Pakar: PPKM Mikro Tak Efektif, Situasi RI Bisa Lebih Buruk dari India

Satgas sebut dampak sosial ekonomi dari lockdown besar

Jakarta, IDN Times - Dewan Pakar Ikatan Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra mengaku pesimistis kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro yang diperkuat bakal efektif membendung lonjakan kasus COVID-19. Sebab, laju pergerakan penduduk masih tergolong tinggi selama kebijakan tersebut diterapkan. Apalagi kini kasus COVID-19 di tanah air sudah didominasi varian baru Delta yang jauh lebih cepat menular.

Kebijakan yang dipilih oleh pemerintah ini bertentangan dengan desakan dari ribuan orang yang meminta agar diberlakukan karantina wilayah atau lockdown secara regional. 

"Jadi, memang beginilah kebijakan pemerintah selalu lebih berorientasi ke ekonomi. Sehingga, sulit untuk memprioritaskan kesehatan. Sementara, kita berbicara untuk memutus mata rantai penularan COVID-19," ujar Hermawan ketika dihubungi oleh IDN Times pada Rabu (23/6/2021). 

Sedangkan, di sisi lain, Presiden Joko "Jokowi" Widodo sudah pernah mengatakan agar memprioritaskan kesehatan dulu dibandingkan ekonomi. Namun, eksekusinya di lapangan berbeda jauh. Padahal, para ahli kesehatan dan epidemiolog sudah mewanti-wanti ongkos yang harus disiapkan akan jauh lebih besar bila sektor kesehatan tak juga pulih. 

Maka, Hermawan mengatakan bila kebijakan yang diambil seperti ini, maka ke depan pemerintah akan terkatung-katung dalam menangani pandemik. Ledakan kasus COVID-19 pun diperkirakan akan terus terjadi dan dapat menyebabkan fasilitas kesehatan kolaps. 

Apakah situasi COVID-19 di Indonesia kini sudah menyerupai pandemik di India?

1. India diuntungkan karena produsen vaksin COVID-19, sedangkan Indonesia tidak

Pakar: PPKM Mikro Tak Efektif, Situasi RI Bisa Lebih Buruk dari IndiaKremasi masal korban tewas akibat terinfeksi virus corona (COVID-19), terlihat di sebuah lapangan krematorium di New Delhi, India, Kamis (22/4/2021). Gambar diambil menggunakan drone. ANTARA FOTO/REUTERS/Danish Siddiqui

Dalam pandangan Hermawan, situasi pandemik di Indonesia diperkirakan bakal lebih buruk dari India. Saat ini sudah mulai terdengar cerita sejumlah warga meninggal karena COVID-19 saat melakukan isolasi mandiri di rumah. Ada pula kebijakan Pemprov DKI Jakarta yang mengangkut jenazah pasien COVID-19 menggunakan truk karena ambulans tidak tersedia. 

"Kita (situasi pandemik) bisa lebih buruk dari India karena setelah dilanda badai, India kembali memberlakukan (kebijakan) lockdown. Hasilnya kasus turun drastis meski kasus hariannya masih tinggi, tetapi relaksasi sudah mulai diberlakukan," ungkap Hermawan. 

Berdasarkan data dari situs World O Meter hari ini, penambahan kasus harian sebesar 859. Akumulasi kasus COVID-19 di India mencapai 30.028.709. Total angka kematian di sana mencapai 390.691.

"Sebenarnya sistem kesehatan di India itu bagus, tetapi karena penduduknya mencapai 1,3 miliar, lalu variabel pendidikan dan budaya tidak berbeda jauh dengan Indonesia, maka kasusnya parah," tutur dia. 

Namun, India memiliki kelebihan yaitu mereka produsen vaksin COVID-19. Salah satu vaksin yang diproduksi yakni AstraZeneca. 

"Sementara, Indonesia kondisinya bisa lebih buruk karena kita bukan negara produsen vaksin, kita punya warga yang tak disiplin, pemerintah juga tidak tegas," katanya. 

Baca Juga: DKI Pakai Truk Angkut Jenazah COVID-19, Begini Penjelasannya

2. Ekonomi akan semakin terpuruk bila sektor kesehatan tak pulih

Pakar: PPKM Mikro Tak Efektif, Situasi RI Bisa Lebih Buruk dari IndiaIlustrasi Resesi (IDN Times/Arief Rahmat)

Rasa pesimistis terkait efektivitas PPKM Mikro juga diungkap oleh Sosiolog dari Nanyang Technological University (NTU), Sulfikar Amir. Namun, ia memahami alasan di balik sikap pemerintah yang kukuh memilih PPKM Mikro didorong alasan finansial. 

"Tapi, tetap saja PPKM Mikro yang diperketat bukan pilihan yang tepat karena kalau efektif dari kemarin-kemarin jumlah kasus bisa terkendali. Tetapi, kan faktanya tidak," ungkap Sulfikar kepada IDN Times melalui pesan pendek pada Selasa, 22 Juni 2021 lalu. 

Hal itu terbukti, sebab pada hari ini (Rabu) Indonesia kembali mencetak rekor tertinggi selama pandemik yakni 15.308 kasus harian. Akumulasi kasus COVID-19 mencapai 2.033.421. Positivity rate pun masih sangat tinggi pernah mencapai 51,62 persen. Artinya, tiap 1 dari 2 orang di sekitar kita kemungkinan telah terpapar COVID-19. 

Sulfikar mengatakan bila pemerintah tetap ngotot menerapkan kebijakan PPKM Mikro maka membutuhkan sistem data yang akurat dan biosurveilans yang ketat. "Sedangkan, kita kan sampai sekarang saja gak punya detail kasus penularan terjadi di mana saja," tutur dia lagi. 

Sementara, kebijakan yang separuh-separuh seperti PPKM Mikro dinilai Hermawan malah akan membuat sektor ekonomi semakin terpuruk. Ia mengibaratkan situasi di Indonesia kini sedang berhutang di mana semakin lambat membayar, maka utangnya bakal menggunung. 

"Selama hulu persoalannya yakni tak memutus mata rantai COVID-19 maka pemerintah akan keluar uang terus baik dari kas negara mau pun kas warga bangsa," kata Hermawan. 

3. Satgas penanganan COVID-19 sebut lockdown berdampak besar ke sektor ekonomi dan sosial

Pakar: PPKM Mikro Tak Efektif, Situasi RI Bisa Lebih Buruk dari IndiaPoin-poin PPKM Mikro yang diperkuat mulai 22 Juni 2021 - 5 Juli 2021 (IDN Times/Aditya Pradana)

Sementara, dalam pemberian keterangan pers pada hari ini Presiden Jokowi tegas menolak usulan dari para ahli kesehatan untuk melakukan lockdown regional atau PSBB total. Bahkan, menurut mantan Gubernur DKI Jakarta itu, esensi lockdown dan PPKM Mikro sama saja yakni membatasi kegiatan masyarakat. 

"Oleh sebab itu tak perlu dipertentangkan," kata Jokowi seperti dikutip dari YouTube Sekretariat Negara pada hari ini. 

Ia pun yakin bila penerapan PPKM Mikro di lapangan baik maka laju pengendalian COVID-19 bisa terjadi. Maka, ia pun minta kepada semua kepala daerah untuk mempertajam penerapan PPKM Mikro. 

Sedangkan, Ketua Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 Ganip Warsito lebih terbuka mengenai alasan pemerintah tak melakukan PSBB. Menurutnya, kebijakan itu bisa berdampak besar terhadap sektor sosial, ekonomi, hingga keamanan. Maka, pemerintah lebih memilih penerapan PPKM Mikro yang lebih kuat pada periode 22 Juni 2021 hingga 5 Juli 2021. 

"Kalau kita melakukan PSBB, dampak sosial-ekonominya termasuk keamanan ini juga akan implikasinya terlalu besar," kata Ganip pada Senin, 21 Juni 2021 lalu. 

Ia pun mengklaim sejauh ini PPKM Mikro memberikan dampak signifikan untuk menekan laju penularan COVID-19.

Baca Juga: 1,5 Tahun Pandemik, Indonesia Belum Lewati Gelombang Pertama COVID-19

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya