Menggali Mozaik Kebudayaan Lokal Bumi Anoa di Museum Provinsi Sultra

Beragam koleksi dengan riwayat yang tak kalah menariknya

Kendari, IDN Times - Kota Kendari sedang diguyur gerimis saat saya tiba di gerbang Museum Provinsi Sulawesi Tenggara, Kamis pagi (9/9/2021). Terlihat tak ada aktivitas lantaran pintu masuk Gedung Pameran Tetap sudah digembok. Setelah bertanya pada pegawai yang sedang ngobrol dengan sejawatnya di depan kantor, mereka kemudian memanggil sang kurator lewat WhatsApp.

Agung Kurniawan, 36 tahun, datang beberapa menit kemudian dengan membawa kunci gembok. "Memang seperti ini. Kita baru buka kalau ada pengunjung yang datang," ujarnya ketika mengantar saya masuk ke Gedung Pameran Tetap.

Nuansa megah yang tampak dari luar juga ada di bagian dalam. Tepat di belakang meja penerima pengunjung terdapat tangga menuju lantai dua. Di dinding dekat tangga berjejer lambang 17 kabupaten/kota di Sulawesi Tenggara, plus lambang provinsi penghasil nikel itu yang sudah mahsyur dengan gambar kepala Anoa-nya.

1. Ruang Geologia memamerkan beberapa batuan mineral yang ditemukan di Sulawesi Tenggara

Menggali Mozaik Kebudayaan Lokal Bumi Anoa di Museum Provinsi SultraIsi Ruang Geologika yang berada di dalam Gedung Pameran Tetap Museum Provinsi Sulawesi Tenggara. (IDN Times/Achmad Hidayat Alsair)

Di dalam Gedung Pameran Tetap Museum Provinsi Sulawesi Tenggara terdapat 724 item yang dipamerkan dalam etalase kaca. Semuanya adalah mozaik perkembangan budaya Bumi Anoa, flora-fauna, teknologi, hasil bumi, hingga perjuangan mereka melawan penjajah. Semuanya terbagi dalam 10 ruangan.

Ruangan pertama yang saya kunjungi adalah Galeri Geologika, berisi jejak kekayaan mineral Sultra. Mulai dari aspal di Pulau Buton hingga nikel milik Pomalaa, dua jenis tambang yang menarik minat para investor asing sejak Orde Baru. Beberapa bongkahan batu dari masing-masing jenis juga dipamerkan.

"Aspal dan nikel jadi dua jenis yang paling dikenal. Makanya mereka memiliki etalase sendiri yang menjelaskan seluruh tahap pengolahannya," ujar Agung saat menjelaskan.

"Tapi selain itu ada juga pasir silika dan batu kapur yang terdapat di Pulau Muna," sambungnya.

Ruang kedua adalah Biologika, yang berisi hewan-hewan endemik khas Sultra, termasuk Anoa yang sudah jadi ciri khas. Semuanya adalah binatang awetan yang rutin dirawat.

"Tapi flora dan fauna laut Sultra juga tidak kalah menariknya. Seperti kepiting kerapu dan bambu laut yang banyak ditemui oleh nelayan di wilayah pesisir," kata Agung.

2. Di Ruang Arkeologi terdapat peti mati Soronga yang berusia lebih dari 400 tahun dan ditemukan di Kolaka Utara

Menggali Mozaik Kebudayaan Lokal Bumi Anoa di Museum Provinsi SultraPeti mati Soronga yang berada di Ruang Arkeologi milik Gedung Pameran Tetap Museum Provinsi Sulawesi Tenggara. (IDN Times/Achmad Hidayat Alsair)

Ruang Etnografi yang jadi tujuan saya selanjutnya berisi mozaik lima suku terbesar di Sultra yakni Tolaki, Buton, Muna, Moronene dan Wawonii. Mulai dari upacara memandikan bayi, tradisi mengunyah sirih oleh masyarakat kelas bawah hingga bangsawan (dengan tempat ludah sebagai penanda paling mencolok) serta perbedaan dari masing-masing pakaian adat kelima etnis tersebut

Tapi yang jadi perhatian adalah Kalosara, seperangkat benda yang jadi penanda status sosial masyarakat Tolaki. Terdiri dari Kalo (pilinan tiga utas rotan yang berbentuk lingkaran), kain putih serta Siwoleuwa atau wadah tempat Kalo yang berupa talam anyaman daun palem dengan motif menarik.

"Ukuran Kalo ini terbagi menjadi tiga, berdasarkan status sosial. Untuk masyarakat kelas bawah, ukurannya muat sampai lutut. Masyarakat kelas menengah, muat di pinggang. Sementara golongan bangsawan bisa muat di pundak," jelas Agung.

"Fungsi Kalosara ini macam-macam. Umumnya memang dipakai saat upacara pernikahan. Tapi biasa juga dibawa ketika menyelesaikan masalah antar kampung hingga peperangan," sambungnya.

Ruang ketiga yang menyimpan koleksi arkelogi juga tak kalah mempesonanya. Untuk pertama kalinya saya melihat Soronga, peti mati berusia 4 abad lebih yang ditemukan pada tahun 1981 di Gua Tonggolasi, Kecamatan Pakue, Kabupaten Kolaka Utara.

"Ini dia salah satu benda paling berharga milik kami," kata Agung. Peti mati Soronga sendiri sempat dipamerkan ke khalayak umum saat Kendari jadi tuan rumah Festival ASEAN pada tahun 2015 lalu.

"Peti ini terbuat dari kayu ulin. Ukurannya mencapai hampir 5 meter, dengan lebar 70 centimeter," imbuhnya.

Peti mati Soronga sendiri merupakan peninggalan suku Tolaki-Mekongga yang mendiami wilayah pegunungan. "Bersama peti Soronga juga ditemukan beberapa benda lain seperti uang kuno, guci dan kerangka manusia," terang Agung.

3. Mata uang Kampua milik Kerajaan Buton jadi salah satu koleksi menarik lantaran terbuat dari kain tenun

Menggali Mozaik Kebudayaan Lokal Bumi Anoa di Museum Provinsi SultraMata uang Kampua milik Kerajaan Buton yang berada di Ruang Numismatik milik Gedung Pameran Tetap Museum Provinsi Sulawesi Tenggara. (IDN Times/Achmad Hidayat Alsair)

Masih di Ruang Arkeologi, terdapat koleksi perkakas batu manusia purba, gerabah berusia ribuan tahun dan beberapa tengkorak replika manusia purba yang ditemukan di Jawa. Saat saya bertanya tentang apakah ada situs kerangka manusia prasejarah di Sultra, Agung mengakui sejauh ini masih belum ada.

"Tapi di Sultra terdapat gua prasejarah berisi lukisan tangan, binatang hingga pepohonan. Mirip lah dengan Leang-Leang di Kabupaten Maros (Sulawesi Selatan)," jelasnya.

"Gua tersebut berada di Desa Liang Kabori, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna. Diperkirakan usia lukisan di gua tersebut mencapai 4 ribu tahun," sambung Agung.

Ruang kelima adalah Historika, berisi foto-foto pergerakan nasional Indonesia, mulai dari ketika organisasi Boedi Oetomo lahir tahun 1908 hingga masa Reformasi 1998. Tak lupa, turut pula potret dan lukisan delapan Gubernur Sultra sejak J. Wayong di tahun 1961 hingga Ali Mazi kini.

Dalam Ruang Historika juga terdapat pistol, meriam dan pelindung kepala milik tentara Portugis. Menurut Agung, semuanya digunakan rakyat Kolaka saat mulai memberontak melawan pendudukan Belanda di awal 1900-an.

Ruang keenam, yakni Numismatik, berisi koleksi uang kuno yang ditemukan di Sultra. Salah satunya uang Kampua peninggalan Kerajaan Buton dari abad ke-14.

Bentuknya sendiri berupa kain yang ditenun langsung oleh putri Ratu Buton kedua, Bulawambona. Menurut Agung, uang Kampua diciptakan setelah sang ratu menerima banyak laporan tentang proses barter yang cenderung merugikan salah satu pihak.

"Semakin banyak garis di kain ini, maka nominalnya semakin mahal saat itu," terang Agung.

Selain itu turut pula uang koin milik Majapahit dan Gowa-Tallo yang ditemukan di beberapa wilayah Sultra. Mata uang "asing" tersebut jadi bukti bahwa ada hubungan dagang yang sudah dijalin oleh kerajaan-kerajaan Sultra sejak masa lampau.

4. Ruang Filologi menyimpan banyak jejak Islam di Tanah Wolio, salah satunya Al-Qur'an bertulis tangan peninggalan Kerajaan Raha

Menggali Mozaik Kebudayaan Lokal Bumi Anoa di Museum Provinsi SultraKitab Al-Qur'an kuno peninggalan Kerajaan Raha yang berada di Ruang Filologi milik Gedung Pameran Tetap Museum Provinsi Sulawesi Tenggara. (IDN Times/Achmad Hidayat Alsair)

Masih di Ruang Numismatik, Agung membawa saya ke sebuah etalase uang kertas dari dekade 1950-an. Desainnya sama dengan uang-uang di etalase kaca di sebelahnya, sampai saya sadar ada perbedaan mencolok: terdapat cap hitam bertulis "Negara Islam Indonesia" (NII) yang dicap pemberontak oleh pemerintahan Soekarno.

Uang kertas dengan nominal Rp1 hingga Rp100 itu juga dibubuhkan sebuah tanda tangan. "Itu tanda tangan pemimpin DI/TII Sulsel, Kahar Muzakkar," ujar Agung.

"Dulu DI/TIII menguasai seluruh wilayah Sultra, mulai dari Kolaka Utara hingga Kendari. Kecuali wilayah kepulauan seperti Buton dan Muna," sambungnya.

Menurut Agung, masyarakat harus memakai uang dengan cap NII dan yang dibubuhkan tanda tangan Kahar Muzakkar. "Jika kedapatan pakai uang lain, orang bisa langsung dihukum oleh polisi syariat mereka," jelas Agung.

Masuk ruang ketujuh, Filologi, terdapat banyak naskah kuno yang terkumpul. Termasuk Al-Quran bertulis tangan yang diklaim berasal dari abad ke-15.

"Ini disebut sebagai peninggalan Raja Muna pertama yang memeluk Islam, yakni Sugi Manuru," kata Agung.

Selain itu ada juga naskah Khutbah Jum'at dalam bahasa Arab yang dimiliki oleh Masjid Agung Buton. Ada juga naskah amarana dan bilangari yang jadi bukti usaha literasi masyarakat Sultra tempo dulu.

Masuk ke ruang delapan, Keramik, terdapat puluhan guci dan piring yang dipamerkan. Ada yang berasal dari China, Eropa dan buatan lokal. Bebeberapa bahkan berasa dari abad ke-12 (Dinasti Tang) dan ke-14 (Dinasti Yuan). Termasuk di antaranya botol minum unik peninggalan Belanda yang sekilas mengingatkan saya pada bentuk tumbler kekinian.

Baca Juga: 7 Museum Unik di Indonesia, dari Museum Fisik hingga Museum Virtual

5. Dulu, pesta rakyat dan tari Lulo tak lengkap tanpa alat-alat musik tradisional yang dipamerkan di Ruang Kesenian Tradisional

Menggali Mozaik Kebudayaan Lokal Bumi Anoa di Museum Provinsi SultraBeberapa alat musik tradisional yang berada di Ruang Kesenian Tradisional milik Gedung Pameran Tetap Museum Provinsi Sulawesi Tenggara. (IDN Times/Achmad Hidayat Alsair)

Ruang kesembilan sendiri berisi kesenian tradisional masyarakat Sultra. Seperti alat musik pengiring tarian Lulo yang jadi sarana muda-mudi bersosialisasi. Mulai dari Lado-lado (alat musik petik), Kanda Wuta (berbahan baku kayu, tanah liat, rotan dan pelepah sagu), Dimba Nggowuna (gendang bambu), Ore-ore Nggae (gendang mini yang dipetik) serta Ore-ore Mbondu (alat musik tiup).

Selain itu ada juga permainan tradisional seperti metinggo (engrang) dari batok kelapa atau kayu, mebaguli (seperti congklak tapi dari biji kemiri), mehule (gasing), mebele (permainan cungkil dan pukul tanah dengan alat dari pelepah sagu) dan lain-lain.

Lalu Teknologi sebagai ruang terakhir memamerkan perkembangan teknologi dari waktu ke waktu. Ada yang berupa alat tradisional seperti alat pengolahan pandai besi, penumbuk padi dan pengolahan sagu.

Lalu dari beberapa dekade awal abad ke-20 seperti alat ukur teodolit, mesin telegram, mesin cetak surat kabar hingga radio.

"Semuanya dulu digunakan oleh kantor milik Hindia-Belanda di Kendari pada tahun 1930-an sebelum akhirnya kami peroleh," jelas Agung.

Hingga selesai tur, tampaknya cuma saya yang jadi pengunjung hari itu. Agung mengaku terakhir mengantar pengunjung berkeliling yakni pada akhir pekan sebelumnya.

"Selama ini kami memang menerima kunjungan dari mahasiswa yang akan penelitian atau siswa sekolah," katanya.

"Tapi selama pandemik, jumlah rombongan dibatasi cuma 10 orang," imbuh Agung.

Dengan status PPKM Kendari sudah turun ke level tiga, saya bertanya kemungkinan museum yang berada tak jauh dari landmark Menara Persatuan Kendari menerapkan pemindaian aplikasi PeduliLindungi seperti anjuran pemerintah pusat.

"Kami tentu akan menyambut baik penerapannya. Ini juga demi keamanan bersama, baik kami selaku pegawai dan pengunjung. Tapi kami sejauh ini belum menerima instruksi langsung dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara yang membawahi kami," ungkap Agung sembari mengantar saya keluar dari Gedung Pameran Tetap.

Baca Juga: Aduh! 900 Koleksi Museum di Kendari Dicuri, Termasuk Pedang Samurai

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya