Cerita Petani Millennial di Sulsel, Mendobrak Gengsi Anak Muda Bertani

Ocang sukses membangun bisnis pertanian ala millennial

Makassar, IDN Times - Bercocok tanam di wilayah perkotaan atau urban farming belakangan ini menjadi tren di kalangan generasi millennial. Padahal dulunya, tak sedikit yang berpandangan bahwa profesi bercocok tanam kurang cocok bagi generasi muda perkotaan.

Muhammad Nur Al Fauzan (23), salah seorang millennial yang berani mendobrak stigma tersebut. Mengembangkan bercocok tanam selada dengan metode hidropinik, Ocang, sapaannya, membuktikan bahwa millennial juga bisa terjun di dunia pertanian.

Pada Kamis 10 Juni 2021, IDN Times pun berkesempatan melihat langsung tempat Ocang mengembangkan usaha cocok tanamnya. Namanya Samata Green House (SGH) yang berlokasi di Jalan Karaeng Makkawari Ujung, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Lokasinya tak jauh dari Jalan Letjen Hertasning, Kota Makassar.

1. Terinspirasi setelah menonton video di YouTube

Cerita Petani Millennial di Sulsel, Mendobrak Gengsi Anak Muda BertaniMuhammad Nur Al Fauzan menunjukkan tanaman seladanya di Samata Green House, Kamis (10/6/2021). IDN Times/Asrhawi Muin

Ocang mengaku awalnya tidak ada pikiran untuk bertani. Pikiran itu baru muncul 9 bulan lalu atau sekitar September 2020. Kala itu, dia baru saja memperoleh inspirasi setelah menonton video di YouTube tentang perkembangan pertanian.

Karena yang ditontonnya saat itu adalah video tentang aktivitas pertanian modern dengan sistem hidroponik, Ocang pun merasa tertarik dengan metode itu. Baginya, metode hidroponik yang lebih memanfaatkan air tanpa tanah terlihat lebih mudah. 

"Jadi di situ saya tertarik karena kan pada dasarnya petani itu butuh cangkul sementara ini tidak. Pokoknya serba ribet, simpel dan tidak perlu tenaga sekali,"kata Ocang.

Sebagai langkah awal, Ocang pun mencoba menanam selada secara hidroponik di dalam 48 lubang tanam yang total panjangnya 2 meter. Selada ternyata bukan pilihan pertamanya.

Ada empat jenis tanaman yang dicobanya yaitu sawi paccoi, sawi Cina, seledri, dan daun mint. Tapi akhirnya dia memutuskan untuk menanam selada karena saat itu permintaan akan selada sedang tinggi.

"Masyarakat lebih banyak yang cari selada makanya saya tanam selada. Dulu ada sekitar 4 jenis sayuran saya tanam. Tapi karena selada yang lebih banyak yang cari makanya saya berhentikan yang lainnya," katanya.

2. Sempat tidak didukung keluarga

Cerita Petani Millennial di Sulsel, Mendobrak Gengsi Anak Muda BertaniTanaman selada di Samata Green House, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Kamis (10/6/2021). IDN Times/Asrhawi Muin

Keputusan Ocang yang memilih terjun di dunia pertanian rupanya sempat tidak didukung keluarga. Pasalnya, sebagian besar keluarganya berlatar akademisi sehingga dipandang tidak cocok dengan aktivitas pertanian. Stigma yang melekat adalah petani bekerja di kampung dan di sawah. 

"Tapi di situ mereka belum tahu hidroponik itu kayak bagaimana. Di situ memang awalnya tidak dapat restu. Jadi saya langsung ambil langkah, percuma kalau digambarkan secara teori terus, tapi tidak ada praktik. Makanya langsung saya beranikan praktik," katanya.

Untuk membuktikan kesungguhannya, Ocang langsung membuat gebrakan meskipun masih berskala kecil. Setelah ada hasil, barulah keluarganya tertarik dan mendukung langkahnya.

Di sisi lain, pro kontra juga datang dari teman-temannya. Ada yang mendukung ada juga yang tidak. Ocang dianggap tidak cocok jadi petani karena latar belakang pendidikanya yaitu Sastra Arab pada 2015 lalu.

"Kalau dari teman itu sangat menyetujui. Ada yang menyetujui ada juga tidak karena mereka pikir kenapa mau jadi petani padahal dari jurusan yang berbeda, tidak sinkron," kata alumni Universitas Islam Negeri Alaudin Makassar ini.

3. Belajar otodidak tanpa latar belakang ilmu pertanian

Cerita Petani Millennial di Sulsel, Mendobrak Gengsi Anak Muda BertaniTanaman selada di Samata Green House, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Kamis (10/6/2021). IDN Times/Asrhawi Muin

Latar belakang pendidikan yang berbeda tidak membuat minatnya untuk mempelajari metode hidroponik luntur. Dia belajar metode hidroponik dari YouTube secara otodidak, termasuk cara membangun green house miliknya, meskipun tetap dibantu oleh teman-temannya.

Ocang menghabiskan waktu hampir 2 pekan untuk belajar. Selama masa itu, dia mempelajari teori hidroponik. Setelah paham, barulah dia berani mencoba tapi setelah belajar langsung dari seorang ahli pertanian di Universitas Hasanuddin.

"Setelah saya pahami semua, saya pikir sepertinya tidak lengkap kalau tidak langsung bertanya kepada ahlinya. Satu hari saya belajar di situ. Karena saya sudah paham teorinya tinggal penjelasan secara langsungnya," kata Ocang.

Untuk modal awal membangun kebun, Ocang rela menjual motor kesayangannya. Hasil penjualan sepeda motor itu ditambahkan juga dengan uang tabungannya selama ini. 

"Modal awal sekitaran Rp25 juta ukuran 8 x 11. Sama instalasinya itu semua. bibit pupuk. Tapi kan kalau kita di hidropinik bukan pupuk tapi nutrisi," katanya lagi.

4. Bekerja spartan supaya kembali modal

Cerita Petani Millennial di Sulsel, Mendobrak Gengsi Anak Muda BertaniTanaman selada di Samata Green House, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Kamis (10/6/2021). IDN Times/Asrhawi Muin

Untuk menggenjot penjualan di awal-awal, dia mengaku harus bekerja secara spartan supaya bisa cepat kembali modal. Selada yang ditanamnya ada yang dijual langsung ke pelanggan, dijual ke pasar tradisional, dijual melalui media sosial hingga dijual ke sesama petani hidroponik juga.

"Misalnya kita tidak dapat pembeli, kita kembali ke petani juga. Jadi saling membantu," katanya sambil terkekeh.

Kini permintaan selada dari Samata Green House semakin meningkat. Bahkan tak sedikit permintaan dari beberapa restoran makanan Korea yang juga tengah menjamur di Makassar.

Meski begitu, bukan berarti dia tak pernah merugi. Kerugian pernah dialaminya saat terjadi badai angin dan hujan yang mengakibatkan hampir seluruh tanaman seladanya rusak. Atap ruangan hidroponiknya terangkat dan pipa-pipa air bengkok.

Dampak dari badai itu baru terlihat sepekan setelahnya. Tanaman selada sekebun rusak akibat terkena air hujan. Tanaman hidroponik memang tidak boleh terkena air hujan langsung jika tak ingin rusak.

"Jadi dibuang semua sekitar 125 kilo yang kalau dirupiahkan sekitar Rp4,5 juta. Mau diapa, tidak bisa juga dijual ke orang karena teksturnya sudah rusak. Namanya bencana alam, kita tidak tahu," katanya.

5. Jika sudah ada niat, langsung eksekusi

Cerita Petani Millennial di Sulsel, Mendobrak Gengsi Anak Muda BertaniTanaman selada di Samata Green House, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Kamis (10/6/2021). IDN Times/Asrhawi Muin

Ocang pun berbagi tips bagi millennial yang juga tertarik menekuni dunia cocok tanam. Langkah awalnya harus mempelajari teori jika ada niat ingin membuat bisnis secara hidroponik. 

"Kalau sudah bosan pelajari, langsung terjun lapangan tapi jangan berhenti di situ," lanjutnya.

Setelah itu, millennial harus kreatif. Seperti dirinya yang tidak punya dasar ilmu pertanian, maka dia mau belajar otodidak. Semua itu demi menunjang kreativitasnya. 

"Intinya jangan hanya niat saja. Kan banyak orang begitu, punya niat tapi tidak direalisasikan. Pokonya kalau sudah ada niat, langsung eksekusi," katanya.

Baca Juga: Komunitas Jaga Palu, Wadah Progresif Millennial Peduli Pendidikan Anak

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya