12 Kasus Perusakan Lingkungan di Sulsel Rugikan Masyarakat Rp8 Triliun

Perampasan ruang hidup hingga bencana ekologis di Sulsel

Makassar, IDN Times - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan (Sulsel) merilis catatan akhir tahun 2020. Catatan tersebut mengenai praktik kejahatan lingkungan yang melibatkan negara dan korporasi di masa pandemik COVID-19, khususnya di Sulsel.

Ketua Tim Riset WALHI Sulsel, Slamet Riyadi, mengatakan tahun 2020 merupakan tahun terberat bagi masyarakat tak terkecuali di Sulsel. Bukan saja karena pandemik memukul ekonomi masyarakat tapi juga ada beberapa kasus perampasan ruang hidup masyarakat.

"Masa pandemik menjadi pukulan serius bagi rakyat Sulsel. Di saat yg bersamaan ada kasus pengrusakan lingkungan dan bencana ekologis di Sulsel," kata Slamet saat konferensi pers catatan akhir tahun di Sekretariat WALHI Sulsel, Rabu (30/12/2020).

1. Ada 12 kasus perusakan lingkungan hidup

12 Kasus Perusakan Lingkungan di Sulsel Rugikan Masyarakat Rp8 TriliunWALHI menunjukkan rekomendasi untuk Gubernur Sulsel saat konferensi pers catatan akhir tahun di sekretariatnya, Rabu (30/12/2020). IDN Times/Asrhawi Muin

Berdasarkan catatan WALHI Sulsel, ada 12 kasus perusakan lingkungan atau konflik ruang dan degradasi lingkungan hidup di masa pandemik COVID-19 tahun 2020. Kasus-kasus ini tersebar di 9 kabupaten/kota.

Di Kabupaten Luwu Timur ada kasus perampasan lahan masyarakat adat Pamona oleh PTPN XIV dan kasus pencemaran limbah PT Prima Utama Lestari. Sementara di Kabupaten Luwu Utara ada kasus bencana banjir dan longsor.

Di Kabupaten Pinrang ada kasus tambang batuan di Gunung Paleteang. Di Kota Makassar ada tiga kasus yaitu tambang pasir laut wilayah tangkap nelayan di Pulau Kodingareng, penebangan liar mangrove Lantebung, dan reklamasi Makassar New Port.

Kemudian, di Kabupaten Gowa ada kasus banjir perumahan BTN Cakra Hidayat. Di Kabupaten Bantaeng ada kasus banjir bandang, dan di Sinjai ada kasus deforestasi Tahura Abdul Latief untuk pembangunan bumi perkemahan.

Selain itu, di Kabupaten Bone juga ada kasus tambang marmer di daerah rawan longsor Bontocani, sereta di Kabupaten Sidrap ada kasus tambang di Sungai Bila. 

2. Masyarakat sangat dirugikan

12 Kasus Perusakan Lingkungan di Sulsel Rugikan Masyarakat Rp8 TriliunWALHI Sulsel merilis catatan akhir tahun 2020 di sekretariatnya, Rabu (30/12/2020). IDN Times/Asrhawi Muin

Perampasan ruang dan perusakan lingkungan hidup tersebut telah mengakibatkan 8,85 juta penduduk Sulsel menjadi korban. WALHI mencatat, salah satunya tambang pasir laut yang merampas ruang hidup 1.043 nelayan tradisional. 

Selain itu, tambang galian batuan di Gunung Paleteang juga merusak lingkungan yang menghidupi 23 orang petani. Sementara kasus perampasan lahan oleh PTPN XIV di Luwu Timur juga telah merugikan 214 petani.

Kerugian masyarakat tidak sampai di situ. Kriminalisasi juga sempat dialami oleh masyarakat. Sebanyak 12 orang nelayan, 5 orang petani, dan 10 orang pejuang lingkungan dalam catatan WALHI telah menjadi korban. 

Korban lainnya berada di Sidrap. Perusakan lingkungan akibat tambang Sungai Bila mengakibatkan 132 petani menjadi korrban. Sementara banjir di perumahan BTN Cakra Hidayat mengakibatkan 300 kepala keluarga menjadi korban.

Jumlah korban yang sangat besar diakibatkan oleh banjir dan longsor di Luwu Timur dengan jumlah 4.000 kepala keluarga terdampak. Sementara banjir di Bantaeng membuat 10.000 orang terdampak.

Baca Juga: Riset WALHI: Millennial dan Gen Z Paham Ekosida adalah Pelanggaran HAM

3. Kerugian materiel masyarakat meningkat dibandingkan tahun lalu

12 Kasus Perusakan Lingkungan di Sulsel Rugikan Masyarakat Rp8 TriliunWALHI Sulsel merilis catatan akhir tahun 2020 di sekretariatnya, Rabu (30/12/2020). IDN Times/Asrhawi Muin

Kerugian materiel juga dirasakan masyarakat yang terdampak. Akibat perampasan ruang karena proyek Makassar New Port dirasakan oleh 948 nelayan tradisional yang terdiri dari nelayan pancing, nelayan rajungan, dan perempuan nelayan kerang kanjappang. Total kerugian yang dialami mereka selama 257 hari belakangan adalah kurang lebih Rp54 miliar.

"Nelayan rugi Rp200 ribu per hari. Jika dikaitkan dengan jumlah nelayan terdampak MNP memberikan kerugian materiil bagi nelayan Rp54.965.880.000," katanya.

Selain itu sebanyak 132 petani menjadi korban sejak adanya aktivitas tambang di Sungai Bila Kabupaten Sidrap. Ada 502 hektare lahan pertanian yang terdampak. Total kerugian yang dialami oleh petani dengan persentase jumlah luasan lahan tani sekitar 502 hektare yakni berkisar Rp36.144.000.000 per tahun.

Sementara bencana banjir dan longsor di Luwu Timur telah mengakibatkan kerusakan infrastruktur di antaranya 10 unit sekolah, 5 unit fasilitas kesehatan dan 14 unit rumah ibadah. Dari bencana ekologis tersebut total kerugian diperkirakan mencapai Rp8 triliun.

Adapun total kerugian materiil masyarakat Sulawesi Selatan sepanjang 2020 akibat perampasan ruang hidup, perusakan lingkungan dan bencana ekologis mencapai Rp8,24 triliun. Kerugian ini meningkat dibanding tahun lalu yang mencapai Rp2,3 trilliun.

"Kami minta kepada pemerintah untuk memperbaiki kualitas lingkungan hidup di Sulsel tapi kerugian justru meningkat," kata Slamet.

Baca Juga: [KALEIDOSKOP] Bencana Banjir Jadi Momok di Sulsel Sepanjang 2020 

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya