Anggota Dewas Akui Undang-Undang Baru Memang Lemahkan KPK

Dewas akui yang ingin lemahkan KPK adalah partai politik

Jakarta, IDN Times - Anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Syamsuddin Haris mengakui undang-undang baru nomor 19 tahun 2019 memang membuat komisi antirasuah menjadi ompong dan tak berdaya untuk menangkap para koruptor. Oleh sebab itu, ketika ditawari menjadi anggota dewas oleh Presiden Joko "Jokowi" Widodo, ia bersedia dan akan menahan laju agar undang-undang tersebut tak membuat KPK kehilangan kewenangannya untuk menindak. 

"Iya, kita semua sudah tahu lah revisi undang-undang KPK memang cenderung melemahkan KPK. Oleh sebab itu, publik harus ikut mengawasi. Jangan sampai kemudian pelemahan itu berujung pada hilangnya kemampuan KPK memberantas korupsi. Terkait hal itu, maka kami di dewas KPK berusaha agar KPK tidak semakin lemah, tapi justru semakin kuat," kata Syamsuddin yang ditemui di area Jakarta Selatan pada Kamis (23/1). 

Salah satu cara agar KPK tidak semakin ompong yaitu dengan menegakan tugas dewas seperti yang dituangkan di dalam undang-undang yang menimbulkan kontroversi itu. Namun, yang menjadi masalah, proses penindakan di dalam undang-undang baru terkesan kaku sehingga malah dimanfaatkan oleh koruptor untuk menutupi kejahatannya. 

Uniknya, dewas KPK juga mengakui upaya untuk membuat komisi antirasuah semakin lemah dilakukan secara konsisten oleh partai politik. Lalu, apa komentar dewas mengenai tugas mereka untuk mengawasi pimpinan KPK yang kini tengah disorot?

1. Dewas KPK berkukuh izin penggeledahan dan penyitaan tetap dibutuhkan demi menjaga akuntabilitas proses penindakan

Anggota Dewas Akui Undang-Undang Baru Memang Lemahkan KPK(Dewan Pengawas KPK) ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

Syamsuddin kembali menegaskan Dewas KPK tidak akan menghambat kinerja komisi antirasuah. Dalam proses penggeledahan dan penyitaan barang bukti misalnya, mereka akan merilis izin secepat mungkin. Paling lambat 1X24 jam. 

Namun, yang jadi permasalahan, sering kali gerak koruptor lebih cepat dibandingkan proses birokratis itu. Apabila penyidik KPK lambat bergerak, maka mereka bisa saja kehilangan barang bukti untuk membuktikan tindak kejahatan korupsi. 

Namun, menurut pria yang juga menjadi peneliti di LIPI itu, izin untuk menggeledah dan menyita barang bukti tetap diperlukan. Tujuannya, agar proses akuntabilitas tetap terjaga. 

"Supaya penyidik itu jangan asal geledah, sadap, dan sita. Sebab, selama ini banyak ditemukan keluhan dari publik mengenai hal tersebut," kata Syamsuddin kemarin. 

Dewas, ujarnya lagi, bertugas mengawal kinerja KPK supaya sesuai aturan hukum yang berlaku. 

Baca Juga: Tumpak Panggabean: Omong Kosong Dewas Disebut Buat Kinerja KPK Lambat

2. Kantor PDI Perjuangan hingga kini belum digeledah karena belum ada pengajuan izin oleh pimpinan KPK

Anggota Dewas Akui Undang-Undang Baru Memang Lemahkan KPKKantor DPP PDIP, Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat. (IDN Times/Irfan Fathurohman)

Hal lain yang juga ikut dikonfirmasi oleh Syamsuddin yakni belum adanya pengajuan izin dari pimpinan KPK untuk menggeledah kantor DPP PDI Perjuangan yang berlokasi di Jalan Diponegoro nomor 58, Jakarta Pusat. Ia kembali menegaskan apabila izin sudah diajukan, maka dewas akan memprosesnya paling lambat 1X24 jam. 

Media pun bertanya apakah jika hingga hari ini kantor DPP PDI Perjuangan belum digeledah oleh KPK, maka artinya izin tersebut belum diajukan.

"Bisa jadi (izinnya belum diajukan oleh pimpinan). Itu kan penafsiran," tutur Syamsuddin sambil tertawa. 

Ia turut mengklarifikasi bahwa untuk melakukan penyegelan tidak dibutuhkan izin dari dewas KPK. 

3. Dewas KPK menyebut episentrum dari korupsi ada di partai politik

Anggota Dewas Akui Undang-Undang Baru Memang Lemahkan KPKIDN Times/Teatrika Handiko Putri

Sementara, dalam pemaparannya, Syamsuddin menjelaskan episentrum dari korupsi ada di bidang politik, khususnya partai politik. Menurutnya, sistem politik di Indonesia masih melembagakan dan memfasilitasi perbuatan korup. 

"Anda bisa lihat sendiri ketika digelar pemilu, pileg, pilkada, hingga pilpres. Tidak ada komitmen yang sungguh-sungguh dari negara untuk memberantas itu. Yang ada hanya slogan semata seperti misalkan ada tulisan yang terbaca 'Anda sedang memasuki wilayah bebas korupsi'," kata dia lagi. 

Ia pun mengaku prihatin lantaran komitmen dari pemimpin di negeri ini untuk serius memberantas korupsi tidak ada. Para pemimpin parpol justru menikmati zona nyaman yang kini tercipta. 

"Tidak ada standar etik yang diterapkan oleh partai politik dan tidak ada sistem kaderisasi yang baku, berjenjang, berkala dan inklusif," tuturnya. 

Bila ini yang terjadi, Syamsuddin mengkhawatirkan upaya pemberantasan korupsi hanya sekedar slogan. Ujung-ujungnya investasi asing yang diharapkan masuk ke Indonesia hanya tinggal menjadi harapan semata. 

Baca Juga: Berharap Partai Politik Bebas dari Korupsi, Mungkinkah?

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya