LBH Makassar: Hanya 20 Persen Kasus Kekerasan Seksual Diproses Pidana

Sebanyak 80 persen korban lainnya tidak mendapat keadilan

Makassar, IDN Times - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar mencatat, terjadi peningkatan tajam kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani selama masa pandemik COVID-19. Dari peningkatan itu, kekerasan seksual paling banyak terjadi.

Kepala Divisi Perempuan Anak dan Disabilitas LBH Makassar, Resky Pratiwi, menyebut berdasarkan jumlah pengaduan kekerasan terhadap perempuan ke LBH, ada peningkatan sebanyak 53 persen dari tahun 2019 ke 2020.

"Dan juga meningkat sekitar 10 persen di 2021," kata Resky dalam diskusi virtual bertajuk 'Kekerasan Terhadap Perempuan di Masa Pandemi Covid-19 di Indonesia Timur' yang berlangsung pada Kamis (9/12/2021).

1. Sebagian korban enggan melapor ke polisi

LBH Makassar: Hanya 20 Persen Kasus Kekerasan Seksual Diproses PidanaIlustrasi kekerasan seksual terhadap perempuan (IDN Times/Arief Rahmat)

Resky sangat menyayangkan karena dari peningkatan 53 persen itu, hanya ada 20 persen saja yang diproses hingga ke pengadilan. Selebihnya tak berlanjut bahkan ada korban yang memang memutuskan untuk tidak melaporkan kejadian yang dialaminya kepada polisi.

Padahal, kata Resky, setengah dari angka 53 persen itu adalah kasus kekerasan seksual. Pihaknya pun sangat menyayangkan hal ini karena pelaku kekerasan seksual ada yang tidak sampai dipidanakan.

"Dari keseluruhan yang lapor polisi, hanya 20 persen yang tahapannya sampai ke persidangan. Jadi selebihnya, 80 persen korban ini tidak mendapatkan keadilan," ujarnya.

2. Keterbatasan sumber daya jadi kendala

LBH Makassar: Hanya 20 Persen Kasus Kekerasan Seksual Diproses PidanaIlustrasi Anti-Kekerasan Seksual (IDN Times/Galih Persiana)

Berdasarkan pengalamannya menangani berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan, utamanya kekerasan seksual, Resky memaparkan kendala-kendala dalam penanganan kasus tersebut. Kendala pertama karena keterbatasan sumber daya organisasi bantuan hukum.

Di LBH saja, kata dia, hanya ada 6 advokat dan 6 orang paralegal. Dia menyebut keterbatasan ini tidak hanya dialami oleh LBH saja tapi juga organisasi bantuan hukum lain dia Indonesia. 

"Di Sulawesi Selatan, hanya ada 20 organisasi bantuan hukum yang sangat terorganisasi. Jadi organisasi bantuan hukum yang tidak terakreditasi tidak mampu melakukannya," kata Resky.

Selain itu, organisasi bantuan hukum juga dituntut untuk mempunyai kapasitas dalam mendampingi korban. Sayangnya, tidak semuanya memiliki itu. 

"Dari 20 organisasi bantuan hukum di Sulsel belum semua, bahkan hanya sedikit yang punya kapasitas untuk pendampingan hukum bagi korban kekerasan," kata Resky

Baca Juga: LBH Makassar Sebut Penanganan Kasus Polisi Tembak Warga Berbelit-belit

3. Tantangan terberat datang dari masyarakat

LBH Makassar: Hanya 20 Persen Kasus Kekerasan Seksual Diproses PidanaIlustrasi kekerasan seksual pada anak (IDN Times/Mia Amalia)

Tantangan lainnya, kata Resky, karena faktor geografis. Dia pun menceritakan penanganan kasus pemerkosaan tiga anak di Kabupaten Luwu Timur. Untuk sampai ke sana, pihaknya harus menempuh perjalanan selama 12 jam demi bisa menjangkau korban.

Belum lagi aparat penegak hukum juga masih banyak yang belum mempunyai kapasitas dan perspektif korban dalam pendampingan.

"Bahkan juga masih ada pengalaman pendamping yang dilecehkan oleh aparat penegak hukum yang biasa menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan," sebut Resky.

Dia menyebut kultur masyarakat di Sulsel juga masih amat kejam bagi perempuan korban kekerasan dan pendamping. Hal ini tentunya menjadi tantangan yang sangat berat.

"Paralegal kami di Bulukumba misalnya juga ada yang sampai diancam akan diadang massa yang dimobilisasi oleh kepala desa, hanya untuk menjangkau korban. Jadi tantangan di masyarakat juga luar biasa," katanya.

Baca Juga: LBH Makassar Ungkap Kesulitan Tangani Kasus Pemerkosaan di Luwu

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya