[OPINI] Desentralisasi dan Ketimpangan Daerah Menghadapi Pandemi

Pandemi menunjukkan berbagai persoalan dan kegagapan kita

Pandemi sejatinya hendak menguji peradaban kita. Lebih tepatnya, menguji kapasitas dan kapabilitas pemerintah dengan kewenangan yang dimilikinya. Pandemi COVID-19 yang mulai menyebar di Indonesia pada awal tahun 2020, mengharuskan pemerintah untuk membuat kebijakan-kebijakan baru sebagai langkah pencegahan, serta penanggulangan wabah ini. Pemerintah didorong untuk bertindak cepat dan efektif dalam penanggulangan pandemi. Agar penyelenggaraan pemerintahan dapat lebih berdaya guna dan melindungi masyarakat dari dampak pandemi yang berkepanjangan, pemerintah diharapkan dapat memaksimalkan konsep desentralisasi.

Era desentralisasi memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pelayanan publik, khususnya di bidang kesehatan di era pandemi COVID-19 di seluruh wilayah Indonesia yang membutuhkan respons cepat. Beberapa kepala daerah telah melakukan inisiatif lebih dulu untuk mengantisipasi terjadinya persebaran virus yang semakin meluas, misalnya dengan penerapan kebijakan karantina wilayah (lockdown) dan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB. Berbagai upaya telah berhasil namun juga di berbagai daerah lain masih menampakkan kesenjangan kapasitas pemerintah daerah dalam menghadapi pandemi ini.

Pandangan bias dan kegagapan pandemi

[OPINI] Desentralisasi dan Ketimpangan Daerah Menghadapi PandemiRatusan desa di Kabupaten Gowa terapkan PSBK. IDN Times/Pemkab Gowa

Salah satu bias yang cenderung berbahaya di situasi pandemi ini adalah pandangan umum di masyarakat, yang melihat bahwa pandemi COVID-19 adalah urusan pemerintah pusat dan tidak berlaku di daerah. Pandemi, dengan segala bentuk dampaknya serta upaya pencegahannya melalui protokol kesehatan dan kebijakan, mulai dari PSBB hingga PPKM berjilid-jilid hari ini adalah urusan kota-kota besar, di ruang dengan mobilitas dan aktivitas ekonomi yang tinggi. 

Faktanya kini, penyebaran COVID-19 telah terjadi bahkan di berbagai pelosok desa. Berita tentang kematian serasa menjadi semakin dekat dengan berbagai orang. Sayangnya, berbagai temuan dan penelitian yang menujukkan tingginya angka penyebaran dan kematian yang tidak terlaporkan di masa pandemi ini, menjadi hal yang sulit untuk diterima secara objektif. Sementara kapasitas layanan kesehatan di Indonesia sudah sejak lama mengalami ketimpangan, baik di pulau Jawa dan luar pulau Jawa, hingga di level kota dan desa menujukkan situasi yang kritis.

Tingginya rata-rata angka kematian yang terjadi pada gelombang kedua yang didominasi oleh lansia ini, menujukkan persoalan yang tersembunyi. Seperti terbatasnya informasi dan akses layanan kesehatan yang memadai. Belum lagi kita bicara tentang angka kematian pada kelompok anak-anak dan balita, juga adalah persoalan serius yang perlu diperhatikan. Kita kemudian mengalami kegagapan menghadapi pandemik dan hanya berharap semuanya segera selesai.

Sejak awal, kita cenderung abai untuk melihat bahwa urusan pandemik yang terus berlarut adalah persoalan mobilitas dan transmisi di berbagai ruang aktivitas sosial kita dan lemahnya kapasitas testing, tracing, dan treatment dalam upaya memotong rantai penyebaran COVID-19. Hal ini semakin bermasalah dengan keengganan pemerintah untuk menyatakan diri melindungi sepenuhnya masyarakat yang terdampak melalui Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan. Perdebatan panjang tentang upaya pemulihan ekonomi dan keselamatan masyarakat, akhirnya tidak akan berujung baik jika tidak dibarengi dengan kebijakan yang efektif dan melindungi masyarakat di berbagai level.

Ketimpangan kapasitas daerah

[OPINI] Desentralisasi dan Ketimpangan Daerah Menghadapi PandemiPresiden Joko Widodo (kanan) berbincang dengan sejumlah guru yang akan mengikuti vaksinasi didampingi Wali Kota Makassar Danny Pomanto (ketiga kiri) di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (18/3/2021). (ANTARA FOTO/Abriawan Abhe)

Tugas pemerintah daerah hari ini ialah memastikan kebijakan dan tindakan yang efektif untuk mencegah kematian dan memastikan ditekannya angka kasus aktif. Meski demikian, di berbagai wilayah menunjukkan situasi yang kompleks. Berbagai situasi seperti sulitnya kepala daerah mencairkan anggaran penanganan COVID-19 padahal dana yang digelontorkan pemerintah pusat ke daerah terbilang besar. Selain itu, masalah keterbatasan sumber daya manusia, keterbatasan infrastruktur seperti laboratorium dan layanan kesehatan dasar, masih terus kita temui. Pada titik ini, kita harus akui dan berupaya memperbaiki ketimpangan kapasitas di daerah dalam menghadapi pandemi.

Meski berbagai kebijakan di level pemerintah pusat telah dikeluarkan, fakta di lapangan sering kali menunjukkan sesuatu yang bermasalah. Kebijakan pemerintah daerah kerap kali dinilai tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat. Inisiatif yang dilakukan kepala daerah justru dianulir oleh pemerintah pusat karena dianggap telah melangkahi kewenangan pusat. Padahal menurut UU Pemerintahan Daerah (UU No. 23/2014), daerah-daerah memiliki tanggung jawab dalam memberikan pelayanan dasar, khususnya dalam meningkatkan pelayanan kesehatan. 

Urusan yang menjadi kewenangan daerah sangat jelas diatur dalam UU ini di mana pemerintah pusat memiliki kewenangan dalam enam urusan yaitu politik luar negeri; pertahanan; keamanan; yustisi; moneter dan fiskal nasional; dan agama. Selain keenam urusan tersebut, tentu menjadi kewenangan pemerintah daerah. Tugas pemerintah pusat adalah memperkuat kapasitas pemerintah daerah sembari memastikan lahirnya kebijakan yang berbasis daerah yang bisa menjawab persoalan secara lebih komprehensif.

Setiap pemerintah daerah diharapkan dapat bekerja sama dengan berbagai elemen masyarakat dan pemerintah dalam bertukar informasi mengenai perkembangan penyebaran virus dan upaya pemulihan yang harus dilakukan. Di Sulawesi Selatan, respons dan upaya pemulihan pandemi juga telah dilakukan oleh berbagai pemerintah daerah. Berbagai kebijakan dan forum juga telah dibentuk guna memfasilitasi agenda tersebut. Kini, setahun lebih pandemik ini berlangsung di Indonesia. Kita bisa melihat dan mempelajari bagaimana upaya dan implikasi kebijakan yang telah diambil idealnya tidak lagi memunculkan kebingungan di masyarakat.

Jebakan beragam inovasi gimmick

[OPINI] Desentralisasi dan Ketimpangan Daerah Menghadapi PandemiWakil Wali Kota Makassar Fatmawati Rusdi saat peluncuran Makassar Recover di Jalan Amirullah Makassar, Senin (8/3/2021). Humas Pemkot Makassar

Tantangan lain yang sering kali luput untuk kita atasi adalah hadirnya beragam inovasi gimmick (gimik) yang sering kali tidak berbasis data, memunculkan keunikan tapi minim manfaat. Hal ini menjadi tantangan karena di tengah upaya kita untuk berkejaran melawan penyebaran virus yang semakin luas dan terus bermutasi, idealnya kebijakan dan inovasi yang lahir harus mampu membuktikan bahwa hal tersebut terlepas dari kepentingan popularitas, apalagi kepentingan politik semata.

Di berbagai daerah, inovasi diklaim hadir hingga di level desa. Kebijakan yang kemudian kental dengan unsur jargon, kebudayaan lokal, serta berbasis kapasitas dan upaya komunitas yang khas dengan nilai-nilai kolektifnya, diharapkan bisa menjadi harapan dalam penanganan pandemi COVID-19 ini. Lebih jauh, perspektif kesehatan masyarakat idealnya semakin dapat ruang untuk memandu lahirnya kebijakan yang efektif serta mempertegas kembali komitmen pemerintah untuk menjalankan agenda pemulihan dampak pandemi COVID-19 bagi masyarakat.

Penulis: Muh. Asy’ari

Staf Pengajar Prodi Hubungan Internasional di Universitas Bosowa

Baca Juga: [OPINI] Menyemai HAM di Indonesia, Memetik Kebanggaan di Dunia 

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya