KontraS Sulawesi ke Komnas HAM: Kekerasan Marak Terjadi dan Dibiarkan

LBH Makassar sebut ada ormas kebal hukum

Makassar, IDN Times - Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Makassar dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sulawesi mencatat, dalam kurun waktu dari 2019 hingga 2022 praktik-praktik perampasan ruang kebebasan sipil semakin menjadi di Sulawesi Selatan, terkhusus di Makassar.

Berdasarkan rentetan kasus dan praktik-praktik perampasan ruang kebebasan sipil tersebut, LBH Makassar dan KontraS Sulawesi pun menggelar diskusi dengan menghadirkan Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM), Sandrayati Moniaga di Kota Makassar, Selasa (9/8/2022) sore hingga malam.

Diskusi yang dihadiri pegiat HAM, pegiat lingkungan, aktivis mahasiswa di Makassar, dan warga sipil ini mengangkat tema "Menyoal Praktik Kekerasan Politik dan Penyempitan Ruang Kebebasan Sipil di Sulawesi Selatan". Berlangsung di kantor LBH Makassar, Jalan Nikel 1, Kecamatan Rappocini.

1. Kekerasan terjadi dan dibiarkan

KontraS Sulawesi ke Komnas HAM: Kekerasan Marak Terjadi dan DibiarkanSituasi bentrokan antara mahasiswa Papua dan kelompok organisasi massa (Ormas) di Makassar. Istimewa

Koordinator KontraS Sulawesi, Nasrum mengatakan kasus tindakan kekerasan dan penyerangan terhadap kelompok minoritas di Makassar diwarnai pembiaran oleh aparat negara. Seperti yang dialami pelajar atau mahasiswa Papua yang berulang kali direpresi oleh sekelompok organisasi massa (ormas).

"Kasus-kasus yang dialami kaum minoritas itu menarik karena ada unsur pembiaran oleh penegak hukum, dan ini aktor non-negara pelakunya. Ini (pembiaran) terjadi terus-menerus dan negara dalam hal ini di mana posisinya? Seakan mempertontonkan praktik-praktik impunitas," ungkap Nasrum.

KontraS Sulawesi dan LBH Makassar juga mencatat berbagai bentuk perampasan dan penyempitan ruang kebebasan sipil, penghalang-halangan dan pembubaran aksi demonstrasi, sentimen gerakan berbasis rasisme, hingga persoalan pembatasan ruang berekspresi yang ada di media sosial (Medsos).

Dalam konteks penghalang-halangan dan pembubaran aksi demonstrasi, disebut masif terjadi dalam kurun waktu empat tahun terakhir. Seperti pembubaran paksa demonstrasi dan penangkapan sewenang-wenang yang dilakukan aparat kepolisian pada massa aksi #ReformasiDikorupsi, di mana sebanyak 498 peserta aksi ditangkap dan 237 mengalami kekerasan.

2. LBH Makassar sebut ada ormas kebal hukum

KontraS Sulawesi ke Komnas HAM: Kekerasan Marak Terjadi dan DibiarkanLBH Makassar desak polisi usut tuntas kasus kematian yang diduga melibatkan anggotanya. Dahrul Amri/IDN Times Sulsel

Direktur LBH Makassar, Muhammad Haedir mengatakan, sepanjang tahun 2022 marak kasus kekerasan terhadap mahasiswa Papua di Makassar saat menggelar unjuk rasa. Aksi mahasiswa selalu dihalang-halangi bahkan dibubarkan paksa oleh salah satu ormas.

"Kasus (mahasiswa) Papua, setahu saya sepanjang tahun ini sudah tiga kali mereka direpresif ketika ingin menyampaikan pendapat, dan yang melakukan represif itu bukan polisi tapi ormas. Termasuk juga isu LGBT saat Hari Perempuan Internasional, karena yang selalu melakukan represif itu ya ormas ini," jelas Haedir.

"Undang-undang menyampaikan pendapat itu sudah jelas, siapa yang seharusnya ditangkap, siapa yang seharusnya dikriminalisasi ketika ada orang yang menghalang-halangi aksi. Ini sebaliknya, karena di beberapa kasus ada ormas ini, ormas ini kebal hukum dan orangnya sangat sedikit," lanjutnya.

Baca Juga: LBH Makassar Desak Polda Sulsel Usut Kasus Pria Tewas usai Ditangkap

3. "Negara bertindak sewenang-wenang"

KontraS Sulawesi ke Komnas HAM: Kekerasan Marak Terjadi dan DibiarkanKomisioner Komnas HAM RI, Sandrayati Moniaga (tengah) saat berbicara dalam diskusi HAM di kantor LBH Makassar, Selasa (9/8/2022). Dahrul Amri/IDN Times Sulsel

Sementara itu, menanggapi pernyataan LBH Makassar dan KontraS Sulawesi, Sandrayati Moniaga, mengaku pihaknya terus melakukan pemantauan terhadap praktik-praktik kekerasan tersebut.

"Jadi dari hasil pemantauan Komnas HAM, negara dalam melakukan pembatasan atas kebebasan berekspresi banyak sekali bertindak secara sewenang-wenang. Dilakukan secara legal berdasarkan regulasi secara undang undang (UU) tapi jelas-jelas sangat melanggar hak asasi manusia," terang Sandrayati.

Melihat situasi seperti ini, Komnas HAM menurut Sandrayati, menyusun Standar Norma Pengaturan (SNP). Pertimbangannya, apa yang ada dalam Undang Undang Dasar (UUD) itu dinilai tidak cukup.

"Kita ratifikasi kovenan juga tidak cukup, Pemerintah masih buat tafsir-tafsir sendiri. Akhirnya kami menyusun SNP didukung oleh akademisi, teman-teman masyarakat sipil yang expert dalam bidang ini. Seperti SNP kebebasan berpendapat berekspresi itu yang susun mas Herlambang mantan aktivis LBH," jelasnya.

"Kalau untuk SNP lain hampir semua melibatkan akademisi juga. Harapan kami SNP ini betul-betul jadi rujukan dan jadi pedoman bahwa peraturan perundangan kita mestinya itu merujuk pada SNP. Karena SNP ini merujuk pada berbagai kovenan internasional, berbagai komentar umum di PBB, berbagai peraturan dan kita mengutip perundangan yang sudah baik. Kami sebut SNP ini adalah satu bahasa kami pemaknaan, penilaian dan petunjuk atas peristiwa HAM yang terjadi di masyarakat," tambahnya.

Baca Juga: KontraS Sulawesi: Kemunduran Demokrasi dan HAM Era Jokowi-Ma'ruf

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya