Catahu 2021 WALHI Sulsel: Hutan Rusak, Kita Hidup di Tanah yang Kolaps

Tiga faktor perusak lingkungan di Sulsel menurut WALHI

Makassar, IDN Times - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau WALHI Sulawesi Selatan, merilis catatan akhir tahun (catahu) terkait kondisi ekologis di Sulsel sepanjang tahun 2021. Berdasarkan hasil penelitian, kondisi hutan di Sulsel sangat kritis.

Riset WALHI mengungkap, kondisi tutupan hutan di Sulsel tersisa 32 persen atau sekitar 1.479.181,01 hektare. Sisanya, 68 persen atau 3.180.562,41 hektare area masuk dalam kategori tutupan nonhutan.

"Kita sedang hidup di tanah yang berbahaya, yang kolaps," kata Direktur Eksekutif WALHI Sulsel, Muhammad Al Amin dalam ekspos Catahu 2021, Rabu (29/12/2021).

1. Tiga faktor melatar belakangi krisis lingkungan di Sulsel

Catahu 2021 WALHI Sulsel: Hutan Rusak, Kita Hidup di Tanah yang KolapsCatahu 2021 WALHI Sulsel/Dok WALHI Sulsel

Amin menyebut ada tiga faktor yang menyebabkan krisis lingkungan di Sulsel. Pertama, izin usaha pertambangan, lalu ekspansi pariwisata di kawasan hutan, dan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTM). Krisis ini, menurut Amin, berdampak terhadap kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS).

DAS yang terdampak parah akibat kerusakan lingkungan antara lain, DAS Saddang, DAS Bila Wallanae, dan DAS Jeneberang. "Pemerintah tidak pernah mereflesikan diri, mereka tidak pernah melihat situasi ini. Kondisi tutupan hutan di tiga DAS itu sudah sangat kritis dan sudah mengalami penurunan yang sangat signifikan," ungkap Amin.

Amin memaparkan, tutupan hutan di kawasan tiga DAS besar itu sejatinya berfungsi sebagai daerah resapan atau catchment area yang berperan menampung air hujan agar tidak mengakibatkan banjir.

Tutupan hutan di DAS Saddang kini tinggal 17,09 persen, DAS Bila Wallanae 14,32 persen, dan DAS Jeneberang 16,82 persen.

2. Bencana ekologis akibat kerusakan tutupan hutan di kawasan DAS 24 kabupaten dan kota di Sulsel

Catahu 2021 WALHI Sulsel: Hutan Rusak, Kita Hidup di Tanah yang KolapsIlustrasi aliran sungai. ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan

Dampak bencana ekologis yang ditimbulkan karena kerusakan hutan di daerah aliran sungai, jelas Amin, sudah dialami 24 kabupaten dan kota di Sulsel. Mulai dari bencana banjir rob hingga tanah longsor. Tak hanya kawasan DAS, daerah pesisir pun rusak karena masifnya proyek pembangunan yang tidak berpihak pada kelestarian lingkungan.

Ancaman bencana lain yang sudah sekian lama terjadi, kata Amin, adalah kekeringan di wilayah pesisir. Dia mencontohkan di Kota Makassar, sebagian besar masyarakat di Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, harus tiap hari mengantre air bersih pada musim kemarau.

"Sudah pasti kondisi ini akan parah ke depan," jelasnya.

WALHI juga mencatat, sepanjang 2021, sudah banyak masyarakat yang menjadi korban akibat kerusakan lingkungan. Selain korban jiwa, dampak lain yang ditimbulkan adalah rusaknya fasilitas umum dan lahan pertanian. Seperti sawah, kebun, rumah, tambak, hewan ternak, fasilitas pendidikan, kesehatan, hingga fasilitas lain seperti jembatan.

Baca Juga: 3 Penyebab Utama Banjir di Makassar Menurut WALHI Sulsel

3. Apa yang harus dilakukan pemerintah?

Catahu 2021 WALHI Sulsel: Hutan Rusak, Kita Hidup di Tanah yang KolapsKampanye WALHI Sulsel di hari lingkungan hidup internasional. IDN Times/Sahrul Ramadan

Situasi kerusakan lingkungan dikhawatirkan akan semakin parah bila pemerintah tidak kunjung mencari solusi dengan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada pelestarian lingkungan. 

"Jangan karena setiap musibah bencana kirim bantuan daan segala macam, bukan itu yang mendasar yang masyarakat butuhkan, tapi solusi," imbuh Amin.

WALHI Sulsel pun merekomendasikan beberapa langkah kepada pemerintah agar bencana alam bisa berkurang karena dampak kerusakan lingkungan. Desakan itu tertuang dalam tujuh poin, yaitu;

  1. Pemerintah didesak untuk meninjau ulang Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 362 Tahun 2019, tentang Penetapan Kawasan Hutan Sulsel;
  2. Revisi Peraturan Daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) di Sulsel, dan hapus alokasi ruang reklamasi dan tambang pasir laut;
  3. Mendesak penghapusan alokasi ruang tambang dan Ranperda Rencatan Tata Ruang dan Wilayah Sulsel. Serta, desakan untuk mengusut kebijakan pelepasan kawasan hutan di Sulsel untuk kepentingan bisnis;
  4. Lindungi masyarakat, nelayan dan perempuan pesisir dan pulau-pulau kecil di Sulsel.
  5. Cabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) tambang dalam kawasan hutan;
  6. Reforestasi DAS di Sulsel;
  7. Tindak pengusaha atau perusahaan yang mencemari lingkungan dan mengabaikan hak rakyat atas lingkungan hidup.

Kerusakan ekologis, khususnya akibat deforestasi seperti yang terjadi di Sulsel, secara langsung berkontribusi terhadap perubahan iklim global. Salah satu dampak utama dari deforestasi adalah terjadinya penurunan kualitas atmosfer. Deforestasi berkontribusi pada pemanasan global yang terjadi karena adanya peningkatan konsentrasi gas rumah kaca atau greenhouse gases yang menyebabkan kenaikan suhu udara global. Proses tersebut kemudian dikenal dengan istilah radiative forcing. Ada empat gas rumah kaca utama yang berkontribusi dalam proses tersebut, yaitu karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrous oksida (N2O) dan klorofluorokarbon (CFCs). Pemanasan global tersebut berpotensi untuk mendatangkan bencana yang sangat membahayakan. Diprediksikan
bahwa pemanasan global yang terus bertambah akan dapat menyebabkan perubahan pola produksi pertanian global, mencairnya es di kutub Artic dan Antartic,
peningkatan suhu air laut dan peningkatan permukaan air laut yang dapat mengancam kehidupan di berbagai pantai di dunia (Humphreys 1996).

Baca Juga: WALHI Sulsel Ungkap Dampak Ekologi Rusaknya Hutan di Torut 

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya