Mengapa Gempa Besar Sering Terjadi Akhir-akhir Ini?

Kita hidup di kawasan Ring of Fire. Apa artinya?

Makassar, IDN Times - Gempa berkekuatan 6, 9 Skala Richter (SR) mengguncang Banten pada Jumat (2/8) dan berpotensi tsunami. Namun, pada Jumat malam, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengakhiri peringatan tsunami itu. 

Tak sampai sebulan lalu, sebuah gempa besar juga mengguncang Labuha, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara. Gempa berkekuatan 7,2 SR itu terjadi pada Minggu 14 Juli 2019.

Ratusan rumah warga rata dengan tanah, lebih dari 50 ribu warga terpaksa mengungsi, sedang korban jiwa yang jatuh --saat gempa dan ketika di pengungsian-- menurut pemerintah setempat per 22 Juli telah mencapai 10 orang.

Kemudian Selasa 16 Juli 2019, giliran Bali yang diguncang gempa bermagnitudo 6 SR. Kendati tanpa korban jiwa, sejumlah penduduk Pulau Dewata mengalami cedera. Melihat berita tersebut, tentu terbersit pertanyaan: kenapa gempa bumi dengan kekuatan besar terjadi dalam tempo waktu berdekatan?

Belum lagi menyoal rilisan BMKG perihal potensi --sekali lagi, potensi-- gempa 8,8 di pesisir selatan Jawa yang disebut sebagai gempa di zona megathrust.

Mungkin, kamu bertanya-tanya di dalam hati. Mengapa gempa besar akhir-akhir ini sering terjadi? Nah, berikut ini IDN Times menyajikan sejumlah pendapat pakar yang bisa membantu kamu memahami kegempaan.

Baca Juga: Ada Ancaman Gempa Dahsyat Megathrust, Siapkah Indonesia?

1. Tidak ada yang bisa memprediksi kapan dan di mana gempa akan terjadi

Mengapa Gempa Besar Sering Terjadi Akhir-akhir Ini?ANTARA FOTO/Fikri Yusuf

Sebelum membahas soal ini, harus kamu camkan  beberapa hal. Pertama, belum ada teknologi dan metode apapun yang bisa memprediksi secara tepat dan akurat, kapan gempa bumi terjadi. Kedua, jumlah korban tidak cuma ditentukan dari seberapa kuat gempanya, tetapi juga tergantung berapa banyak penduduk di sekitar pusat gempa, sistem peringatan, dan jenis bangunan yang mereka tinggali.

Berangkat dari dua variabel tersebut, sepasang ahli geofisika asal Amerika Serikat, yakni Rebecca Bendick dan Roger Bilham, langsung bergerak mengumpulkan data kegempaan di seluruh dunia yang terjadi sepanjang 117 tahun (1900-2017).

Seperti banyak peneliti sebelumnya, mereka berhadapan dengan fakta distribusi acak gempa bumi dari waktu ke waktu. Namun kali ini, mereka coba merangkai kepingan-kepingan tersebut menjadi sebuah pola lewat apa yang disebut sebagai 'interval pembaruan'.

Baca Juga: Gempa Beruntun dan Air Laut Surut Pertanda Besar Tsunami!

2. Sebuah pola ditemukan oleh duo peneliti asal Amerika Serikat, Rebecca Bendick dan Roger Bilham

Mengapa Gempa Besar Sering Terjadi Akhir-akhir Ini?ANTARA FOTO/Izaac Mulyawan

"Kami punya gagasan jika mungkin gempa bumi bekerja seperti neuron atau baterai. Artinya bahwa gempa butuh waktu dalam jumlah tertentu untuk mengisi ulang daya. Kalau proses pengisian daya dalam sebuah jangka waktu ini gagal, gempa berpotensi gagal terjadi," ujar Bendick, seorang peneliti yang bekerja di University of Montana, kepada Popular Science pada November 2017.

Singkat cerita, mereka menjabarkan hasil penelitian tersebut dalam makalah berjudul "Do Weak Global Stresses Synchronize Earthquakes?" terbitan Research Letter pada Agustus 2017. Secara singkat, dijelaskan bahwa gempa bumi dengan kekuatan lebih dari 7,0 skala Moment Magnitude punya waktu interval pembaruan antara 20 sampai 70 tahun.

Dengan kata lain, gempa dengan kategori demikian cenderung mengguncang setiap 32 tahun (perhitungan kasar), dengan jumlah peristiwa per tahun mencapai rata-rata 20 kali. Bukannya 7 hingga 8 kali seperti yang terpatri dalam benak khalayak umum.

3. "Interval pembaruan" mencuat dari data dan statistik yang dikumpulkan

Mengapa Gempa Besar Sering Terjadi Akhir-akhir Ini?ANTARA FOTO/Fikri Yusuf

Namun, mengatakan jika penduduk bumi bakal apes setiap 32 tahun sekali juga sebuah kekeliruan, sebuah klaim sensasional yang sudah terlanjur dijual banyak media massa. "Tidak tepat mengatakan bahwa pola buruk terjadi setiap 32 tahun. Jika yang demikian benar terjadi, maka orang tentu saja sudah menemukan pola tersebut berabad-abad lalu kemudian mencatatnya," tandas Bendick kepada The Washington Post, November 2017.

Dijelaskan bahwa interval pembaruan ini mengemuka lantaran terjadi lebih sering dan menjadi temuan mencolok dalam statistik yang disusun, ketimbang rentetan gempa acak. Namun tetap saja temuan tersebut tak memberi informasi baru yang membantu para ilmuwan tuntaskan rasa penasaran tentang upaya menebak kapan gempa terjadi. "Kami adalah ilmuwan, bukan ahli nujum," seloroh Bendick.

Baca Juga: Gempa M 7.1 di Malut-Sulut, BMKG Keluarkan Peringatan Dini Tsunami

4. Perlambatan rotasi bumi sebagai salah satu pemicu gempa besar sudah lama diketahui

Mengapa Gempa Besar Sering Terjadi Akhir-akhir Ini?larevista.com.mx

Untuk menunjang temuannya, Bendick dan Bilham menganalisis bermacam fenomena alam di dalam mantel bumi hingga perubahan sirkulasi laut. Dan yang paling cocok --dan sempat membuat media massa berlomba-lomba memasang judul sensasional-- yakni perubahan kecil kecepatan rotasi Bumi yang terjadi 32 tahun.

Dan inipun bukan sebuah barang baru. Dua ilmuwan geofisika asal Rusia, Boris Levin dan Elena Sosorova, lebih dulu mempublikasikannya pada tahun 2013 silam. Makalah tersebut jadi salah satu pijakan Bendick - Bilham dalam menyusun penelitian.

Pada pertemuan Geological Society of America pada Oktober 2017, Bendick-Bilham menyampaikan presentasi bertajuk "A Five Year Forecast for Increased Global Seismic Hazard". Dikatakan bahwa batuan bumi jadi tempat merambatnya perlambatan rotasi selama beberapa saat.

5. Kawasan Ring of Fire jadi pusat mayoritas aktivitas kegempaan

Mengapa Gempa Besar Sering Terjadi Akhir-akhir Ini?Wikimedia.org/Gringer

Dalam presentasi tersebut, Bendick dan Bilham mengatakan bahwa perlambatan rotasi butuh waktu beberapa saat sebelum merambat melalui batuan Bumi. Setelah perlambatan kecil terjadi, ada jeda 5-6 tahun sebelum wilayah yang terletak di 10-30 derajat lintang Utara dan Selatan (kawasan Ring of Fire, termasuk Indonesia) terjadi peningkatan 30 persen kejadian gempa bumi dengan kekuatan lebih dari 7 skala Moment Magnitude.

Penjelasan lebih mudahnya seperti ini. Laju rotasi bumi yang berubah adalah pemicu pergeseran. Saat planet ini berotasi, massa bumi terpusat di sekitar khatulistiwa, layaknya rok penari salsa ketika sedang berputar mengikuti irama musik.

Ketika melambat, massa bergeser ke arah kutub. Efeknya kecil, hanya hitungan milimeter. Namun bayangkan jika sejumlah energi massa tersebut akhinya terakumulasi. Terciptalah gempa bumi besar. 

Bendick dan Bilham menyebut jika 2017 adalah tahun keenam alias rangkai penutup siklus perlambatan Bumi yang terakhir kali terjadi tahun 2011. Nah, 2018 (menurut probabilitas) adalah tahun meningkatnya gempa dengan kekuatan lebih dari 7,0 skala Moment Magnitude.

Indonesia merupakan salah satu negara yang wilayahnya membentang di Ring of Fire atau Cincin Api Pasifik. Artinya, kita hidup di daerah yang sering mengalami gempa bumi dan letusan gunung berapi. 

Ring of Fire membentang dan membentuk kurva seperti tapal kuda dan mencakup wilayah sepanjang 40.000 kilometer (km). Daerah ini juga sering disebut sebagai sabuk gempa Pasifik.

Mau tidak mau, siap tidak siap, hidup kita memang bersampingan dengan bencana gempa bumi dan gunung meletus. Bayangkan saja, berdasarkan data earthquake.usgs.gov,  dari seluruh gempa di dunia,  90 persen diantaranya terjadi di kawasan Ring of Fire. 

6. Dengan probabilitas, masyarakat bisa lebih waspada

Mengapa Gempa Besar Sering Terjadi Akhir-akhir Ini?IDN Times/Mohamad Ulil Albab

Kendati demikian, dan yang patut dicamkan, gempa yang mereka teliti terjadi di wilayah 'langganan' alias rawan gempa. Contohnya Jepang, Indonesia, Selandia Baru, dan pesisir barat Amerika Serikat. Masyarakat yang tinggal di daerah tersebut tentu sudah paham dan tahu apa yang harus dilakukan ketika gempa terjadi.

Bendick dan Bilham berulang kali menyatakan bahwa tujuan penelitiannya ialah menemukan probabilitas atau kemungkinan berdasarkan pola yang sudah ada, bukan prediksi. Namun, perlambatan rotasi Bumi tidak serta merta jadi penyebab utama gempa pada tahun berikutnya. Yang meningkat hanyalah probabilitas.

Maka, yang dilakukan BMKG dengan rilisannya pada hari Senin (22/7) bertujuan meningkatkan kewaspadaan masyarakat. Bukan menyebar ketakutan.

Nah, semoga penjelasan ini bisa membantu. Jangan panik saat gempa, ingat dan ikuti instruksi yang sudah kalian pelajari, ya.

Baca Juga: Sembilan Bulan Berlalu, Begini Potret Kota Palu Pasca Gempa & Tsunami

Topik:

  • Irwan Idris
  • Ita Lismawati F Malau

Berita Terkini Lainnya