KontraS: Terdakwa Tunggal Pelanggaran HAM Paniai hanya "Kambing Hitam"

KontraS sebut pengadilan tidak proses pelaku lapangan

Makassar, IDN Times - Aktivis Hak Asasi Manusia menyoroti putusan majelis hakim Pengadilan HAM yang membebaskan terdakwa tunggal perkara pelanggararan HAM berat di Paniai, Papua, Mayor Inf. (Purn) Isak Sattu.

Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Fatia Maulidiyanti menyatakan, selama proses penyelidikan, persidangan hingga sidang putusan, hanya ada satu terdakwa tunggal yang kemudian dibebaskan.

"Ini (kasus) terlihat bahwa tersangka atau terdakwa IS (Isak Sattu) pada hari ini seperti kambing hitam," terang Fatia kepada wartawan usai memantau sidang putusan di Pengadilan Negeri Makassar, Kamis (8/12/2022). "Yang penting bisa terselenggara pengadilan Paniai, dan pada akhirnya putusannya tidak maksimal juga, bebas," Fatia menerangkan. 

Terdakwa tunggal pelanggaran HAm berat Paniai, Mayor Inf. (Purn) Isak Sattu dinyatakan bebas oleh majelis hakim yang dipimpin hakim ketua, Sutisna Sawati.

Putusan sidang yang membebaskan terdakwa dari segala tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), termasuk tuntutan JPU agar terdakwa Mayor (Purn) Isak dijatuhi kurungan penjara 10 tahun.

1. KontraS sebut pengadilan tidak proses pelaku lapangan

KontraS: Terdakwa Tunggal Pelanggaran HAM Paniai hanya Kambing HitamHakim ketua, Sutisna Sawati saat membacakan putusan perkara pelanggaran HAM Paniai Papua. (Dahrul Amri/IDN Times Sulsel)

KontraS bersama jaringan pegiat HAM, kata Fatia, sudah berkali-kali memprotes penetapan hanya satu tersangka yang dijadikan terdakwa. Padahal pada prinsipnya, dalam kasus pelanggaran HAM berat mustahil hanya dilakukan oleh satu orang saja.

"Kita tahu bahwa dalam praktiknya itu ada beberapa pelaku yang jadi pelaku lapangan yang tidak diadili dalam proses sidang ini. Hakim menjelaskan memang diakui dan juga dibuktikan ada pelanggaran HAM berat dalam peristiwa di Paniai," ungkap Fatia.

Diketahui, dalam sidang pembelaan, terdakwa Isak Sattu juga menyampaikan keberatan karena jaksa dianggap hanya menargetkan TNI di Koramil Enarotali 1705 sebagai pihak yang bertanggung jawab. Padahal, kata Isak pada sidang sebelumnya, anggota Polri yang berada di lokasi kejadian juga berpotensi jadi tersangka.

"Tetapi diabaikan (jaksa) dan tidak didalami secara baik. Jaksa juga tidak mendalami secara maksimal tembakan dari pihak kepolisian yakni Dalmas Paniai, Satgas Brimob, Polsek Paniai Timur padahal berpotensi jatuhkan korban meninggal dunia dan luka-luka, karena mereka membubarkan pendemo dengan menyisir," tegas Isak Sattu.

"Juga tembakan dari Paskhas TNI AU di atas tower ke pinggir pagar tempat ditemukan korban meninggal dunia yang diduga tembakan dari timsus Paskhas TNI AU juga tidak didalami. Saya merasa tidak ada ketidakadilan," tambah Isak dalam pembelaannya. 

Baca Juga: Jelang Putusan Kasus HAM Paniai, Aktivis: Terdakwa Harusnya Lebih Satu

2. Proses hukum kasus Paniai dianggap hanya formalitas

KontraS: Terdakwa Tunggal Pelanggaran HAM Paniai hanya Kambing HitamKoordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti. (Dahrul Amri/IDN Times Sulsel)

Tapi sayang kata Fatia, rantai komando itu kemudian tidak bisa dibuktikan. Sehingga menyebabkan terdakwa Isak Sattu dianggap sebagai perwira dengan pangkat tertinggi pada waktu kejadian yang terjadi pada tanggal 8 Desember 2014 silam di Paniai.

"Ini yang perlihatkan dari awal proses peristiwa HAM Paniai itu berjalan tidak cukup maksimal. Karena memang tidak ada investigasi menyeluruh dari tim kejaksaan yang menyebabkan pembuktiannya di pengadilan "seadanya" dan formalitas"," jelasnya.

"Ini sangat berbahaya bagi masa depan proses pengadilan HAM, ditambah lagi ada peraturan baru dikeluarkan Presiden yang akan timbulkan pola berulangan," lanjutnya.

3. KontraS minta negara pastikan pemulihan korban

KontraS: Terdakwa Tunggal Pelanggaran HAM Paniai hanya Kambing HitamSidang perkara pelanggaran HAM berat Paniai Papua di Pengadilan Makassar. (Dahrul Amri/IDN Times Sulsel)

KontraS juga melihat, kasus ini tidak maksimal dari sejak penyidikan hingga putusan pengadilan karena tidak ada keterlibatan secara penuh dari keluarga korban di Paniai. 

"Ini membuktikan adanya delegitimasi dari keluarga korban, dan itu sebetulnya sangat melanggar hak-hak korban itu sendiri. Dan yang paling penting adalah negara harus memastikan pemulihan terhadap korban dan keluarga korban," sambung Fatia.

Kasus pelanggaran HAM berat di Paniai Papua terjadi 8 Desember 2014 silam. Hal itu bermula pada saat tiga pemuda Paniai diduga dianiaya sejumlah oknum TNI di Pondok Tanah Merah, Desa Ipakiye, Kabupaten Paniai, Provinsi Papua.

Kejadian itu memicu unjuk rasa warga Paniai ke lapangan Karel Gobai di Paniai Timur tepat di depan kantor Koramil 1705 Enarotali akibat unjuk rasa itu, terjadi penembakan, empat orang meninggal dan beberapa orang mengalami luka-luka.

Dalam kasus pelanggaran HAM berat ini, penyidik menetapkan Perwira Penghubung (Pabung) di Koramil 1705 Enarotali Paniai, Mayor Inf. (Purn) Isak Sattu sebagai terdakwa.

Baca Juga: Terdakwa Pelanggaran HAM Paniai Papua Bebas, Jaksa Pikir untuk Banding

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya