Kisah Nabila, Disabilitas Netra di Makassar Menulis Sejumlah Novel

Kehilangan penglihatan bukan halangan Nabila terus berkarya

Makassar, IDN Times - Tahun 2017 lalu adalah saat yang paling membekas dalam ingatan Nabila May Sweetha. Pada usianya yang ke 14 tahun saat itu, dia mulai merasakan keanehan pada penglihatannya. Kemampuan kedua matanya untuk melihat pelan-pelan memudar hingga akhirnya mengalami kebutaan.

“Kebutaan saya disebabkan oleh virus bernama tourch plasma. Sebuah virus yang saya dapatkan, menurut dokter dari kelinci peliharaan saya,” kata Nabila mengawali perbincangan saat dihubungi IDN Times lewat pesan WhatsApp, Jumat (26/3/2021).

Nabila mengukir sejumlah prestasi, khususnya di bidang kepenulisan. Seperti apa ceritanya? Simak terus, ya.

1. Disabilitas bukanlah halangan untuk tetap berkarya

Kisah Nabila, Disabilitas Netra di Makassar Menulis Sejumlah NovelJaringan organsisasi difabel respons COVID-19/PerDIK Sulsel

Nabila mengisahkan, kondisi yang dialaminya tidak menghentikan semangat untuk terus melanjutkan pendidikan. Dia lalu didaftarkan ke Sekolah Luar Biasa (SLB) yang menampung banyak siswa disabilitas berbagai kategori dan jenis. Mulai dari disabilitas netra, rungu, daksa, dan beragam kategori lainnya.

“Nah, saya di dalam sana bertemu banyak orang buta lainnya dan merasa bahwa buta adalah hal yang tidak menakutkan. Dari SLB saya tahu bahwa saya tidak sendirian, dan itu membuat masa-masa peralihan menjadi buta tidaklah begitu sulit,” ungkap Nabila.

Optimisme Nabila terus tumbuh. Dia sedikit demi sedikit memahami dan menerima kondisi fisiknya. Aktivitas kesehariannya dilalui dengan baik seperti masa sebelum penglihatannya hilang.

2. Mulai menggeluti dunia literasi sejak dua tahun terakhir

Kisah Nabila, Disabilitas Netra di Makassar Menulis Sejumlah NovelBuku-buku basah di perpustakaan SMP 207 Jakarta, Banjir (IDN Times/Gregorius Aryodamar P)

Minat membaca yang dimiiliki Nabila termasuk tinggi. Dulu, dia bisa menghabiskan buku bacaan yang cukup tebal dalam waktu yang tidak lama. Beberapa tahun belakangan, kata dia, minatnya untuk mencurahkan pikiran dan isi hati lewat tulisan, juga semakin tumbuh.

“Awalnya saya tidak pernah menulis. Saya hanya pembaca garis keras yang suka menghayal, alih-alih belajar menulis,” ujar Nabila yang saat ini terus termotivasi mengasah kemampuan menulisnya. “Saya dua tahun belakang mulai menggeluti dunia tulis menulis. Sekarang, saya adalah peserta ISM (Institut Sastra Makassar) sebuah institusi sastra yang didirikan sejumlah sastrawan Makassar. Salah duanya ialah, Aslan Abidin dan Aan Mansyur,” ucap Nabila.

Pada pertangahan tahun 2018 dia terlibat dalam kegiatan Social Justice Youth Camp (SJYC) yang diadakan oleh Indonesia Social Justice Network (ISJN) bekerja sama dengan Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan (PerDIK). Kegiatan bertema outdoor kala itu diselenggarakan di Kabupaten Bulukumba. Salah satu persyaratan untuk mengikuti camp itu adalah menyetorkan satu essai populer bertema isu sosial.

“Itu pertama kali saya menulis panjang,” tuturnya.

Sepulangnya dari Bulukumba, para peserta kembali diminta mengumpulkan tulisan lagi. Tema penulisannya tentang difabel. “Saya menulis, dan satu bulan kemudian saya dikabari bahwa saya, melalui tulisan saya terpilih mewakili SJYC Sulsel untuk mengikuti konferensi dan festival pemuda di Gorontalo,” lanjutnya.

Nabila tak bisa menggambarkan betapa bahagianya mendapatkan kabar tersebut. Di Gorontalo, tulisan yang dia setorkan tadi kemudian kembali diperlombakan dan dipresentasikan. Dari situ, Nabila tampil sebagai juara pertama dari enam perwakilan kabupaten se-Indonesia yang ikut berlomba.

“Tidak ada peserta difabel kecuali saya, dan saya rasa semua teman SJYC saya adalah pemuda-pemudi terpilih dari provinsinya masing-masing. Pulang dari Gorontalo saya mulai gabung di PerDIK, dan rutin menulis di web resmi PerDIK. Nah, dari sanalah saya mulai menulis sampai sekarang,” ungkap Nabila.

3. Nabila ditawari untuk menerbitkan novel

Kisah Nabila, Disabilitas Netra di Makassar Menulis Sejumlah NovelSiswa berkebutuhan khusus di SDN 2 Weru Kidul Kabupaten Cirebon punya kebiasaan unik meninggalkan kelas untuk membaca buku di perpustakaan. (IDN Times/Wildan Ibnu)

Sampai suatu ketika di tahun 2018 lalu, kata Nabila, dia sempat ditawari oleh salah satu penerbit indie (Independen) untuk menerbitkan buku. Penerbit mengetahui bahwa Nabila telah menulis sejumlah novel yang digarapnya sendiri.

“Tapi sampai sekarang belum ada kejelasan lagi. Saya punya satu novel yang menurutku paling bagus dari novel yang lainnya (karya sendiri), itu adalah Ubur-ubur di Matamu,” tulis Nabila.

Sampai sekarang dia masih menganggap pengalaman mengikuti SJYC adalah momen paling berkesan dan cukup baik. “Kendati pun beberapa kali saya memenangi perlombaan menulis, saya lebih senang menjadi narasumber di sejumlah acara. Kerap kali saya diundang untuk berbicara tentang difabel muda, pergerakan difabel muda di Makassar, atau bagaimana keadaan perempuan,” jelasnya.

Nabila mengaku merasakan atmosfer yang berbeda apabila dipanggil menjadi narasumber dalam berbagai kegiatan sosial. “Saya rasa tiap kali dipanggil untuk menjadi narasumber, saya berhasil bertemu orang banyak dan menyuarakan aspirasi orang muda disabilitas dan perempuan disabilitas."

Baca Juga: PERDIK Dampingi Difabel Korban Kekerasan Sekual di Makassar

4. Menyuarakan aspirasi warga disabilitas

Kisah Nabila, Disabilitas Netra di Makassar Menulis Sejumlah NovelIDN Times/Sukma Shakti

Sampai saat ini, Nabila masih bergerak dalam ranah aktivisme serta aktif menulis tentang kerentatan perempuan khususnya penyandang disabilitas yang menjadi korban kekerasan atau pelecehan seksual. Hal itu biasa dia lakukan di forum atau seminar resmi, bahkan diskusi antar kelompok dan dipanggil menjadi narasumber atau fasilitator.

“Harapan saya yang pertama tentunya seperti banyak orang, saya mendorong pengesahan RUU PKS. Selain itu, banyak orang muda difabel yang tidak bisa bersekolah dan kuliah bukan karena tidak ingin, tapi karena keluarga tidak ingin membiayainya dalam menempuh pendidikan,” ucap Nabila.

Di sebagian daerah, lanjut Nabila, ada beasiswa khusus penyandang disabilitas. Tapi lebih banyak daerah yang tidak menawarkan beasiswa khusus itu. Dia meminta agar pemerintah lebih jeli dan fokus lagi dalam memberikan beasiswa kepada orang muda dengan disabilitas.

“Pendidikan dan difabel bukan masalah miskin atau tidak, ini jauh berbeda. Masalahnya kebanyakan orang tua difabel meski kaya sekalipun, memilih untuk tidak membiayai pendidikan anaknya karena menganggap difabel tidak bisa apa-apa dan percuma disekolahkan tinggi-tinggi,” tegasnya.

Baca Juga: Perdik Sulsel: UU Cipta Kerja Abaikan Hak Pokok Penyandang Disabilitas

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya