IWD 2022: Isu Gender dan Krisis Iklim Sama Krusialnya di Mata Ninis

Perempuan adalah pihak pertama terkena benturan krisis iklim

Makassar, IDN Times - International Women's Day (IWD) yang diperingati setiap 8 Maret dapat dimaknai dari berbagai sudut pandang. Tapi, semuanya tetap bermuara pada perempuan. Salah satunya Ninis, ibu rumah tangga yang juga fokus dengan isu lingkungan.

Semua berawal dari bangku SMA, saat ia mengikuti kegiatan yang diadakan WALHI Jawa Barat. Siapa sangka, film pendek yang diputar dalam acara tersebut amat membekas dalam pikirannya hingga sekarang. Plotnya adalah kondisi dunia yang kita tempati berubah muram dan kering tanpa pohon.

"Bumi dianalogikan sebagai seekor penyu dan bagaimana penyu (bumi) itu kemudian menangis karena aktivitas rakus manusia-manusia di atasnya," cerita Ninis kepada IDN Times, Selasa pagi (8/3/2022).

"Film itu juga menyampaikan pesan untuk anak cucu kita ke depannya. Bahwa mungkin mereka tidak akan pernah lagi melihat pohon, dan seterusnya. Itu mengerikan. Membayangkan itu terjadi ke keturunan saya, sangat mengerikan," lanjutnya.

1. Perhatian masyarakat pada krisis iklim rupanya masih minim

IWD 2022: Isu Gender dan Krisis Iklim Sama Krusialnya di Mata NinisIlustrasi krisis iklim di planet bumi (IDN Times/Aditya Pratama)

Pohon yang punah dari muka bumi mungkin masih menjadi bumbu plot sebuah film fiksi ilmiah pasca-apokalips. Tapi, krisis iklim yang terjadi saat ini bukan isapan jempol. Hujan yang semakin intens, siklus anomali cuaca hingga bencana banjir makin sering terjadi. Alhasil, pangan dan pertanian pun kian rentan.

Namun, perspektif tak banyak berubah. Ninis menyebut bahwa masyarakat kebanyakan masih belum sadar sepenuhnya dari bahaya yang mengintai. Malah bisa dibilang masih sangat minim. Ini berangkat dari keterlibatannya dalam beberapa survei, di mana krisis iklim jadi salah satu pertanyaan.

"Saat saya mengorek lebih jauh terkait isu ini, hampir semua responden tahu dengan pasti tetang 'perubahan iklim'. Tapi hanya sebatas itu. Mereka tidak tahu tentang "krisis" yang sesungguhnya. Dan bahkan tidak betul-betul paham dampaknya," ceritanya.

"Hanya sekadar 'Oh iya. Sekarang perubahan iklim betul-betul tidak terduga. Tadi panas, eh tiba-tiba hujan deras'," sambung Ninis.

2. Area hutan kota di Makassar disebut masih jauh dari memadai

IWD 2022: Isu Gender dan Krisis Iklim Sama Krusialnya di Mata NinisKondisi Lapangan Karebosi di Makassar. IDN Times/Asrhawi Muin

Pohon, sebagai penunjang kehidupan di bumi, agaknya jadi sesuatu yang langka dalam kota seperti Makassar. Belum lagi jika bicara tentang luas kawasan hutan kota yang belum bertambah. Meski kualitas udara ibu kota Sulawesi Selatan masih dalam level normal, paparan polusi kendaraan setiap hari tetap memberi dampak buruk bagi kesehatan.

Untuk menyisatinya, Ninis bersama sang anak, Pravda yang masih TK rutin menyambangi kampus Universitas Hasanuddin (Unhas) Tamalanrea di Jalan Perintis Kemerdekaan, salah satu kawasan hutan di dalam kota.

"Tujuannya mungkin terdengar receh bagi orang lain. Tapi bagi saya sangat krusial. Sekali seminggu itu saya 'refill oksigen' di taman tersebut. Iya. Sesusah itu mendapatkan udara bersih saat ini," katanya.

Bahkan kadang, saat melewati Jalan Perintis, Ninis rela melipir masuk ke dalam kawasan Unhas yang begitu asri meski cuma beberapa detik. Ia mengaku bahwa paru-parunya bisa sedikit lebih lega.

"Iya. Ini Makassar. Bagaimana mungkin kamu bisa leluasa bernafas saat pertumbuhan gedung lebih pesat dibanding pertumbuhan pohon?" tanya Ninis.

3. Peran anak muda amat penting dalam kampanye krisis iklim

IWD 2022: Isu Gender dan Krisis Iklim Sama Krusialnya di Mata NinisAksi gerakan sipil Extinction Rebellion Indonesia saat memperingati Hari Laut Sedunia 8 Juni 2021 di Kota Makassar. (Instagram.com/extinctionrebellion.id)

Selama beberapa bulan terakhir, Ninis sering menemani Pravda yang kerap mengikuti aksi komunitas Extinction Rebellion (XR). Prinsip tanpa kekerasan XR dianggap sangat cocok dengan sang buah hati. Terlebih setiap kampanye XR selalu kreatif, tanpa mengikis muatan isu yang diangkat.

"Menurut saya, metode kampanye yang dilakukan XR memberikan warna baru di antara lautan aksi massa dari massa aksi di Makassar," ungkapnya.

"Untuk XR Chapter Makassar sendiri, tidak hanya aktif bersuara terkait krisis iklim tapi juga berdiri bersama mereka yang sumber kehidupannya sudah dihilangkan," lanjut Ninis, merujuk pada isu tambang di Sulawesi Tengah dan masih banyak lagi.

Ninis mengakui peran anak muda dalam kampanye isu krisis iklim sangat penting. Tapi secara pribadi ia menolak jargon "agen perubahan" yang disebutnya sarat heroisme dan melebih-lebihkan.

"Tapi, saya tidak menafikan bahwa anak muda memegang tanggung jawab lebih untuk perubahan sosial. Apalagi di era teknologi seperti ini," katanya.

"Ada yang mistis dari spirit 'anak muda' yang bisa menular dengan cepat. Jadi, kenapa tidak kita gunakan untuk mengalirkan kebenaran?" imbuh Ninis.

4. Krisis iklim dan isu gender berkaitan sangat erat

IWD 2022: Isu Gender dan Krisis Iklim Sama Krusialnya di Mata NinisGERAK Perempuan lakukan aksi di Monas untuk memeringati hari International Women’s Day, di halaman Monas, Minggu (8/3) (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Lebih jauh, ia menyebut ada kaitan erat antara krisis iklim dan isu gender. Semua berasal dari kapitalisme yang ekspansif dan eksploitatif, hingga akhirnya perempuan selalu menjadi korban lebih dulu.

"Sederhananya seperti ini. Mari kita lihat siapa yang paling terdampak langsung dari setiap konflik lingkungan hidup? Di setiap perampasan lahan, penggusuran, perampasan ruang hidup dan lain-lain, perempuan lah yang paling terdampak," jelas Ninis.

"Sistem kapitalisme yang membelenggu dan budaya patriarki yang mengakar kuat memposisikan perempuan sebagai bumper. Yang paling awal menerima benturan," sambungnya.

Bagi Ninis, alam dan perempuan serupa dalam beberapa hal. Sama-sama sumber kehidupan, sama-sama dieksploitasi, dan sama-sama menjadi sasaran kerakusan dan hasrat ingin menguasai.

"Di setiap bencana, perempuan yang paling sibuk mencari cara bertahan hidup. Di setiap perubahan, perempuan yang paling rentan mendapat kekerasan akibat perubahan tersebut," tegasnya.

Baca Juga: Extinction Rebellion, Aksi Langsung Para Pemuda Melawan Krisis Iklim

5. Aksi sederhana mencegah krisis iklim memburuk bisa dilakukan di rumah

IWD 2022: Isu Gender dan Krisis Iklim Sama Krusialnya di Mata NinisNinis (kanan) bersama sang buah hati Pravda (tengah) dalam salah satu aksi komunitas Extinction Rebellion di Makassar. (Dok. Extinction Rebellion Chapter Makassar)

Meski demikian, semua berhak ikut serta mencegah krisis iklim memburuk dengan cara sederhana. Seperti pepatah China yang mengatakan "perjalanan ribuan mil selalu dimulai dengan satu langkah." Ninis pun membagi tipsnya.

"Hal terkecil yang bisa saya lakukan saat ini adalah memisahkan sampah di rumah dan mengurangi penggunaan plastik sekali pakai," jelasnya.

"Ini kecil. Tapi bayangkan jika ratusan juta penduduk Indonesia melakukan hal yang sama. Mungkin, anak cucu kita bisa punya secercah harapan. Mungkin," sambung Ninis.

Yang ia sayangkan, pemerintah ternyata belum mengakomodir masalah pemisahan sampah. Jadi mayoritas rumah tangga masih melakukan cara-cara lama, sekadar tumpuk di tong dan menunggu petugas mengantar ke tempat pembuangan akhir.

Kedua dan paling penting, membangun kesadaran atas pentingnya merawat lingkungan dalam keluarga.

"Hal selanjutnya (yang saya lakukan) adalah bercerita ke Pravda tentang krisis. Bahwa mungkin, masa depan tidak ada kalau semua masih seperti ini," paparnya.

"Kita punya cara masing-masing kan? Apapun itu, tell the truth and act now," pungkas Ninis.

Baca Juga: LBH Makassar: Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak Sangat Tinggi di 2021

Topik:

  • Irwan Idris

Berita Terkini Lainnya