Korban Dugaan Perkosaan di Lutim Rasakan Intimidasi Didatangi Polisi

Pendamping hukum nilai Polres Lutim dan P2TP2A keliru

Makassar, IDN Times - Koalisi bantuan hukum untuk tiga anak yang diduga diperkosa oleh ayah kandung di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, mengatakan para korban merasakan intimidasi karena berulang kali didatangi polisi.

Hal tersebut terungkap dalam ekspos virtual hasil perkembangan kasus oleh pendamping hukum korban di Makassar, Selasa (12/10/202).

"Setelah kasus menjadi sorotan, pihak korban beberapa kali didatangi pihak Polres Luwu Timur dan P2TP2A Luwu Timur. Kedatangan pihak-pihak tersebut tanpa pemberitahuan sebelumnya kepada ibu korban ataupun koordinasi dengan tim kuasa hukum," kata kuasa hukum korban, Rezky Pratiwi.

1. Korban didatangi berturut-turut dengan beragam alasan

Korban Dugaan Perkosaan di Lutim Rasakan Intimidasi Didatangi PolisiRezky Pratiwi, pendamping hukum LBH Makassar, untuk 3 anak korban pelecehan di Lutim. IDN Times/Sahrul Ramadan

Rezky mencatat, kedatangan polisi ke rumah korban dimulai sejak 7 Oktober 2021 siang. Tim dari penyidik Polres Luwu Timur dan petugas P2TP2A Luwu Timur mencoba menemui para korban dengan alasan mengecek kondisi mereka. Namun, upaya tersebut dihalangi oleh pihak keluarga.

Mereka kemudian datang kembali keesokan harinya, 8 Oktober malam. Tim dari Polres Luwu Timur berseragam lengkap datang kembali dan menemui RA, ibu korban. "Ibu korban yang saat itu tanpa ditemani kuasa hukum, diminta bicara dengan direkam keterangannya untuk menjelaskan ke media supaya tidak ada kesimpangsiuran berita," ungkap Rezky.

Kedatangan polisi ke rumah korban kemudian diikuti dengan beredarnya dokumentasi sejumlah foto. Beredar pula informasi bahwa ibu korban berjanji akan membawa bukti tambahan dalam kasus ini. Tak sampai di situ, pada 9 Oktober, kepolisian juga datang ke rumah kerabat ibu korban.

"Untuk membahas soal ramainya pemberitaan kepada keluarga besar korban," ucap Rezky.

2. Tindakan polisi dianggap menyalahi prosedur

Korban Dugaan Perkosaan di Lutim Rasakan Intimidasi Didatangi PolisiAnak korban saat di rawat di P2TP2A Makassar / Sahrul Ramadan

Tepat pada 10 Oktober, sekitar pukul 10.00 WITA, tiga orang petugas dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Luwu Timur, kembali mendatangi pihak korban dengan alasan untuk mengambil data. Namun, ibu korban menolak dan menyuruh mereka pulang.

"Ibu korban sempat menegur salah satu dari orang yang datang karena mengambil gambar/video ibu korban secara diam-diam," jelas Rezky.

Para pendamping hukum korban pun menyayangkan tindakan institusi Polri dan instansi pemerintah yang mendatangi pihak korban. Rezky mengatakan, mereka menyalahi prinsip perlindungan terhadap korban yang notabene anak-anak. "Tindakan tersebut menunjukkan kembali Polres Luwu Timur dan P2TP2A Luwu Timur tidak memiliki perspektif perlindungan korban dalam menangani kasus anak," tegas Rezky.

Terpisah, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Mohammad Haedir menegaskan, polisi dan petugas pemerintah seharusnya memahami bahwa kedatangan mereka mempengaruhi kondisi psikis korban. Belum lagi, petugas juga bahkan mendokumentasi kedatangan dan mengungkap identitas anak.

Haedir menegaskan, tindakan itu menyalahi aturan Pasal 17 ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Larangan mengungkap identitas anak korban juga ditentukan dalam Pasal 19 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

"Perlu kami ingatkan kembali bahwa keberatan. Termasuk karena penyelidikan kasus ini dihentikan. Kami menduga kuat ada kesalahan prosedur oleh pihak P2TP2A Lutim dan kepolisian, tidak semestinya kedua pihak tersebut menemui pelapor, korban," tegas Haedir.

Baca Juga: LBH Ungkap Kejanggalan Polisi Hentikan Kasus di Lutim

3. Dua bukti yang diajukan pendamping bisa jadi petunjuk dugaan pidana bila penyelidikan dilanjutkan

Korban Dugaan Perkosaan di Lutim Rasakan Intimidasi Didatangi PolisiKonferensi pers LBH Makassar soal kasus 3 bocah korban pelecehan seksual di Lutim. IDN Time/Sahrul Ramadan

Selain upaya pendekatan yang dibangun ke korban, koalisi bantuan hukum juga menganggap bahwa bukti yang diajukan dalam gelar perkara kasus di Polda Sulsel pada Maret 2020, sudah cukup kuat untuk mengungkap dugaan pidana yang diperbuat terlapor. Sebelum gelar perkara bersama kuasa hukum, pelapor dan para korban, polisi sudah lebih dulu menghentikan kasus ini pada 19 Desember 2019.

Haedir menyatakan, dokumen bukti yang diajukan saat itu mulai dari asesmen ahli psikologi P2TP2A Makassar yang menyebutkan bahwa tiga korban mengalami kecemasan. Menurut Haedir, dengan ditutupnya proses penyelidikan melalui surat penetapan penghentian penyelidikan, maka peluang untuk mendapatkan bukti akan tertutup.

Sebaliknya, apabila kasus ini dibuka kembali maka proses penyelidikan akan membuka peluang terhadap munculnya bukti-bukti yang mendukung proses penegakan hukum. "Dalam perkara pidana, polisi yang punya kewenangan untuk mencari bukti bukan korban maupun masyarakat yang mencari keadilan," imbuhnya.

IDN Times berupaya menghubungi Kapolrestabes Luwu Timur, AKBP Silvester Simamora, pada Selasa sore. Namun permintaan konfirmasi tidak ditanggapi hingga laporan berita ini diterbitkan.

Baca Juga: Polisi Labrak Aturan Tawari Praperadilan Kasus Perkosaan di Lutim

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya