[WANSUS] Ketua BEM Unhas Bicara Aksi Mahasiswa Era Millennial

Melihat gejolak politik terkini dari mata Abdul Fatir Kasim

Makassar, IDN Times - Di tengah antusiasme masyarakat dalam merespons kebijakan negara terkini, muncul beberapa figur pemimpin mahasiswa di media-media nasional. Mereka silih berganti hadir di layar kaca mengeluarkan pendapatnya. Namun, beda hal dengan kampus-kampus Indonesia Timur yang seolah luput dari amatan.

Jauh dari sorotan kamera tak membuat Abdul Fatir Kasim, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Hasanuddin, berkecil hati. Pemuda kelahiran Pangkep, 4 Mei 1997 ini selalu bersemangat memimpin ribuan rekan se-almamater merah dalam dua kesempatan demonstrasi yakni pada 24 dan 30 September.

Pemberitaan seputar aksi mahasiswa Makassar hanya seputar rusuh antara aparat keamanan dan sejumlah massa. Alhasil, apa yang terjadi dalam proses audiensi dengan anggota DPRD Sulawesi Selatan luput dari amatan. Nah, IDN Times berkesempatan mewawancarai mahasiswa Teknik Industri angkatan 2014 tersebut pada Selasa (8/10) kemarin.

Fatir --sapaan akrabnya-- pun berbicara banyak hal mulai dari aksi mahasiswa Kota Daeng selama September lalu, pendapatnya perihal UU KPK dan sejumlah RUU yang dianggap bermasalah, kasus tindakan represif yang dialami sejumlah mahasiswa di sejumlah tempat, posisinya sebagai millennial memandang politik, dan masih banyak lagi. Berikut ini hasil wawancaranya.

1. Apa saja sih tuntutan mahasiswa Makassar untuk pemerintahan Joko Widodo dan DPR-RI? Dan menurut kamu, gimana DPRD Provinsi Sulawesi Selatan merespons poin-poin keberatan yang disampaikan oleh aliansi mahasiswa?

[WANSUS] Ketua BEM Unhas Bicara Aksi Mahasiswa Era MillennialIDN Times/Achmad Hidayat Alsair

Tanggal 24 September kemarin, semenjak 15 tahun vakum, BEM Unhas kembali turun aksi. Jadi saya merasa bahwa ini momentum BEM Universitas diuji dalam ruang lingkup pergerakan karena momentumnya di saat riak di jalanan tercipta.

Kalau soal tuntutan, BEM Unhas itu fokus ke satu isu dahulu yaitu #SaveKPK. Ini kita angkat karena yang sudah disahkan oleh DPR adalah UU KPK dan tinggal menunggu pengesahan dari Presiden. Namun meski tidak ditandatangani oleh Presiden sekalipun, UU ini secara hierarki hukum akan tetap berlaku.

Kami minta kepada Presiden Joko Widodo, selama masa waktu 30 hari itu, kita berharap ada tindakan untuk menghentikan usaha pemberlakukan UU KPK. Caranya dengan menggunakan hak prerogatifnya dengan menerbitkan Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang (Perppu). Kami menolaknya secara substansi dan eksistensi.

Kalau pun ada yang diubah nantinya, harusnya adalah sanksi seperti pemberatan sanksi sebagai peringatan efektif untuk koruptor. Entah itu penambahan hukuman penjara atau malah hukuman mati.

Terkait respons dari DPRD Sulsel, pada aksi 24 September kemarin sudah ada anggota dewan yang turun ke lapangan. Namun yang didatangi itu hanya demonstran dari Unhas yang saat itu meski berpencar sana-sini, sebagian besar terkonsentrasi di Gedung Graha Pena (karena kondisi rusuh). Pihak DPRD Sulsel mungkin kebingungan hendak menghampiri yang mana, sehingga massa Unhas pun dipilih. Dia menyampaikan bahwa akan ada forum dialog yang diinisiasi mahasiswa. Namun setelah disampaikan, tidak ada forum hingga 30 September (hari terakhir masa jabatan 2014 - 2019).

