Mungkinkah Reforma Agraria di Hutan Lindung dan Konservasi?

Aturan soal pengusulan semestinya bisa lebih fleksibel

Penulis:

Andi Fadli, S.Sos.,M.Pd, Dosen UIN Alauddin dan Penggiat Sajogyo

Pemerintah sudah menerbitkan sejumlah peraturan untuk mendukung Reforma Agraria (RA) di sektor kehutanan. Namun pelaksanaannya tak semudah membuat aturan, terutama atas penguasaan tanah oleh rakyat di kawasan hutan lindung dan konservasi.

Butuh proses yang rumit untuk pelepasan kawasan hutan lindung. Sedangkan untuk hutan konservasi, tidak ada jalan pelepasan lahan selain resettlement. Kebijakan pemerintah tidak memungkinkan warga menggugat status lahan yang mereka kuasai dalam kawasan hutan konservasi. Padahal, kondisi ekologis maupun konflik sosial patut dijadikan landasan penyelesaian.

Peneliti Sajogyo Institute, Kasmiati, mengangkat kasus pengusulan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dari kawasan hutan di Desa Balumpewa, Kecamatan Dolo Barat, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Lewat naskah kebijakannya yang diterbitkan Mei 2021, dia mengusulkan revisi atas sejumlah kebijakan terkait pelaksanaan kebijakan RA kehutanan.

Setidaknya ada dua regulasi yang dia soroti. Yang pertama, Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 mengenai Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan. Lalu Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 33 Tahun 2018 tentang Pedoman Tim Inventarisasi dan Verifikasi Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan.

Idealnya, revisi bisa membahas kembali dan memungkinkan beragam pilihan selain resettlement untuk hutan konservasi maupun hutan lindung. Baik itu yang digunakan untuk Fasos, Fasum, maupun pemukiman. Peraturan semestinya bisa lebih fleksibel untuk menjawab beragamnya kondisi sosio-ekologis dan tenurial pada penguasaan tanah di dalam kawasan hutan lindung dan konservasi di Nusantara.

Pengusulan objek Reforma Agraria sering menemui jalan buntu

Mungkinkah Reforma Agraria di Hutan Lindung dan Konservasi?Pemukiman di kawasan hutan. (Dok. Pribadi)

Pemerintah mulai menyusun kembali kebijakan Reforma Agraria pada pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Pada masa pemerintahan Jokowi kebijakan RA masuk sebagai program prioritas nasional.

Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria yang memasukkan kawasan hutan sebagai salah satu jenis objek RA. Menurut Perpres itu, total 8 juta hektar tanah ditargetkan masuk agenda RA. Sebanyak 4,1 juta hektar diharapkan berasal dari pelepasan kawasan hutan.

Masalahnya, tidak disebutkan secara detail lokasi kawasan hutan mana yang akan dilepaskan. Masyarakat diharapkan aktif mengajukan pelepasan kawasan hutan. Namun pelaksanannya ternyata sulit. Misalnya, perlunya mekanisme verifikasi atas kawasan hutan yang sudah didiami dan digarap sejak lama, dengan jenis dan fungsi kawasan huatn sesuai penetapan pemerintah. Pengajuan dari warga pun banyak yang berguguran.

Tidak heran jika capaian target RA dari kawasan hutan masih sangat rendah. Hingga Desember 2020, baru sekitar 361.803 bidang yang disertifikatkan dengan luas 204.565 hektar. Jumlah itu setara 4,98 persen dari target nasional RA kawasan hutan.

Baca Juga: Filosofi dan Keseriusan Suku Baduy dalam Menjaga Hutan 

Negaraisasi membuat warga desa kehilangan akses pada tanah leluhurnya

Mungkinkah Reforma Agraria di Hutan Lindung dan Konservasi?Ilustrasi petani di desa mengelola hasil kebun. (Dok. Istimewa)

Desa Balumpewa bisa ditempuh dengan berkendara 40 menit lewat jalur kanan dari Kota Palu, ibu kota Sulawesi Tengah. Desa ini terdiri dari empat dusun, yakni Boya Ntongo, Tanah Pobunti, Ngata Papu, dan Wilao. Daerah ini konon sudah didiami jauh sebelum gereja setempat hadir sejak tahun 1900.

Lanskap Desa Balumpewa sebagian wilayah dataran tinggi dan sebagian lagi kategori pegunungan. Masyarakatnya homogen, yakni orang Kaili dengan sub etnis Inde (Topo Inde), yang hampir seratus persen menganut agama Kristen Bala Keselamatan. Penduduknya 684 jiwa, lebih 50 persen lulusan Sekolah Dasar (SD).

Pekerjaan utama warga Desa Balumpewa adalah bertani. Makanya tanah punya arti penting bagi masyarakat setempat, yang dinyatakan sebagai tampa mangelo katuvaa (tempat mencari hidup). Kehilangan tanah berarti hilangnya sumber hidup itu sendiri.

