TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Akademisi Unhas: Tapera Bukan Solusi buat Orang Tak Punya Rumah

Tidak semua orang memprioritaskan punya rumah

Contoh Rumah dari manfaat Tapera (tapera.go.id)

Makassar, IDN Times - Peraturan Pemerintah (PP) No 21 Tahun 2024 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) kian menuai kritik. Pemerintah mewajibkan pekerja membayar iuran dari gaji atau upah mereka untuk Tapera.

Besaran simpanan peserta untuk peserta pekerja ditanggung bersama oleh pemberi kerja sebesar 0,5 persen dan pekerja sebesar 2,5 persen. Untuk pekerja mandiri, dana kelolaan akan diatur langsung oleh Badan Pengelola (BP) Tapera.

Dosen Ekonomi Bisnis Universitas Hasanuddin, Andi Nur Bau Massepe, menilai kebijakan tersebut bukan solusi bagi masyarakat yang tidak punya rumah setidaknya untuk saat ini. Hal itu karena kondisi perekonomian yang sedang tidak baik.

"Harga-harga naik, masyarakat juga banyak yang tercekik dengan kebutuhan. Kalau disuruh membayar apalagi kalau paksaan kewajiban begitu, tidak. Saya rasa itu bukan solusi. Pasti banyak yang tidak mau. ," kata Andi Nur kepada IDN Times, Kamis (30/5/2024).

Baca Juga: Sarikat Buruh di Sulsel Khawatir Iuran Tapera Diselewengkan

1. Pemerintah seharusnya evaluasi kinerja BP Tapera

Potret komplek perumahan bersubsidi dari program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). (dok. Kementerian PUPR)

Di sisi lain, Andi Nur juga tidak setuju dengan kebijakan tersebut. Menurutnya, pemerintah hendaknya mengevaluasi kinerja BP Tapera dulu selaku pengelola jika memang ingin memberlakukan kebijakan tersebut.

"BP Tapera kan dibentuk oleh peraturan pemerintah di bawah Kementerian Keuangan dimandatkan untuk mengatasi solusi perumahan. Tapi apa hasilnya, ternyata BP Tapera ini tidak capai target kan," kata Andi Nur.

Dia juga menilai tata kelola BP Tapera juga tidak baik, tidak transparan dan tidak punya database. Dengan kata lain, manajemen BP Tapera masih amburadul.

"Tidak tercapai misi yang dulu untuk perumahan. Terus logikanya, organisasi ini juga kan lagi amburadul tidak bagus tata kelolanya kemudian disuruh lagi mengelola dana. Benahi dululah manajemen BP Tapera, aturan yang dulu diperketat baru pemerintah melakukan fundraising (pengumpulan dana)," lanjut Andi Nur.

2. Rawan disalahgunakan dan membebani pekerja

Potret komplek perumahan bersubsidi dari program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). (dok. Kementerian PUPR)

Andi Nur menilai sistem pengambilan dana dari masyarakat seperti ini lebih cenderung berbahaya. Apalagi, ada kekhawatiran dana itu tidak dipakai atau bahkan dipakai untuk hal lainnya.

Tapera mungkin bisa saja diterapkan tapi persoalannya itu semua dikontrol oleh pusat. Jika sudah begitu, pasti akan berbicara lagi soal politik anggaran dan pendanaan.

"Kita kan tidak tahu pemanfaatannya. Siapa yang mau awasi. Persolan regulasinya belum sampai seperti itu. Nanti bisa rawan korupsi lagi, rawan disalahgunakan dan lain sebagainya," kata Andi Nur.

Selain itu, kebijakan ini justru akan membebani masyarakat pekerja. Pekerja akan merasa berat ketika gajinya dipotong untuk Tapera. Belum lagi jika kondisinya sedang susah. Lagipula, tidak semua orang memprioritaskan untuk punya rumah.

"Belum lagi iuran BPJS sudah memberatkan. Menurut saya, orang masih masuk akal kalau dipotong BPJS karena itu bicara kesehatan dibanding perumahan. Perumahan kan sekunder. Bukan primer. Kalau kesehatan saya rasa itu," kata Andi Nur.

Berita Terkini Lainnya