Pada Senin 30 September lalu, sudah ada penyampaian dari DPRD kepada kami untuk memilih satu orang yang dikirim ke Jakarta untuk menyampaikan tuntutan. Namun pada saat itu juga kami menolak dengan dua alasan. Pertama, jika satu orang saja yang dipanggil, itu akan memunculkan kecurigaan akan terjadi kongkalikong antara orang DPR dengan mahasiswa yang ikut di sana. Kedua, yang kami minta adalah penolakan ini bersifat resmi dari DPRD Sulsel dan bukan dari mahasiswa lagi. Nah, jika penolakan berasal dari seluruh Indonesia, tentu akan memunculkan peluang bahwa sejumlah RUU bermasalah dan UU KPK akan ditolak atau setidaknya dikaji kembali.

Yang saya apresiasi adalah aksi terakhir yang diikuti Unhas (30 September) berlangsung damai, tak berakhir rusuh seperti beberapa aksi sebelumnya. Mungkin itu dijadikan bahan pertimbangan utama para demonstran. Namun, ini belum memuaskan karena satu-satunya yang kami mau adalah dicabutnya segala RUU yang tidak memihak rakyat.

Baca Juga: Rektor Unhas Sebut Gerakan Mahasiswa Murni untuk Kepentingan Rakyat

2. Terlepas dari rencana terbitnya Perppu KPK, sejumlah produk legislasi DPR periode 2014 – 2019 yang dianggap bermasalah ternyata dioper kepada para penghuni baru Senayan. Sejauh mana sih kalian bakal mengawal proses legislasi susulan tersebut?

[WANSUS] Ketua BEM Unhas Bicara Aksi Mahasiswa Era MillennialIDN Times/Aan Pranata

Di periode tersebut ada revisi UU dan RUU, yang lihat urgent mulai dari KUHP, Pertanahan, Minerba hingga PKS. Namun kami lihat UU ini dibahas tanpa perencanaan yang matang. Kita kesampingkan dulu RUU bermasalah dan membahas UU KPK. Undang-Undang tersebut tidak didahului proses yang saya sebut tadi.

Memang sudah ada draft pada 2015, dibahas pada 2017 dan mau disahkan di 2019. Hanya saja yang jadi pertentangan kita, UU KPK tidak masuk dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional) dan menuai kontroversi karena dibahas secara buru-buru, tak sampai dua pekan. Anggota DPR-RI berpendapat tak semua RUU harus dimasukkan dalam Prolegnas.

Prolegnas adalah tolak ukur RUU ini bersifat penting. Kalau sudah masuk Prolegnas, artinya sudah ada capaian-capaian ke depan yang akan disusun. Ini tidak ada sama sekali. Ada kesan terburu-buru, lantaran dari pembahasan dan pengesahan hanya memakan waktu dua pekan.

Banyak pendapat juga muncul, seperti yang dikatakan bang Fahri (Fahri Hamzah, Wakil Ketua DPR-RI 2014 - 2019) yang bertanya kenapa korupsi masih merajalela. Dari pandangan saya, hadirnya Dewan Pengawas justru melemahkan KPK dalam mengambil keputusan.

Pada visi-misi Pilpres 2019, Joko Widodo berjanji memperkuat KPK melalui penambahan anggaran. Namun kenapa bukan itu yang dijalankan? Kalau case study-nya adalah kenapa angka korupsi masih tinggi, solusi yang bisa ditawarkan adalah buat lebih menakutkan sanksi untuk para koruptor.

Beda lagi dengan apa yang disampaikan pak Moeldoko (Kepala Staf Kepresidenan) yang menyebut KPK menghambat investor dan laju perekonomian. Pernyataan tersebut memunculkan kecurigaan berlebihan di publik.

UU KPK dan RUU KUHP justru jadi dua sisi yang berbeda. Yang satu meringankan pelaku kejahatan, yang lain merugikan masyarakat. Mungkin saja ini upaya untuk mengeruk uang dari rakyat biasa melalui hukuman denda-denda tak masuk akal. Ini mencekik.

Harapan untuk yang sekarang menduduki posisi penting sebagai "katanya" wakil rakyat (DPR RI periode 2019 - 2014), saya berharap ada analisis lebih matang lagi. Kalaupun belum bisa diterapkan, ya jangan dulu. Perlu pikiran dari berbagai pihak. Untuk UU KPK sendiri ada dua solusi konkret secara mekanisme konstitusi. Ada penerbitan Perppu atau pengajuan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.

3. Jika membaca berita-berita dari media belakangan ini, DPR disebut "terburu-buru" dalam merancang produk legislasi. Menurut kamu, apa sih yang paling dibutuhkan para legislator itu untuk membuat RUU jadi komprehensif?

[WANSUS] Ketua BEM Unhas Bicara Aksi Mahasiswa Era MillennialANTARA FOTO/M Risyal Hidayat

Saya harap ada analisis lebih matang, panjang dan tukar pikiran dengan berbagai pihak. Seperti pasal KUHP perihal gelandangan (Pasal 505). Ada beberapa faktor kenapa mereka ada, mulai dari putus sekolah atau ketiadaan lapangan kerja yang bisa mereka masuki. Apa kira-kira yang mereka bisa lakukan untuk melepas status tersebut.

Ini adalah tanggung jawab orang-orang di eksekutif untuk mewadahi. Saya pribadi oke saja dengan pasal tersebut asalkan gelandangan yang ada di Indonesia ini didata secara rinci. Ini baru satu pasal, belum pasal-pasal lain yang sekali lagi membutuhkan analisis penyebab dan solusi apa yang ditawarkan.

Jika itu semua sudah dilakukan, saya yakin RUU ini bisa diterima masyarakat secara luas dan potensi penolakan bisa diminimalisir. Hal yang sama bisa dilakukan untuk pasal-pasal lain dalam RUU KUHP.

4. Belum lekang dari ingatan publik tentang tindakan represif pihak berwenang ketika membubarkan pengunjuk rasa di berbagai tempat di Indonesia. Gimana pendapatmu?

[WANSUS] Ketua BEM Unhas Bicara Aksi Mahasiswa Era MillennialANTARA FOTO/Jojon

Terkait dengan tindakan represif, ini adalah konsekuensi dari pengerahan banyak massa yakni risiko adanya anggota yang melakukan hal bertentangan dengan aturan. Jika ada satu atau dua orang yang berulah, dampaknya akan dirasakan oleh semua termasuk ketuanya selaku individu yang mengerahkan massa.

Hal yang sama juga dirasakan oleh aparat keamanan. Mereka memegang prinsip damai, namun ada segelintir orang yang mendengar instruksi dari pimpinan. Itulah konsekuensi dan kekhawatiran yang kami hadapi. Namun dari banyak video yang beredar di media sosial, kelihatan bahwa tak ada makna "mengamankan", tapi sudah masuk dalam ranah konteks "menganiaya".

Kalau ada demonstran yang berulah, idealnya si perusuh ini langsung diamankan, entah dimasukkan ke mobil misalnya atau diborgol. Namun yang ada para perusuh setelah diamankan juga menerima penganiayaan fisik. Meski menerima amanah dari negara, bukan berarti sisi kemanusiaan harus dikesampingkan. Itu yang menjadi persoalan. Kesan mengayomi seolah hilang.

Insiden selama beberapa pekan terakhir akan menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat. Coba pikir anggota Kepolisian di daerah yang sama sekali tidak ikut dalam pengamanan demonstrasi, mereka bisa saja ikut menanggung risiko. Semisal ada mahasiswa yang jadi korban penganiayaan, pembalasan justru menyasar mereka (polisi) yang tidak terlibat. Kami tidak menginginkan hal demikian terjadi.

Baca Juga: Polisi Temukan 15 Molotov Siap Bakar Usai Demo Ricuh di Depan Unhas

5. Maaf sedikit melebar, saya jadi ingat dengan kasus penangkapan Dandhy Laksono dan Ananda Badudu beberapa waktu lalu. Mereka berdua dijerat menggunakan UU ITE. Gimana anggapanmu soal tudingan bahwa UU tersebut berpotensi memberangus kritik?

[WANSUS] Ketua BEM Unhas Bicara Aksi Mahasiswa Era MillennialANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

Soal pemerintahan anti-kritik, saya memang sudah melihat demikian. Menghina Presiden dengan perkataan tak pantas memang tak wajar, tapi jangan sampai menghina di sini adalah kritik yang biasa-biasa saja. Saya rasa kalau tidak mau dikritik, ya jangan jadi pemimpin. Pemimpin harus pro terhadap kritik. Baik saya atau presiden, sama-sama manusia yang tak luput dari kesalahan.

Harusnya kesalahan itu dicari dan diperbaiki, dengan cara melibatkan banyak orang yang memiliki ide berbeda-beda. Kalau ada kesalahan yang diperbuat, mintalah pendapat dari orang lain untuk membantu mencari solusi masalah. Jangan merasa apa yang disampaikan Presiden itulah yang benar. Tidak boleh.

Kita mengkritik bukan untuk mengacaukan, melainkan memperbaiki tatanan bangsa dan negara. UU ITE mungkin sudah tepat, tapi pengimplementasiannya kadang hanya menguntungkan satu-dua pihak.

6. Millennial sekarang diibaratkan mesin penggerak baru aksi-aksi kritik. Ini jelas gak sesuai dengan stereotype kalo mayoritas dari kita semua adalah golongan apatis. Gimana kamu memandang kehadiran anak muda dalam dunia aktivisme?

[WANSUS] Ketua BEM Unhas Bicara Aksi Mahasiswa Era MillennialIDN Times/Aan Pranata

Stereotype masih asumsi dari sebagian golongan. Tetapi saya melihat membludaknya massa aksi September kemarin yang komprehensif di berbagai daerah, ini pertanda bahwa anak muda hari ini sudah menilai politik sebagai hal serius. Ini kalau kita menyimpulkan turun aksi sebagai sikap tak apatis.

Namun yang perlu diingat bahwa tidak selamanya massa aksi turun karena faktor kesadaran, pemahaman akan tuntutan serta kondisi. Menurut saya, secara mayoritas mungkin belum. Tetapi ingat, orang turun aksi itu tak selamanya karena faktor kesadaran, tetapi juga faktor simpatisan. Beberapa rekan mahasiswa pun secara mayoritas mungkin lebih banyak yang menyentuh ranah simpatisan ini.

Tetapi yang perlu diingat, turun aksi tak harus paham atau sadar masalah dulu, menjadi simpatisan saja sudah cukup. Ketika teman-teman bergabung dalam demonstran sementara Anda tidak, tentu ada perasaan sendiri. Prinsipnya kan turun aksi harus banyak massa. Selain itu, tendensinya akan berbeda untuk para pemangku jabatan jika berurusan dengan massa dalam jumlah besar.

Soal apatis atau tidak, apatis tidak berarti karena tak setuju dengan riak September kemarin. Tetapi ada juga yang turun karena faktor ada masalah di negara ini. Mereka pun berusaha mencari tahu isu apa yang diangkat meski mungkin belum memadai.

Kita harus paham lebih dulu perihal makna "aktivis", apalagi kalau terjadi pergeseran makna dulu dan sekarang. Kini gaya penyampaian kritik tak selalu turun ke jalan, ada juga yang membuat petisi-petisi dan kampanye media sosial.

Soal anak muda yang kemudian menyuarakan tuntutan, saya kira tepat juga melalui televisi nasional di Jakarta sebagai pusat media. Sehingga mahasiswa yang mengisi forum-forum itu dianggap telah mewakili aspirasi mahasiswa secara umum. Sebagai respons, Presiden pun langsung menanggapi. Ini positif.

7. Menurut survey terbaru, total populasi millennial di Indonesia sudah mencapai 23,77%, nyaris seperempat dari jumlah penduduk. Trennya pun akan bertambah seiring tumbuhnya Generasi Z. Menurut kamu, apa sih yang bisa ditawarkan anak muda bagi perbaikan politik di Indonesia?