Namun puluhan tahun belakangan komunites Topo Inde di sana terancam kehilangan akses pada tanah leluhurnya sebab klaim sepihak atas nama negara. Yang berarti mereka bisa kehilangan akses atas penghidupannya. Itu karena tanah-tanah yang mereka garap selama ini tiba-tiba masuk dalam penguasaan negara yang disebut sebagai kawasan hutan lindung dan konservasi.

Proses negaraisasi berawal dari Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian Nomor: 843/Kpts/Um/11/1980 tanggal 25 November 1980 tentang pembentukan Taman Wisata Alam (TWA) Wera seluas 250 hektar. Dari sana kemudian lahir berbagai peraturan berikutnya yang turut mencaplok ruang hidup warga Desa Balumpewa. Selain menjadi hutan konservasi atau TWA, sebagian wilayah Desa Balumpewa juga menjadi hutan lindung melalui SK Menteri Kehutanan No.869/Menhut-II/2014. Kini, sekitar 2.050,53 hektar (91,06%) wilayah Desa Balumpewa menjadi kawasan hutan dengan fungsi lindung dan konservasi.

Warga Desa Balumpewa menganggap tanah leluhur yang mayoritas berada di dalam kawasan hutan bisa digarap untuk bertani. Namun itu bertentangan dengan aturan pemerintah sehingga menimbulkan masalah sosial-ekologis yang kompleks. Sebuah situasi yang rentan, yang menimbulkan ketegangan antara negara dan warga menguat serta membuka konflik.

Jalan Buntu pengusulan kawasan hutan sebagai Tanah Objek Reforma Agraria

Mungkinkah Reforma Agraria di Hutan Lindung dan Konservasi?Ilustrasi hutan (ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan)

Pemerintah Kabupaten Sigi mencanangkan pelaksanaan Reforma Agraria (RA) sejak tahun tahun 2017. Saat itu Bupati membentuk tim pelaksana, yaitu Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA). Mereka yang mengajukan kepada pemerintah pusat untuk melakukan RA atas objek tanah seluas 168.870 hektar, termasuk kawasan hutan Desa Balumpewa.

Dalam prosesnya, usulan pelepasan tanah menemui hambatan berlapis. Sebab Perpres 88/2017 mengatur sejumlah mekanisme penapisan. Dimulai dari memastikan bahwa provinsi atau pulau yang mengajukan TORA dari kawasan hutan masih mempunyai total luas kawasan hutan sama dengan atau lebih dari 30% total luas wilayah di provinsi atau pulau tersebut. Untuk syarat ini Kabupaten Sigi lolos.

Kedua, perlu pemeriksaan peta apakah usulan TORA yang berada di kawasan hutan tersebut masuk dalam peta indikatif yang ditetapkan Kementerian LHK. Ketiga, fungsi atau jenis kawasan hutannya akan diverifikasi lagi, yakni apakah usulan TORA itu berada di hutan konservasi, hutan lindung atau hutan produksi. Jika hutan konservasi maka otomatis tidak bisa diproses. Jika hutan lindung, akan dicek jenis pemanfaatan tanah hutan. Jika digunakan untuk Fasum, Fasos, dan pemukiman berada di hutan lindung sebelum penunjukan hutan lindung tersebut, maka terbuka peluang dilepaskan dari status hutan negara menjadi TORA.

Berikutnya, jika jenis pemanfaatan tanah dalam hutan lindung tersebut adalah dikelola untuk aktivitas pertanian, maka akan memasuki tahapan penapisan berikutnya. Dalam tahap ini, penapisan untuk membuktikan apakah lahan garapan yang diusulkan tersebut telah dikuasai lebih dari 20 tahun secara berturut-turut atau tidak. Yang terakhir verifikasi berupa analisis lingkungan hidup meliputi kajian pengaruh pengeluaran wilayah tersebut terhadap kelestarian lingkungan hidup.

Penapisan berlapis itu membuat usulan TORA dari kawasan hutan di Sigi menemui hambatan besar. Untuk kawasan Balumpewa, usulan TORA di hutan konservasi tidak dapat diproses lebih lanjut. Sementara untuk hutan lindung, hanya sebagian usulan yang dapat diproses sebagai TORA. Sementara untuk sebagian lain memerlukan perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) terlebih dahulu sebelum dapat diproses lebih lanjut.

Proses penapisan seperti ditunjukkan di atas menyebabkan usulan TORA warga Desa Balumpewa setelah melalui verifikasi hanya menyisakan seluas 64,38 hektar yang mungkin dapat ditetapkan sebagai TORA. Apa yang terjadi di Desa Balumpewa adalah potret kecil dari kondisi yang terdapat di Kabupaten Sigi yang menunjukkan fakta ketimpangan penguasaan tanah antara negara (kawasan hutan) dan warga yang sangat lebar. Luas tanah yang mungkin dikelola oleh warga sebagai ruang hidup untuk bermukim dan bertani sangatlah kecil dibandingkan dengan luas tanah yang dialokasikan sebagai kawasan hutan untuk beragam fungsinya.

Belajar dari pengusulan TORA dari kawasan hutan di Kabupten Sigi secara umum maupun di Desa Balumpewa secara lebih khusus, maka kebijakan-kebijakan yang menjadi hambatan untuk melaksanakan agenda RA di kawasan hutan konservasi dan lindung perlu ditinjau kembali. Alternatif kebijakan yang lebih beragam selain skema resettlement perlu segera dirumuskan untuk dapat merespons kondisi faktual penguasaan tanah dalam kawasan hutan yang sangat bervariasi di berbagai wilayah Nusantara.

Urgensi Pola Penyelesaian Penguasaan Tanah di Kawasan Hutan yang Fleksibel

Mungkinkah Reforma Agraria di Hutan Lindung dan Konservasi?Ilustrasi. Polisi berjalan melintasi lokasi pembalakan liar di hutan Pegunungan Seulawah, Pemukiman Lamteuba, Kecamatan Seulimum, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Sabtu (26/9/2020). ANTARA FOTO/Ampelsa

Menurut kondisi faktual di Desa Balumpewa, Sigi, rendahnya pencapaian target pelaksanaan RA pada objek yang berasal dari kawasan hutan adalah disebabkan sistem penapisan yang rigid. Untuk hutan lindung yang digunakan untuk permukiman, fasilitas umum dan/atau fasilitas sosial, penyelesaiannya cuma resettlement. Artinya, solusi cuma satu, yaitu warga mesti meninggalkan kawasan hutan tersebut dan pelepasan kawasan hutan atau pelaksanaan RA untuk pemanfaatan tanah di luar pertanian tidak dapat dilakukan. Seperti halnya penguasaan tanah oleh rakyat di kawasan hutan konservasi.

Dalam hal ini, wargalah yang diharuskan untuk pergi meninggalkan tanah dalam kawasan hutan konservasi yang dikelolanya selama ini. Pada kawasan hutan lindung masih ada kemungkinan untuk melakukan perubahan batas kawasan hutan, yaitu jika tanah dalam kawasan hutan lindung tersebut digunakan untuk lahan garapan. Namun, hal ini dengan persyaratan bahwa lahan garapan itu telah dikuasai selama lebih dari 20 tahun secara berturut-turut.

Dalam praktiknya, mekanisme pembuktian syarat ini sangat menyulitkan warga. Di sini terlihat bahwa upaya masyarakat untuk mengusulkan pelepasan hutan lindung untuk dijadikan sebagai objek RA terlalu sulit dipenuhi. Ujung-ujungnya, persyaratan yang ketat ini lebih mencerminkan upaya pemerintah untuk mempertahankan status quo luas kawasan hutan lindung.

Agar RA di kawasan hutan benar-benar dapat dijalankan, perlu pola penyelesaian penguasaan tanah di kawasan hutan yang fleksibel dan berbasiskan kondisi faktual. Karena solusi tunggal berupa resettlement merupakan masalah sekaligus hambatan. Solusi ini bahkan sangat potensial menimbulkan konflik atau perlawanan yang lebih besar ketika warga yang telah lama mendiami atau hidup di dalam kawasan hutan konservasi dipaksa untuk pindah ke wilayah lain.

Perlu ada kebijakan yang memberi alternatif lain dalam melihat masalah penguasaan tanah di dalam kawasan hutan konservasi, misalnya dengan mempertimbangkan kondisi eksisiting dari fungsi hutan di kawasan hutan konservasi itu sendiri. Perlu juga mempertimbangan konflik yang berada di wilayah tersebut.

Menurut berbagai masalah yang telah dipaparkan, ada sejumlah maka rekomendasi kebijakan yang disarankan dan bersifat urgen untuk segera ditindaklanjuti.

Pertama, perubahan pada sisi kebijakan. Yaitu merevisi beberapa pasal terkait dengan hutan lindung dan konservasi pada Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 serta Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 33 tahun 2018. Sebab, terlalu banyak tapisan yang menjadi hambatan untuk melaksanakan RA di kawasan hutan lindung dan konservasi. Kedua regulasi ini perlu direvisi untuk memasukkan berbagai alternatif skema penyelesaian yang beragam sesuai konteks sosio-ekologis yang terjadi pada tanah di kawasan hutan lindung maupun konservasi yang diajukan sebagai TORA.

Khusus untuk kasus Desa Balumpewa di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, perlu segera dilakukan pertemuan para pihak. Yakni untuk merumuskan jalan kemungkinan yang dapat ditempuh agar warga tetap dapat mengakses tanah leluhur mereka di akwasan hutan konservasi dan hutan lindung. Seluruh wilayah perkampungan, tanah garapan dan termasuk wilayah yang menjadi ruang jelajah Topo Inde harus diakui sebagai zona tradisional komunitas ini agar warga terbebas dari segala bentuk ancaman dan rasa takut ketika mengolah tanah.

Proses penetapan zona tradisional sebaiknya partisipatif, melibatkan warga dan tokoh masyarakat. Kebijakan ini bersifat sementara, sembari mendorong percepatan revisi peraturan terkait pengusulan Reforma Agraria di kawasan hutan lindung dan konservasi.

Baca Juga: Mengungkap Krisis Lingkungan dan Hutan di Indonesia: Konflik Agraria

Topik:

  • Aan Pranata

Berita Terkini Lainnya