 1948. (C.J. Taillie/Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures)

Setelah kemerdekaan Indonesia, Anregurutta tetap konsisten mengabdi pada pendidikan dan perjuangan agama. Saat masa Revolusi Kemerdekaan, dia dikenal dekat dengan para gerilyawan. Tapi, sejumlah santri yang ditugaskan untuk mengajar di daerah menjadi korban aksi operasi militer pimpinan Kapten Westerling.

Tahun 1950, Ambo Dalle pindah dari Mangkoso ke Parepare yang dikenal sebagai kota pelabuhan. Anregurutta menganggap Parepare sebagai lokasi strategis untuk mengembangkan organisasi dan pendidikan. DDI kemudian mendirikan badan-badan otonom seperti Fityanud Da'wah wal Irsyad (FIDI) yang bergerak di bidang kepanduan dan kepemudaan, Fatayat Darud Da'wah wal Irsyad (FADI) untuk kaum putri dan pemudi, kemudian Ummahatud Da'wah wal Irsyad (Ummmahat) bagi para ibu.

Dewan perguruan juga dibentuk untuk mengelola madrasah dan sekolah dengan penyesuaian sistem pendidikan mengikuti perkembangan zaman. Selain sibuk memimpin organisasi dan perguruan, ia mengemban tugas di Departemen Agama Provinsi Sulawesi dan kemudian diangkat menjadi Kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten Parepare pada tahun 1954.

4. Pengalaman menjadi tahanan DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar selama 8 tahun sangat membekas dalam benak Anregurutta

Kahar Muzakkar, tokoh pejuang saat masa Revolusi Kemerdekaan yang kemudian masuk ke gerakan DI/TII. (Wikimedia Commons)

Dinamika kembali terjadi dalam hidup Ambo Dalle. Pada tanggal 18 Juli 1955, Abdullah Giling, sopir merangkap sekretaris Anreurutta, mengalami insiden ketika mobilnya dicegat oleh sekelompok orang bersenjata lengkap di Desa Belang-Belang, Kab. Maros. Mereka berasal dari kelompok separatis DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar. Dia kemudian dibawa masuk ke hutan dan bergabung dengan gerilyawan DI/TII.

Di dalam hutan, dia menyadari kesempatan untuk kembali ke kota sangat kecil. Maka, ia memutuskan untuk melanjutkan misi pendidikan Islam dan mengajarkan paham Ahlusunnah Wal Jamaah pada anggota DI/TII dan keluarganya di sana selama delapan tahun. Tapi, perselisihan kerap muncul lantaran Kahar Muzakkar dan anak buahnya menganut paham Wahabi.

Keadaan berubah pada pada tahun 1963, seiring Operasi Kilat TNI makin melemahkan posisi gerilyawan DI/TII. Tanpa pengawalan yang ketat, Ambo Dalle berhasil mencari kontak dengan TNI dan dibawa keluar dari hutan oleh unit pimpinan Andi Patonangi. Anregurutta kemudian bertemu Panglima Kodam XIV Hasanuddin saat itu, Kolonel M. Jusuf.

Pengalaman 8 tahun di hutan membawa banyak pelajaran untuknya. Saat terjadi pemberontakan G30S, dia tetap kukuh dengan prinsip dan keyakinan sekaligus mengingatkan santrinya untuk berpegang teguh pada akidah Islam yang benar.

Baca Juga: Pendiri NU KH Abdul Chalim Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional

Berita Terkini Lainnya