Soal Wacana Revisi UU ITE, LBH Makassar: Lebih Baik Dihapus Saja

LBH banyak mendampingi kasus pasal karet UU ITE

Makassar, IDN Times - Lembaga Bantuan Hukum Makassar merespons rencana pemerintah merevisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Daripada diubah, LBH menilai sebaiknya aturan itu dihapus saja.

Direktur LBH Makassar Muhammad Haedir mengatakan, sejumlah pasal yang tertuang dalam UU ITE selama ini menjadi penghalang bagi kebebasan berdemokrasi. 

"Apalagi beberapa aturan yang tidak jelas terdapat di dalamnya jadi senjata untuk membungkam orang yang banyak mengkritik, utamanya lembaga negara," kata Haedir dalam keterangan tertulisnya yang diterima IDN Times, Sabtu (20/2/2021).

Baca Juga: Menko Mahfud MD Bentuk 2 Tim Perumusan Revisi UU ITE

1. Pasal karet digunakan orang kuat untuk menjerat orang lemah

Soal Wacana Revisi UU ITE, LBH Makassar: Lebih Baik Dihapus SajaIlustrasi. Sidang gugatan praperadilan demonstran di PN Makassar. IDN Times/LBH Makassar

Menurut Haedir terdapat banyak pasal bermasalah yang bisa menjerat orang, apalagi di media sosial. Apalagi ketika kritiknya dianggap mengancam penguasa atau kalangan tertentu.

Pasal itu antara lain Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE tentang ujaran kebencian. Belum lagi pasal karet yang juga dianggap bermasalah.

"Karena sejauh ini yang kita tau, semua orang yang dilaporkan pasti menggunakan pasal karet itu. Kasus yang bersifat struktural, orang yang kuat kemudian melaporkan mereka yang lemah," kata Haedir. 

LBH Makassar sendiri mencatat hampir setiap tahun mendampingi masyarakat yang terjerat UU ITE. Dari data Sistem Informasi dan Pendokumentasian Kasus (SIMPENSUS) LBH Makassar, untuk tahun 2020 ada enam kasus penghinaan yang menggunakan UU tersebut.

2. Penerapan UU ITE bergeser dari esensi dan subtansinya

Soal Wacana Revisi UU ITE, LBH Makassar: Lebih Baik Dihapus SajaDeretan individu yang mengkritik Jokowi dan dijerat dengan pasal di UU ITE (IDN Times/Sukma Shakti)

Menurut Haedir, penerapan UU ITE telah bergeser dari esensi dan substansinya. Pada dasarnya, kata dia, UU ITE dibuat untuk mengatur masalah trasaksi elektronik atau mengatur tentang pengiriman dan penerimaan surat elektronik.

"Namanya transaksi elektronik, dia mengatur soal hubungan transaksi," katanya. 

Haedir menjelaskan, transaksi elektronik seharusnya bicara perlindungan data. Bukan masalah perasaan menyenangkan atau tidak.

"Kemudian bicara soal perlindungan konsumen yang belanja online, misalnya itu kan terkait dengan transaksi. Kecuali kalau perasaannya orang dianggap sebagi data transaksi, ya itu baru (diterapkan)," ucapnya.

3. Jokowi ingatkan polisi lebih selektif terima laporan UU ITE

Soal Wacana Revisi UU ITE, LBH Makassar: Lebih Baik Dihapus SajaPresiden Joko Widodo memberikan keterangan pers terkait COVID-19 di Istana Bogor, Jawa Barat, Senin (16/3/2020) (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Presiden Jokowi sebelumnya meminta polisi lebih selektif dalam menerima laporan terkait pelanggaran UU ITE. Dia merasa akhir-akhir ini sangat banyak laporan mengenai UU itu. Menurutnya, ada proses hukum yang dianggap kurang memenuhi rasa keadilan.

"Saya minta kepada Kapolri agar jajarannya lebih selektif, sekali lagi lebih selektif menyikapi dan menerima pelaporan pelanggaran UU ITE," kata Jokowi dalam acara Rapat Pimpinan TNI-Polri yang ditayangkan di channel YouTube Sekretariat Presiden, Senin, 15 Februari. 

Jokowi mengaku paham soal semangat di dalam UU ITE. Yakni untuk menjaga ruang digital di Indonesia supaya bersih dan sehat. Namun, dia tak ingin UU justru menimbulkan ketidakadilan. "Tetapi implementasinya, pelaksanaannya, jangan justru menimbulkan rasa ketidakadilan," kata Jokowi.

Baca Juga: Wacana Revisi UU ITE, PDIP: Yang Disebut Pasal Karet yang Mana?

Topik:

  • Aan Pranata

Berita Terkini Lainnya