[WANSUS] Ketua BEM Unhas Bicara Aksi Mahasiswa Era MillennialIDN Times/Irwan Idris

Saya kira penting bagi anak muda hadir memberikan ide-ide cemerlang yang membangun bangsa dan negara ini. Anak muda secara umur masih mampu menganalisis segala permasalahan yang muncul.

Namun saya melihat mereka terlalu mudah dalam mencari popularitas. Itu dialami ketika memegang posisi-posisi politis. Ini adalah kekurangan. Era sekarang adalah era di mana orang-orang berusaha mencari popularitas dengan berbagai cara. Ini jelas berujung pada disorientasi.

Jadi anak muda sekarang sangat diharapkan ide-idenya, karena masih idealis-idealisnya. Apalagi kalau baru saja lulus membawa ilmu dan semangat dari bangku kuliah kemudian terjun ke masyarakat.

Menilai peran anak muda dalam politik, beberapa tahun lagi kan akan terjadi bonus demografi di mana kita memegang dan terlibat langsung dalam posisi penting negara ini. Saya optimis kita semua bisa menjadi energi baru.

8. Bagaimana kamu memandang kondisi organisasi intra kampus di Unhas? Setelah satu dekade lebih BEM Universitas gak eksis, apakah ada kendala dalam menyatukan seluruh organisasi mahasiswa di Universitas Hasanuddin?

[WANSUS] Ketua BEM Unhas Bicara Aksi Mahasiswa Era MillennialIDN Times/Achmad Hidayat Alsair

Di pembentukan pertama BEM Unhas setelah 15 tahun, yang menjadi kendala adalah menyamakan persepsi. Saya juga bertanya ke senior-senior dulu, mereka memandang perbedaan pendapat yang selalu muncul jadi faktor utama. Kalau yang menjadi tolak ukur adalah kesamaan persepsi, mungkin BEM Unhas satu abad pun takkan lahir.

Jadi untuk melahirkan suatu perubahan, tidak harus sempurna. Saya menempatkan BEM Universitas (BEM-U) seperti proses yang harus dijalani. Negara ini saja diinisiasi sepuluh sampai dua belas individu tanpa menunggu persetujuan ratusan juta orang. Jangan samakan dengan masa bakti lembaga pemerintahan yang mencapai lima tahun, kami bahkan tak cukup setahun.

Silakan berproses nantinya bagaimana. Ketika sudah menemukan titik terang, silakan bergabung. Jika ada yang dirasa salah, perbaiki dengan cara masuk. Jangan mengkritisi dari luar, padahal ada peluang untuk bergabung.

Contohlah pesawat yang harus direncanakan sedemikian rupa dan dirakit sebelum terbang. Artinya sudah ada proses aksi yang terjadi. Nanti saat mendarat dicari tahu apa saja yang harus diperbaiki lagi. Kalau tak melalui proses lepas landas alias mengudara, kita tak pernah tahu apa saja masalahnya kan?

Yang perlu diluruskan, sejumlah BEM tingkat fakultas itu tidak diakui bukan karena menolak kehadiran BEM-U tapi karena PR Ormawa. Pertanyaan saya terhadap dekanat-dekanat terkait, kenapa tidak dibekukan sejak awal? Justru dibekukan saat saya terpilih. Jadi sepertinya ada oknum yang memanfaatkan momentum ini untuk mengacaukan.

Sebenarnya wacana BEM-U itu selalu dibahas setiap tahun namun terhalang oleh agenda lain. Perbedaan pasti ada, namun kondisi ini bisa ditolerir. Namun sekarang, orang-orang yang sempat menolak kini mulai terbuka berdiskusi tentang masalah tersebut. Saya tidak menutup ruang diskusi atau pertemuan informal perihal BEM-U ini.

Selamat bekerja, Fatir!

Baca Juga: Ribuan Mahasiswa Unhas 'Long March' ke DPRD Sulsel

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya