Menyoal SKB 11 Menteri: Kegagapan Jokowi Tangani Radikalisme

Apakah Indonesia sudah memasuki darurat radikalisme?

Jakarta, IDN Times - "Tidak ada toleransi sedikit pun bagi yang mengganggu Pancasila!” kata Joko “Jokowi” Widodo, pada pidato pertamanya sebagai presiden terpilih periode 2019-2024 di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Minggu 14 Juli 2019.

“Tidak ada lagi orang Indonesia yang tidak menghargai penganut agama lain, warga suku lain, dan etnis lain. Sekali lagi, ideologi kita adalah Pancasila!” Jokowi menegaskan. Penuh keyakinan. Tanpa keraguan.

Membumikan Pancasila menjadi visi andalan Jokowi hingga lima tahun ke depan. Salah satu cara mengaktualisasikannya adalah dengan melawan radikalisme. Sebab, radikalisme memiliki cita-cita untuk mengubah ideologi bangsa, serta membredel Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang selama ini sudah dianggap final.

Kendati belum genap 100 hari kerja, komitmen Jokowi melawan radikalisme sudah tercermin melalui 38 orang pilihan yang tergabung dalam Kabinet Indonesia Maju.

Publik cukup terkejut dengan penunjukan Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi sebagai Menteri Agama. Biasanya, kursi kementerian tersebut diduduki oleh kader Nahdlatul Ulama (NU). Seusai dilantik, mantan Wakil Panglima TNI itu mengutarakan tugas khusus yang diamanatkan Jokowi kepadanya.

“Saya juga berpikir, mungkin beliau (Jokowi) membayangkan juga bahwa belakangan ini potensi-potensi radikalisme cukup kuat, sehingga beliau berpikir pasti Pak Fachrul, mungkin, punya terobosan-terobosan dalam kaitan menangkal radikalisme,” paparnya di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu, 23 Oktober 2019. 

Alih fungsinya Tito Karnavian dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) menjadi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) juga mendapat perhatian. Rekam jejaknya dalam dunia kontra-terorisme tidak lagi diragukan. Dia pernah menjabat sebagai Kepala Densus 88 Antiteror, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan merupakan guru besar bidang stratejik dan kontra-terorisme.

Kemudian, Jokowi menunjuk Idham Azis sebagai Kapolri. Polisi angkatan 1988 ini dikenal setelah berhasil melumpuhkan teroris nomor wahid, Dr Azhari, yang merupakan dalang Bom Bali. Dia juga berhasil menangkap dedengkot Mujahidin Indonesia Timur (MIT), Santoso, yang selama ini bersembunyi di Poso.

Lantas, menarik untuk dipertanyakan, apakah postur kabinet hari ini sudah ideal untuk melawan radikalisme?

Baca Juga: Kemenkominfo Tutup 11 Situs Penyebar Ajaran Radikalisme

1. SKB 11 Menteri soal radikalisme di kalangan ASN

Menyoal SKB 11 Menteri: Kegagapan Jokowi Tangani RadikalismeANTARA FOTO/Wahyu Putro A

Sejak Jokowi dilantik, narasi anti-radikalisme kerap mengisi tajuk utama pemberitaan. Mulai dari pernyataan Menag Fachrul tentang jenggot dan cadar bukan sebagai indikator ketakwaan, imbauan bagi aparatur sipil negara (ASN) untuk tidak menggunakan celana cingkrang, hingga polemik AD/ART Front Pembela Islam (FPI) yang dianggap bertentangan dengan Pancasila.

Salah satu langkah kontra-radikalisme yang dihujani kritik adalah penandatanganan Surat Keputusan Bersama (SKB) 11 Kementerian/Lembaga tentang penanganan radikalisme di kalangan ASN. Pihak yang terlibat adalah Kemenpan RB, Kemendagri, Kemenkumham, Kemenag, Kemendikbud, dan Kemenkominfo.

Komitmen tersebut juga melibatkan Badan Intelijen Negara (BIN), BNPT, Badan Kepegawaian Nasional (BKN), Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), dan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).

Menurut Komisioner KASN, Arie Budhiman, keberadaan SKB 11 Menteri merupakan hasil pemikiran bersama. Urgensinya untuk mengingatkan 4,2 juta ASN bahwa Pancasila adalah ideologi yang sudah final.

“Jadi SKB ini cara pandang rumah tangga kami, itu menjadi instrumen preventif, mitigasi ideologi radikal, dan respons pemerintah yang ingin menjaga ASN. Kami sampaikan, ASN harus profesional. Lakukan pelayanan publik, tidak hanya baik, tapi juga berintegritas,” kata Arie sebagaimana dikutip dari Antara.

Secara garis besar, SKB memuat larangan bagi para ASN untuk menyebarkan ujaran yang bermuatan kebencian terhadap Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI. Penggunaan kata “menyebarkan” termasuk memberikan respons, seperti like, share, retweet, comment, dan repost. Di samping itu, untuk memupuk loyalitas, ASN juga dilarang mengkritik pemerintah dan simbol negara.

Publik juga diminta berperan sebagai “pengawas”. Masyarakat yang mendapati ASN melanggar poin-poin di atas dipersilakan untuk melapor ke aduanasn.id. Seluruh laporan yang masuk akan ditindaklanjuti oleh Satgas, merekalah yang nantinya memberikan saran kepada kementerian terkait. Hingga penghujung November 2019, Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat, sudah ada 77 aduan yang masuk.

2. Apakah Indonesia sudah memasuki darurat radikalisme?

Menyoal SKB 11 Menteri: Kegagapan Jokowi Tangani RadikalismeIlustrasi lawan radikalisme. (IDN Times/Sukma Shakti)

Lantas, apakah Indonesia sudah memasuki fase darurat radikalisme, sehingga SKB 11 Menteri sangat dibutuhkan?

Survei terbaru Parameter Politik Indonesia menyimpulkan, Indonesia tidak sedang dalam keadaan darurat radikalisme. Survei yang dilakukan sepanjang 5-12 Oktober 2019 dengan melibatkan 1.000 responden itu mengungkap, hanya 15,6 persen masyarakat yang merasa agama lebih penting daripada Pancasila. Lebih spesifik, hanya 6,7 persen yang menginginkan agama diformalkan menjadi sistem negara.

“Temuan kami, kecenderungan masyarakat Indonesia moderat (81,4 persen). Kedua, masyarakat tetap menganggap NKRI, Pancasila menjadi bentuk ideal,” kata Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, di Jakarta, Jumat, 29 November 2019.

Kemudian, SETARA Institute mengekspos temuannya bahwa tren radikalisme di Indonesia sangat rendah. LSM ini rutin mengamati perkembangan radikalisme dan intoleransi di Indonesia. Hasilnya, penganut paham radikalisme tidak pernah melebihi 5 persen. Namun, SETARA menggarisbawahi tren intoleransi yang mengkhawatirkan. Angkanya bahkan bisa melebihi 30 persen.

“Perlu dibedakan antara intoleransi dengan radikalisme. Intoleransi itu egoisme keagamaan, merasa agamanya paling benar. Radikalisme itu pemahaman yang ekspresinya bisa violent dan non-violent. Masing-masing membutuhkan treatment yang berbeda untuk mengatasinya,” kata Direktur Eksekutif SETARA Institute, Ismail Hasani, saat dihubungi IDN Times.

Ismail menambahkan, terorisme berada pada fase yang berbeda dengan radikalisme dan intoleransi. Oleh sebab itu, intoleransi dan radikalisme yang kecenderungannya berada pada aspek ideologi tidak bisa dianggap sebagai extraordinary crime.

“Kalau dia tidak melakukan kekerasan, misal tidak setuju dengan Pancasila, itukan radikal tapi non-violent, apa iya harus dipidana? Bagaimana memidanakan pemikiran orang? Indikatornya apa? Hukum itu bekerja untuk menghakimi tindakan bukan pidana,” sambungnya.

3. SKB 11 Menteri tidak memiliki urgensi

Menyoal SKB 11 Menteri: Kegagapan Jokowi Tangani RadikalismeMenteri Kabinet Indonesia Maju (Twitter/KSPgoid)

Pemerhati kebijakan publik, Trubus Rahardiansyah, menilai SKB 11 Menteri sama sekali tidak ada urgensinya. Ada dua alasan. Pertama, SKB tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak dianggap dalam hierarki perundang-undangan. Kedua, esensi daripada SKB sudah diatur dalam undang-undang lainnya.

“Misalnya, kita sudah punya aturan tentang Kode Etik ASN. Ada juga KASN untuk menindak pelanggaran kode etik ASN. Ujaran kebencian sudah diatur dalam KUHP. Justru itu (SKB) hanya menjadi alat intimidasi ASN, karena mereka tidak bisa beraspirasi. Benar kalau mereka digaji negara, tapi mereka tetap punya hak untuk menyampaikan pendapat,” kata Trubus saat dihubungi IDN Times.

Trubus menyambung, seandainya pemerintah memiliki komitmen serius dalam menanggulangi terorisme, seharusnya mereka menelurkan regulasi. Dengan catatan, proses pembentukannya juga harus melibatkan masyarakat.

“Harusnya sekalian saja dijadikan Permen atau PP. SKB ini hanya kesepakatan bersama yang sifatnya internal. Memang ada radikalisme di Indonesia, tapi langkah SKB ini justru malah membatasi dan rentan disalahgunakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Poin-poinnya juga tidak jelas,” papar dosen di Universitas Trisakti itu.  

4. Jokowi sedang menciptakan “orang-orangan sawah”

Menyoal SKB 11 Menteri: Kegagapan Jokowi Tangani RadikalismeDiskusi dengan YLBHI dan Komnas HAM di LBH Surabaya (IDN Times/Vanny El Rahman)

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, memiliki sudut pandang lain dalam melihat SKB 11 Menteri. Menurutnya, pemerintahan Jokowi hari ini berupaya menjadikan isu radikalisme bak “orang-orangan sawah”. Apa yang Asfinawati maksud adalah radikalisme dari jauh terlihat seakan berbahaya, padahal kalau dilihat dari dekat hanya sekadar tumpukan jerami.

“Orang-orangan sawah pada 1965 adalah komunis. Pada Orde Baru itu ada ekstrem kanan dan kiri. Pada reformasi itu komunis, LGBT, PKI, dan sesat beragama. Nah, era Jokowi orang-orangan sawahnya itu radikalisme,” kata alumni Universitas Indonesia itu saat diskusi di LBH Surabaya, Selasa (3/12).

Senada dengan Ismail peneliti SETARA, Asfinawati enggan menyetarakan radikalisme dengan intoleransi dan terorisme. Radikalisme berarti pemahaman yang mengakar. “Ada Islam konservatif misalnya. Tapi mereka belum tentu jadi teroris,” sambung Asfin, sapaan akrabnya.

Dia menambahkan, “tapi dokumen-dokumen (negara) yang ada mencampurkan antara radikalisme dengan intoleransi dan terorisme. Itu adalah lompatan yang sangat jauh.”

Asfin khawatir, “orang-orangan sawah” adalah cara pemerintah untuk mengembalikan rezim otoriter. Ketika publik sudah berasumsi bahwa Indonesia telah memasuki darurat radikalisme, tidak menutup kemungkinan pemerintah akan bersikap lebih represif.

“Negara itu perlu musuh bersama supaya bisa jadi otoriter. Nah itu bisa LGBT, Komunis, atau radikalisme. Apakah mereka ada? Ada. Tapi apakah bahaya? Bisa iya, bisa tidak. Kalau sudah menciptakan suasana yang menakutkan, nanti akan dianggap situasi genting. Kemudian kebebasan kita harus dibatasi karena ada perang (melawan radikalisme),” papar dia.

Asfin menyampaikan, dalam kondisi konflik dan perang, tentunya masyarakat tidak bisa melakukan hal sesuai yang mereka kehendaki. “Kan kalau darurat gak mungkin bikin lomba sepak bola. Itu bisa jadi petaka, semoga kita tidak sampai di sana."

5. Polemik radikalisme bukti kegagapan Jokowi mengatasi masalah

Menyoal SKB 11 Menteri: Kegagapan Jokowi Tangani RadikalismePresiden Joko Widodo (kiri) didampingi Wapres Ma'ruf Amin memperkenalkan jajaran menteri Kabinet Indonesia Maju di tangga beranda Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (23/10). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

Kritik keras juga dilontarkan oleh Ismail. Menurut dia, Jokowi tidak mengerti bagaimana cara mengentaskan radikalisme. Mengkritisi SKB, Ismail melihat ada “penumpang gelap” yang memanfaatkan komitmen bersama tersebut, sehingga muatannya justru membungkam para ASN untuk beropini.

“Padahal itulah esensi demokrasi, check and balances, yang dilakukan oleh publik,” tutur dia.

Di satu sisi, SKB lahir dari keresahan masyarakat tentang potensi radikalisme di Indonesia. Ismail bersyukur pemerintah merepons hal itu. Di sisi lain, dia merasa aspirasi yang ditampung justru dimanfaatkan untuk melanggengkan kepentingan politik para elite.

“Ternyata aspirasi hanya untuk menjustifikasi tindakan politik Presiden. Kalau dia mau mengatasi radikalisme, ya menag harusnya Azyumardi Azra, ini malah Pak Fachrul. Itu menunjukkan ketidakpahaman Jokowi terhadap radikalisme dan intoleransi. Ini bukan masalah keamanan yang harus ditangani oleh tentara,” papar lelaki yang juga menjadi staf pengajar di UIN Syarif Hidayatullah itu.  

Berdasarkan penelitian panjang SETARA Institute, Ismail menyimpulkan bahwa sponsor utama radikalisasi dan intoleransi adalah pemerintah daerah. Bentuknya adalah kebijakan yang diskriminatif, penghakiman terhadap kelompok yang berbeda, hingga pelarangan pembangunan rumah ibadah.

“Itu menjadi faktor pendorong yang memicu orang menjadi radikal. Itulah ekspresi intoleransi yang kalau didiamkan bisa menjadi tindakan radikal. Dan itu penanganannya berbeda, bukan dengan penegakan hukum, tapi dengan penertiban tata kelola, membuka diskusi publik, dan kurikulum pendidikan.”

Menurut Ismail, semakin Jokowi membiarkan “pembantunya” mengeluarkan regulasi yang bersifat legal-formal, maka kegagapan Jokowi menangani radikalisme dan intoleransi semakin terlihat jelas.

“Pak Jokowi sebenarnya punya concern di bidang itu (melawan radikalisme), tapi dia gak sepenuhnya memahami akar permasalahan. Akhirnya banyak kebijakan yang muaranya kepada sekuritas, mencurigai warga negaranya. Saya kira banyak yang kecewa,” kata Ismail.

6. Pemerintah harus lebih mengedepankan pendekatan kultural dan dialogis

Menyoal SKB 11 Menteri: Kegagapan Jokowi Tangani RadikalismeIDN Times/ Helmi Shemi

Pendekatan Jokowi dalam memberangus radikalisme juga dikritik oleh Komnas HAM. Apa yang seharusnya dilakukan oleh Jokowi adalah membuka ruang dialog seluas-luasnya, alih-alih memerangi warga negara yang “dianggap” terpapar radikalisme.

“Memerangi radikalisme itu salah, yang benar adalah membangun toleransi. Kenapa? Memerangi radikalisme hanya akan melahirkan radikalisme lainnya. Kalau saya radikal, diperlakukan seperti itu, apakah anak saya gak dendam terhadap Anda (negara). Putaran stigmanya akan seperti itu, gak kelar-kelar,” tutur Komisioner Komnas HAM, Chairul Anam, saat diskusi di LBH Surabaya, Selasa (3/12).

Menurut Anam, dengan membuka ruang dialog, masyarakat akan sadar mana yang salah dan mana yang benar. Dengan sendirinya, paham radikalisme dan intoleransi akan ditinggalkan.

Pernyataan selaras juga disampaikan oleh Ismail. Menurutnya, kalau Jokowi terlalu mengedepankan pendekatan represif, muncul kekhawatiran akan lahirnya martir-martir baru.

“Ini Jokowi harus segera dibangunkan bahwa cara-cara menterinya merespons aspirasi penanganan radikalisme itu salah. Kalau dibiarkan malah akan melahirkan martir-martir baru, bahwa Jokowi anti-Islam, anti-ulama itu akan digoreng terus. Padahal kita punya banyak pakar di bidang itu (radikalisme dan intoleransi) tapi gak ada yang diajak dialog,” tutup Ismail.

Baca artikel menarik lainnya di IDN Times App, unduh di sini http://onelink.to/s2mwkb

https://www.youtube.com/embed/BUV9-zXSzAY

Baca Juga: Mantan Kepala BNPT: Radikalisme Sudah Masuk Kampus 50 Persen

Topik:

  • Vanny El Rahman
  • Sunariyah
  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya