TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kejati Mengendus Permainan Mafia Tanah di Proyek Bendungan Paselloreng

Ada yang mengklaim lahan hutan untuk mendapatkan ganti rugi

Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. pu.go.id

Makassar, IDN Times - Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan mencium ada permainan mafia tanah pada proyek Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo. Penyidik kejati menaikkan status penyelidikan ke tahap penyidikan pada kasus itu.

Presiden Joko Widodo meresmikan Bendungan Paselloreng pada September 2021. Namun Kejati Sulsel menemukan dugaan permainan mafia tanah pada proses pembebasan lahan dan ganti rugi senilai total Rp75,6 miliar.

"Kemarin 20 Juli di hadapan saya dan seluruh pejabat utama, tim penyidik melaksanakan ekspose dan seluruh tim penyidik sependapat untuk menaikan kasus ke tahap penyidikan," kata Kepala Kejati Sulsel Leonard Eben Eze SImanjuntak pada konferensi pers di kantornya di Makassar, Jumat petang (21/7/2023).

"Tim menemukan ada peristiwapidana, selanjutnya akan dilakukan pengumpulan alat bukti, dengan bukti itu membuat terang kasus ini, dan akan ditemukan siapa yang paling bertanggung jawab," dia melanjutkan.

Baca Juga: Bendungan Paselloreng Suplai Air ke 8.500 Hektar Sawah

Baca Juga: Profil Bendungan Paselloreng di Wajo yang Diresmikan Jokowi

1. Begini dugaan permainan mafia tanah di proyek Bendungan Paselloreng

Ilustrasi sebidang tanah. (Dok. IDN Times/Tri Murti/bt)

Leonard menjelaskan, Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pompengan Jeneberang mulai membangun fisik Bendungan Paselloreng di Wajo pada tahun 2015. Saat itu Gubernur Sulsel mengeluarkan keputusan penetapan lokasi pengadaan tanah pembangunan.

Awalnya, lahan atau tanah itu masih masuk dalam Kawasan Hutan Produksi Tetap (HPT) Lapaiepa dan Lapantungo. Setelah berproses, pada 28 Mei 2019, terbit Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesian Nomor: SK.362/MENLHK/SETEEN/PLA.0/5/2019 tentang perubahan kawasan hutan jadi bukan hutan.

Dalam surat itu disebutkan, kawasan hutan menjadi bukan hutan seluas 91.337 hektare. Perubahan fungsi kawasan hutan seluas 84.032 hektare dan penunjukan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan seluas 1.838 hektare. Peralihan status kawasan hutan jadi bukan hutan kemudian dimanfaatkan orang tertentu dengan mengklaim lahan sebagai penguasaannya.

"Setelah ada surat itu dan mendengar lokasi tersebut akan dibangun bendungan, ada oknum-oknum (mafia tanah). Mohon izin oknum ini kita tidak sebutkan karena ini dalam penyelidikan kami," ungkap Leonard.

2. Ada pihak menerbitkan 246 sporadik di BPN Wajo

Kepala Kejati Sulsel, Leonard Eben Ezer Simanjuntak (tengah). (Dahrul Amri/IDN Times Sulsel)

Meski tidak menyebutkan pihak yang dimaksud, Leonard membeberkan bagaimana mereka memanfaatkan situasi dan mengambil keuntungan. Yaitu dalam hal ganti rugi pembebasan lahan bendungan.

Leonard menyebutkan, oknum itu memerintahkan beberapa pegawai honorer di kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Wajo membuat surat pernyataan penguasaan fisik bidang tanah atau sporadik kolektif.

"Sproradik kolektif ini (dibuat) sebanyak 246 bidang tanah pada tanggal 15 April 2021. Lalu sproradik diserahkan ke masyarakat dan kepala desa Paselloreng dan Arajang untuk ditandatangani," Leonard membeberkan.

"Sehingga dengan ratusan sporadik tersebut seolah-olah masyarakat di sana telah menguasai tanah tersebut (sejak lama), padahal diketahui tanah tersebut adalah kawasan hutan yang sudah dijelaskan," sambungnya.

Disebutkan, masyarakat juga mengklaim lahan tersebut juga sebagai lahan garapan atau perkebunan. Tapi berdasarkan penyelidikan dan foto citra satelit pada tahun 2015 lahan yang dimaksud adalah hutan.

"Dengan demikian, lahan itu tidak termasuk kategori lahan garapan sebagaimana ketentuan dalam peraturan Presiden nomor 88 tahun 2017 tentang penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan," ujar Leonard.

Baca Juga: Wajo Kembali Produksi Kokon Sutra usai Vakum 20 Tahun

Berita Terkini Lainnya